oleh Yu Ting
Pengendalian epidemi pihak berwenang di Xinjiang telah menyebabkan bencana kelaparan bagi warga. Dipastikan ada 22 orang dalam sehari yang meninggal dunia karena kehabisan makanan.
Seorang lansia warga Yili, Xinjiang menuturkan : “Petugas yang datang untuk melakukan penyemprotan disinfektan, membuang semua makanan yang tersimpan dalam lemari es !”
Pada Kamis (22 September), Radio Free Asia (RFA) melaporkan bahwa pihaknya melalui saluran swasta, pejabat Partai Komunis Tiongkok (PKT), kepolisian berhasil memperoleh konfirmasi bahwa 22 orang warga Yili, Xinjiang telah meninggal dunia dalam sehari (15 September) karena sebagian besar mengalami kelaparan, dan lainnya karena kekurangan bantuan medis selama penguncian ketat pihak berwenang.
Laporan menyebutkan, pesan minta bantuan yang dikirim lewat Internet oleh penduduk setempat segera hilang dari layar monitor karena terus diblokir oleh pihak berwenang untuk menjaga stabilitas.
Media resmi PKT pada Kamis melaporkan bahwa 626 kasus lokal baru terjadi dalam sehari , yang tampaknya menunjukkan tren menurun. Sedangkan angka tepatnya tidak diketahui. Namun mendekati Kongres Nasional ke-20 PKT, sesuai instruksi dari Pusat pengontrolan epidemi berjalan semakin ketat.
Warga Harbin, Heilongjiang mengatakan : “Ya Ampun ! Terdapat lebih dari 1.000 orang siswa dan mungkin mencapai 2.000 orang bersama orang tua mereka dari Sekolah Dasar Harbin Xiangfang yang digiring masuk ke hotel-hotel karantina”.
Ada seorang yang dikonfirmasi terinfeksi COVID-19 di Sekolah Dasar Harbin Xiangfang, Heilongjiang. Hampir 2.000 orang siswa dan orang tua mereka dibawa oleh pihak berwenang untuk menjalani isolasi terpusat. Selain itu, Kota Daqing, Kota Jiamusi, dan Kota Heihe juga berada dalam kondisi pembatasan kegiatan masyarakat yang ekstrem.
Seorang warga Kota Heihe, Heilongjiang mengatakan : “Benar-benar dilas. Sekarang semua pintu keamanan pun dilas”.
Mr. Wang, penduduk Kota Jiamusi, Heilongjiang menjelaskan : “Seluruh Kota Jiamusi sudah mati tak bersuara. Tidak lebih baik dari situasi di Kota Daqing. Parah sekali. Bahkan pintu diblokir sehingga warga tidak bisa keluar rumah. Minta diam di rumah selama 3 hari, kemudian 7 hari. Bagaimana diam dengan tanpa persediaan makanan dan minuman ? Sekarang kita minta makanan kepada pemerintah, tetapi mie instan saja tidak ada”.
Pada saat yang sama, Hongkong yang juga mengikuti pelaksanaan kebijakan Nol Kasus telah ketinggalan dari pemulihan epidemi global, kota itu sudah kehilangan statusnya sebagai pusat penerbangan dunia.
Willie Walsh, Direktur Jenderal IATA mengatakan : “Lihatlah Hongkong, ia telah dihancurkan oleh kebijakan, bukan oleh virus. Sejujurnya, Hongkong tidak dilumpuhkan oleh virus, tetapi oleh kebijakan (partai komunis Tiongkok) yang diadopsi. Hongkong sekarang telah kehilangan statusnya sebagai pusat penerbangan dunia, dan tidak akan mudah untuk mendapatkannya kembali karena hub lain mendapat keuntungan dari (kesalahan)nya”.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Otoritas Bandara Hongkong, bahwa Bandara Hongkong hanya memiliki hampir 600.000 penumpang pada kuartal kedua tahun ini, sementara Bandara Changi Singapura memiliki 7,3 juta orang penumpang pada periode yang sama. Jadi bandara tersibuk di Asia sekarang telah digantikan oleh Bandara Changi Singapura. (sin)