oleh Luo Tingting
Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank. ADB) pada (21/9) merilis laporan yang menunjukkan bahwa kebijakan pencegahan epidemi ekstrem Tiongkok telah berdampak sangat buruk terhadap ekonomi negara tersebut, sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun 2022 hanya berkisar pada 3,3%. Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia seperti Vietnam, India, Indonesia dan lainnya untuk pertama kalinya dalam 30 tahun berhasil melampaui Tiongkok.
ADB yang bermarkas di Kota Manila, Filipina merilis laporan tentang prospek ekonomi Asia. Laporan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pencegahan epidemi ekstrem dari pemerintah Tiongkok telah secara serius mempengaruhi ekonomi Tiongkok, menurunkan tingkat pertumbuhan konsumsi masyarakat, melemahkan industri infrastruktur dan real estat.
Prakiraan bank terhadap PDB Tiongkok tahun ini hanya 3,3%, dan tingkat pertumbuhan tahun depan hanya 4,5%.
Sedangkan tingkat pertumbuhan negara-negara Asia lainnya untuk pertama kalinya dalam lebih dari 30 tahun berhasil melampaui Tiongkok. Di antaranya, tingkat pertumbuhan ekonomi India adalah 7,0%, Vietnam 6,5%, Malaysia 6%, dan Indonesia 5,4%.
Diuntungkan dari masuknya investasi dari banyak perusahaan multinasional yang hengkang dari pasar Tiongkok, pertumbuhan ekonomi Vietnam tahun depan bisa mencapai 6,7%. Demikian laporan tersebut menyebutkan. Pertumbuhan ekonomi Filipina tahun ini juga mendekati 6,5%.
ADB menurunkan perkiraannya pertumbuhan ekonomi rata-rata dari 46 negara berkembang di Asia dari sebelumnya yang 5,2% menjadi 4,3%, dan menjadi 4,9% dari perkiraan sebelumnya yang 5,3% untuk tahun 2023.
Kepala Ekonom ADB Albert Park mengatakan, alasan utama dari perlambatan ekonomi Tiongkok terkait erat dengan kebijakan Nol Kasus Infeksi yang diterapkan otoritas Tiongkok. Kebijakan tersebut telah menurunkan kepercayaan konsumen Tiongkok, menciptakan kemacetan rantai pasokan, dan memengaruhi perekonomian lainnya.
Pada paruh pertama tahun ini, PDB Tiongkok tumbuh 2,5% tetapi PDB turun 0,4% pada kuartal kedua. Pada 19 September, UBS memperkirakan pemulihan pada kuartal ketiga tahun ini masih lemah, sehingga menurunkan pertumbuhan ekonomi Tiongkok dari 3% menjadi 2,7%.
Jurnalis senior Wang Jian mengatakan kepada Radio Free Asia bahwa, Tiongkok “sama sekali tidak terkejut” jika negara Asia lainnya berhasil melampaui PDB Tiongkok “karena negara lain sudah kembali ke keadaan normal, kecuali Tiongkok yang masih berkutat pada kebijakan pencegahan epidemi yang ekstrem”.
Wang Jian mengatakan bahwa pada April dan Mei tahun ini, lockdown Kota Shanghai telah berdampak langsung sebanyak 20% terhadap PDB Shanghai. Setelah itu Kota Shenzhen juga ikut ditutup, sehingga mempengaruhi langsung dua pusat ekonomi utama yakni Delta Sungai Yangtze dan Delta Sungai Mutiara.
Frank Tian Xie, seorang profesor dari Aiken School of Business di University of South Carolina, mengatakan kepada NTDTV pada April tahun ini : “Kota Shanghai yang menghasilkan PDB tahunan sebesar RMB. 15 triliun telah berkontribusi kira-kira 4 atau 5% dari PDB tahunan Tiongkok. Jadi lockdown Kota Shanghai 1 hari saja telah memberi kerugikan sekitar USD. 1,8 miliar terhadap PDB Tiongkok”.
“Jika Beijing, Shanghai, dan Guangdong dikunci selama satu hingga dua bulan, PDB Tiongkok akan turun 1 hingga 2 percentage point. Resesi ekonomi akan lebih parah”, kata Frank Tian Xie.
Tang Hao, seorang komentator juga mengatakan bahwa “lockdown ala Revolusi Kebudayaan” dan “Kebijakan Nol Kasus ala Lompatan Jauh ke Depan” PKT telah memberi pukulan serius bagi perekonomian Tiongkok.
Dia mengatakan bahwa menurut penelitian yang dilakukan oleh Chinese University of Hong Kong, penutupan kota di Tiongkok saat ini telah mengakibatkan kerugian ekonomi mencapai USD. 46 miliar setiap bulannya, yang berdampak pada penurunan PDB tahunan Tiongkok sebesar 3,1%. Jika Kota Beijing, Guangzhou, dan Shenzhen juga ditutup, maka kerugian terhadap PDB tahunan akan melonjak hingga 12%, yang berarti kerugian ekonomi akan melebihi 10%.
Dengan semakin dekatnya pelaksanaan Kongres Nasional ke-20, penerapan penguncian pada banyak tempat menjadi semakin ketat. Hal mana pasti akan berdampak lebih besar terhadap perekonomian Tiongkok.
Wang Jian mengatakan : “Saat ini, ada dua masalah inti dalam ekonomi Tiongkok. Real estate yang merupakan mesin pembangkit bagi pertumbuhan ekonomi telah jatuh tahun ini. Dari segi ekspor, Tiongkok mulai menurun pada kuartal ketiga tahun ini. Jadi dampaknya terhadap perekonomian Tiongkok sungguh tidak kecil”.
Seorang warga Kota Guangdong bermarga Guo mengatakan kepada Radio Free Asia bahwa tes asam nukleat sekarang harus dilakukan setiap hari, menyebabkan sejumlah besar toko dan pabrik tutup dan modal asing ditarik. Ia percaya bahwa (PDB) Tiongkok pasti akan dilampaui oleh negara lain.
Mr. Guo yang pernah hidup di era Revolusi Kebudayaan mengatakan bahwa Tiongkok sekarang sedang berjalan mundur dan akan segera tiba di era Revolusi Kebudayaan. Ia mengatakan bahwa penduduk lokal di Guangdong mungkin tidak terlalu bermasalah karena masih bisa mengandalkan anggota keluarga mereka. Tapi akan menjadi masalah besar bagi warga pendatang yang kehilangan atau sulit mendapatkan pekerjaan di sini, mereka tentu tidak mampu membayar sewa tempat tinggal, membeli makanan dan sebagainya. (sin)