Fu Yao
Setelah penjelasan tentang adanya peri dan jin di dunia nyata, serta Eropa pada abad pertengahan dan asal usul ilmu pengetahuan modern. Kita akan mengungkap konten yang lebih menarik lagi, dijamin akan semakin membuka wawasan Anda.
Efek Kupu-kupu
Musim panas yang sudah berlalu, bisa dibilang semua orang merasa tidak nyaman bukan? Baru saja pandemi mereda, suhu tinggi dan bencana kekeringan pun melanda. Dalam siaran berita, yang diperlihatkan kebanyakan adalah tanah luas yang retak serta wajah masyarakat yang bersedih.
Ada orang lantas bertanya-tanya, ilmu pengetahuan sekarang begitu majunya, luar angkasa pun bisa ditempuh dengan mudah, mengapa masalah iklim ini masih begitu sulit dikendalikan? Bukankah teknologi hujan buatan sekarang sudah sangat canggih? Tapi teknologi itu mutlak membutuhkan awan di langit. Dengan kondisi langit cerah tak berawan sama sekali, ibarat ibu yang bijak sekalipun tidak akan mampu mengatasi masalah isi perut bila tidak ada beras di rumah.
Seketika itu, para ahli meteorologi pun tampil ke depan. Mereka mengatakan, pernahkah kalian mendengar istilah “efek kupu-kupu”? Penelitian menunjukkan, seekor kupu-kupu mengepakkan sayapnya di Brasilia, maka mungkin saja dapat mengakibatkan angin puting beliung di Texas pada bulan berikutnya. Walaupun kesimpulan ini berasal dari hasil simulasi komputer pada 1961, tapi hal ini tidak menghalangi kalangan ilmuwan untuk menerima efek kupu-kupu ini secara luas.
Karena teori ini telah menambal suatu kekosongan pada ilmu pengetahuan, setidaknya secara teori, ia dapat menjelaskan fenomena alam yang tidak bisa ditelusuri polanya. Atas dasar ini, kemudian dikembangkanlah teori kekacauan (chaos theory, red.). Anda lihat, ekosistem pada bumi ini adalah suatu sistem yang sangat tidak stabil, satu peristiwa kecil saja dapat menimbulkan dampak yang begitu besar. Jadi iklim yang tidak dapat diprediksi adalah kewajaran. Dengan sendirinya, kita pun tidak mampu mencegah bencana alam itu. Seperti misalnya tsunami di Aceh dan Jepang, dan kekeringan tahun ini.
Namun dalam bukunya Hayward telah menjelaskan suatu fenomena “memanggil hujan” yang sangat aneh. Seorang tetua dari salah satu suku penduduk asli Meksiko Huicholes yang bernama Don José Matsuwa pernah menjelaskan proses bagaimana mendatangkan hujan ketika matahari membakar bumi.
Matsuwa meninggal dunia pada 1990, tutup usia pada 110 tahun, seumur hidupnya dipenuhi dengan legenda. Di saat menjelaskan proses pemanggilan hujan ia mengatakan, waktu itu mereka melakukan sebuah ritual pemberkatan, sepanjang ritual tersebut dia terus berdoa dengan sepenuh hati, serta memancarkan cinta kasih ke lima penjuru timur, barat, utara, selatan, dan tengah, menyelaraskan kembali dirinya dengan lingkungan, membuatnya kembali seimbang. Lalu awan pun mulai berkumpul, dan dalam beberapa jam kemudian hujan lebat pun turun dengan derasnya. Matsuwa mengatakan cinta kasihlah yang telah mendatangkan hujan itu.
Akan tetapi, Anda mungkin akan berkata, bukankah ini adalah suatu kebetulan? Hayward mengatakan, bila gerakan kecil dari sayap kupu-kupu saja bisa menimbulkan angin puting beliung di tempat yang jauhnya ribuan kilometer, lalu mengapa doa dan nyanyian semacam itu tidak dapat mendatangkan hujan yang lebat? Bukankah prinsipnya sama saja? Lalu Hayward pun mengeluarkan sebuah kisah meminta hujan yang berasal dari Dunia Timur. Kisah tersebut diceritakan oleh ahli sinologi berasal dari Jerman yakni: Richard Wilhelm kepada pakar psikologi terkenal yang bernama Carl Jung.
