oleh Wang Xiang
CEO dari 8 bank di AS termasuk Bank of America, Citibank dan JPMorgan Chase pada Rabu (21/9), menghadiri sidang dengar pendapat yang diadakan oleh Komite Keuangan DPR-AS. Setidaknya 3 orang eksekutif telah berjanji akan mengikuti arahan Washington untuk menarik diri dari pasar keuangan Tiongkok jika Beijing menyerang Taiwan.
Para CEO Bank of America, Citibank dan JPMorgan Chase adalah tergolong bank-bank terbesar di AS, mereka membuat janji tersebut selama dengar pendapat di hadapan Komite Keuangan DPR AS.
Perwakilan dari Partai Republik Negara Bagian Missouri, Blaine Luetkemeyer bertanya apakah mereka siap untuk menarik keluar investasi mereka dari daratan Tiongkok jika Beijing menginvasi Taiwan.
Brian Moynihan, kepala eksekutif Bank of America menjawab : “Kami akan mengikuti panduan dari pemerintah AS. Kami telah bekerja sama dengan Tiongkok selama beberapa dekade terakhir. Jika mereka mengubah pendirian, kami juga akan melakukan perubahan, sama seperti yang kami lakukan terhadap Rusia”.
Jane Fraser, CEO Citibank, begitu juga CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon keduanya setuju dengan komentar Brian Moynihan.
Kepada anggota Komite Jamie Dimon mengatakan : “Kami akan tetap menghormati dan mengikuti setiap arahan yang diberikan oleh pemerintah AS, termasuk apa yang kalian ingin kami lakukan”.
Setelah invasi Rusia ke Ukraina, perbankan AS dengan cepat menanggapi kecaman internasional terhadap Kremlin dengan mengumumkan rencana untuk mengakhiri operasi perbankan dengan Rusia. Tetapi skup ekonomi Tiongkok jauh lebih besar daripada Rusia, dan banyak bank Barat ingin memperluas operasi mereka di Tiongkok.
Eksposur Citibank di Tiongkok pada akhir tahun 2021, termasuk pemberian pinjaman dan investasi di sekuritas bernilai sekitar USD. 27,3 miliar, 5 kali lipat ukurannya di Rusia. JPMorgan Chase mendirikan usaha patungan sekuritas di Tiongkok pada tahun 2011 dan baru mendapatkan izin khusus dari pihak berwenang Tiongkok untuk menjadi lembaga keuangan penuh pada tahun lalu.
Selama 18 bulan terakhir, perusahaan multinasional menjadi lebih khawatir tentang potensi konflik di Taiwan karena Beijing telah meningkatkan kegiatan militernya di sekitar pulau itu.
Para eksekutif perusahaan terus bertanya kepada pakar keamanan di Washington tentang kemungkinan invasi militer Tiongkok ke Taiwan dan menjajaki langkah-langkah penghindaran risiko.
Pada Maret 2021, Jenderal Philip Davidson, yang saat itu menjadi komandan Komando Indo-Pasifik AS mengatakan kepada Kongres bahwa dirinya yakin bahwa Beijing dapat menyerang Taiwan sebelum tahun 2027. Hal ini menarik perhatian masyarakat luas.
Presiden AS Joe Biden pada Minggu (18 September) mengatakan bahwa Amerika Serikat akan mengirim pasukan untuk membela Taiwan jika Beijing menyerang. Biden telah mengeluarkan 4 kali peringatan serupa dalam setahun terakhir. Masyarakat internasional percaya bahwa ini merupakan perubahan dalam kebijakan AS terhadap Tiongkok, selain itu juga menggarisbawahi bahwa ancaman Beijing terhadap Taiwan terus meningkat.
Setelah wawancara itu, pejabat Gedung Putih menegaskan bahwa kebijakan AS terhadap Taiwan tidak berubah, dan para pejabat berpedoman pada pendekatan “strategi tidak jelas” tentang apakah militer AS akan membela Taiwan atau tidak, namun, “Undang-Undang Hubungan Taiwan” menetapkan bahwa Amerika Serikat berkewajiban untuk membantu Taiwan dalam urusan membela diri dari serangan militer.
Militer Tiongkok dalam 2 tahun terakhir terus meningkatkan jumlah latihan tempur dan pembom saat menerobos garis tengah selat dan memasuki “zona identifikasi pertahanan udara” Taiwan.
Pada Agustus tahun ini, setelah Ketua DPR-AS Nancy Pelosi berkunjung ke Taiwan, militer Tiongkok mengadakan latihan militer berskala besar, termasuk untuk pertama kalinya meluncurkan rudal balistik yang melintasi udara Pulau Taiwan. Bahkan beberapa rudal di antaranya itu jatuh ke zona ekonomi khusus Jepang. (sin)