Gelombang Demonstrasi Besar-besaran Anti Kediktatoran Meletus di Iran, Dipicu Tewasnya Mahsa Amini di Tahanan Polisi

Xu Jian

Seorang ​​wanita Iran berusia 22 tahun Mahsa Amini ditangkap karena tidak mengenakan jilbab. Ia kemudian tewas di tangan polisi. Gelombang anti-pemerintah meletus di seluruh penjuru Iran.  Masyarakat internasional juga mengutuk pemerintah Iran. Amerika Serikat menjatuhkan sanksi terhadap kepala beberapa lembaga penegak hukum di negara itu.

Aksi protes terbaru yang meletus di Iran mungkin merupakan protes anti-pemerintah terbesar di Iran dalam 20 tahun terakhir.

 Mahsa Amini ditahan oleh “polisi moral” Iran pekan lalu.  Dia ditangkap karena tidak menutupi rambutnya dengan jilbab, aturan wajib bagi wanita Iran. Amini meninggal dunia tiga hari kemudian di kantor polisi.

Polisi mengklaim Amini tewas karena serangan jantung dan menyangkal bahwa dia dianiaya. Akan tetapi, keluarga Amini mengatakan dia tidak memiliki riwayat penyakit jantung dan video Amini yang dirilis pemerintah  telah direkayasa. Seorang ahli independen yang berafiliasi dengan PBB mengatakan Amini mungkin  dipukuli habis-habisan oleh polisi. Wartawan lokal Niloufar Hamedi ditangkap setelah menfoto Amini di rumah sakit setelah kematian Amini.

Kematian Amini memicu reaksi di Iran. Aksi  protes berubah menjadi gelombang revolusioner melawan kediktatoran, yang merobohkan potret Ayatollah  Ruhollah Khomeini dan Pemimpin Tertinggi Syiah Iran Ayatullah Ali Khamenei. Bahkan dalam menghadapi pemukulan dan penangkapan, para pengunjuk rasa masih melakukan perlawanan dengan kekerasan.

AS Jatuhkan Sanksi kepada Pejabat Senior Badan Penegakan Hukum Iran

Pada 22 September, Departemen Keuangan AS mengumumkan dakwaan terhadap tujuh pemimpin senior organisasi keamanan Iran, termasuk Polisi moral, Kementerian Intelijen dan Keamanan Iran (MOIS), Angkatan Darat Iran, Pasukan Perlawanan Basij dan petugas penegak hukum lainnya. Mereka yang dijatuhkan sanksi, tidak dapat memiliki real estate dan rekening bank di Amerika Serikat.

Pada 21 September, para wanita Iran turun ke jalan, melepas jilbab dan memotong rambut mereka, sebagai protes. (Yasin AKGUL/AFP)

Para pejabat tersebut bertanggung jawab atas  kekerasan yang secara rutin menekan pengunjuk rasa damai, anggota masyarakat sipil Iran, pembangkang, aktivis hak-hak perempuan dan anggota komunitas Baha’i Iran,  seperti dirilis oleh Departemen Keuangan AS. 

Protes Anti Kediktatoran Meluas ke Seluruh Negeri, Potret Khomeini dirobohkan

Pemuda dan perempuan Iran turun ke jalan di seluruh negeri. Mereka melihat kematian Amini sebagai simbol pengawasan ketat rezim terhadap para pembangkang dan kekerasan polisi moral dan peraturan terhadap perempuan muda harus memakai jilbab.  Mereka memprotes dengan melepaskan jilbab dan membakarnya di tempat.

Pada hari-hari berikutnya, aksi protes telah berkembang menjadi tantangan terbuka bagi pemerintah. Massa dalam jumlah besar meneriakkan slogan-slogan menentang kediktatoran dan menyerukan pemerintah turun. Setidaknya sembilan pengunjuk rasa dan dua anggota pasukan keamanan  tewas dalam unjuk rasa.

Pada 21 September, warga Iran memprotes mereka yang berkuasa. (Yasin AKGUL/AFP)

“Matilah diktator!” telah menjadi seruan umum dalam aksi protes. Para pengunjuk rasa menyerukan diakhirinya pemerintahan republik Islam Iran, meneriakkan slogan-slogan seperti “para mullah pergi”, “kami tidak ingin republik Islam” dan “matilah pemimpin tertinggi”. Potret  Pemimpin Tertinggi Syiah Ayatullah Ali Khamenei juga dirobohkan.

Pihak berwenang Iran memutus komunikasi dan jaringan internet. Bahkan, di komunitas tempat aksi protes berlangsung, layanan internet dan telepon seluler orang-orang  terputus. Bahkan, pada Rabu 21 September, Instagram dan WhatsApp, yang banyak digunakan oleh para pengunjuk rasa juga dibatasi.

Protes Anti-Pemerintah Paling Penting dalam 20 Tahun

Kematian Amini juga memicu reaksi global. Amerika Serikat, Uni Eropa dan PBB mengutuk otoritas Iran.

Menteri Luar Negeri Jerman,  Annalena Baerbock, yang menghadiri Sidang Umum PBB di New York pada  Kamis 22 September, mengutuk tindakan keras Iran dan mengatakan pelanggaran Iran terhadap hak-hak perempuan akan diangkat di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.

Sebuah sepeda motor polisi terbakar selama protes atas kematian Mahsa Amini, di Teheran, Iran, pada 19 September 2022. (West Asia News Agency via Reuters)

Bisa dibilang pemberontakan anti-pemerintah yang paling penting di Iran selama dua dekade terakhir adalah “gerakan hijau” Iran pada tahun 2009, ketika ratusan ribu orang Iran, terutama mahasiswa, memprotes hasil pemilu yang secara luas terlihat sebagai kecurangan.

Tapi kali ini, “para pengunjuk rasa jauh lebih berani,” ujar Evan Seigel, seorang pakar yang telah ikut menulis buku tentang sejarah Iran  kepada CNBC. Ia mengatakan “dalam kemarahan mereka kepada penindasan dan penghinaan selama beberapa dekade, mendorong mereka terlibat dalam perkelahian jalanan dengan aparat represif, terutama polisi semu yang penuh kebencian.”

Dalam menghadapi protes, pemerintah Iran telah memutuskan internet. Seorang wanita Iran yang tinggal di Dubai mengatakan kepada CNBC bahwa keluarganya di Iran berkomunikasi dengannya menggunakan koneksi tidak stabil yang disediakan oleh VPN.

FILE PHOTO: Mahsa Amini. IranWire/via REUTERS/File Photo

“Tetapi orang-orang kami tidak mundur, mereka ingin terus berjuang untuk menggulingkan pemerintah,” katanya, berbicara dengan syarat anonim karena takut akan pembalasan pemerintah.

Roham Alvandi, seorang sejarawan Iran dan profesor di London School of Economics, mengatakan, aksi protes  tentu bukan yang pertama meletus di Iran dalam beberapa tahun terakhir.  Kecepatan penyebaran pemberontakan ini serta dukungan internasional kepada anak muda Iran yang mereka kumpulkan, merupakan tantangan besar bagi rezim Iran.

“Ini adalah pemberontakan yang dipicu oleh generasi Mahsa Amini, yang menghabiskan sebagian besar hidup mereka di negara yang sangat terkontrol, ekonomi yang hancur, dan negara paria globa, yang menyalahkan langsung Republik Islam,” tweet Alvandi.

“Apa yang diungkapkan oleh pemberontakan ini bukan hanya Republik Islam, tetapi Revolusi Iran 1979 benar-benar ilegal di mata generasi baru. Ini memiliki implikasi besar tidak hanya untuk Iran, tetapi juga untuk keseluruhan proyek politik Islam.” (hui)