Pada awal abad lalu, Wilhelm pernah menetap di Tiongkok selama dua dasawarsa, selama itu ia kerap bepergian ke seluruh pelosok negeri. Suatu Ketika, ia tiba di Jiaozhou Provinsi Shandong. Waktu itu Jiaozhou sedang dilanda kekeringan parah, dan telah menelan banyak korban jiwa. Penduduk desa mencari berbagai cara, lalu sebuah gunung tak jauh dari daerah mereka, berhasil memohon seorang pintar untuk meminta hujan bagi desa mereka. Wilhelm melihat orang pintar itu adalah seorang tua berjenggot abu-abu. Masyarakat menandu orang pintar itu ke sebuah gubuk kayu di luar desa lalu meninggalkannya di sana, setelah itu tidak seorang pun mengusiknya, juga tidak tahu apa yang dilakukannya di dalam gubuk itu. Tiga hari kemudian, hujan pun turun sesuai harapan, bahkan di saat yang sama turun pula salju tipis.
Wilhelm merasa sangat terkejut, seumur hidupnya baru kali ini ia melihat orang yang dapat memanggil hujan dan badai. Maka ia pun pergi ke gubuk itu untuk menjumpai orang tua tersebut. Yang mengherankan adalah orang tua itu malahan berkata, “Aku tidak pernah memanggil hujan.” Lalu bagaimana datangnya hujan itu? Pak Tua itu berkata, terjadinya kekeringan adalah karena tanah ini dan orang-orang di atasnya sudah tidak berada dalam “Tao (adalah kebenaran dari seluruh jagat raya, oleh karena itu TAO boleh juga dikatakan KEBENARAN, atau ATURAN)”. Pada saat dia baru tiba, dirinya pun terpengaruh oleh mereka, pikirannya pun mulai ikutan menjadi kacau. Dia telah membutuhkan waktu tiga hari untuk membuat dirinya pulih normal kembali. Sampai disitu, Pak Tua tersenyum dan melanjutkan lagi, “Kemudian dengan sendirinya hujan pun turun.”
Perkataan Pak Tua itu terkesan samar, tapi Hayward dengan sangat mudah bisa memahami dan menyadarinya, inilah yang disebut dengan istilah “Langit dan manusia menyatu” dalam pemikiran Tiongkok. Manusia dan alam adalah satu kesatuan yang utuh, maka dari itu untuk menyelesaikan akar permasalahan lingkungan dan alam bersumber pada meluruskan diri sendiri. Pemikiran seperti ini juga direspon dengan baik dalam berbagai kebudayaan lain. Seperti para ahli Alkimia Barat mengatakan, aturan segala materi di langit dan bumi, terletak pada tubuh manusia. Sedangkan ajaran Shaman di Indonesia bisa saja mengatakan, jangan biarkan emosi negatif pada dirimu terpancar keluar. Karena tubuh manusia adalah miniatur dari bumi ini. Jagalah tubuh Anda dengan baik, itu berarti Anda telah menjaga bumi ini dengan baik pula.
Ketidaksadaran Kolektif
Tidak hanya Hayward, Carl Jung juga sangat suka dengan cerita tentang mendatangkan hujan ini, dan pernah berpesan kepada penulis biografinya, untuk harus mencatat cerita ini. Carl Jung dipandang sebagai salah seorang pencetus ilmu psikologi yang bisa disejajarkan dengan Sigmund Freud. Namun, bertolak belakang dengan Freud yang cenderung ateistis, Carl Jung justru cenderung mengakui keberadaan sang Pencipta, ini mungkin ada kaitannya dengan obsesi dirinya terhadap teori dalam ajaran Tao Tiongkok dan ajaran Buddha Tibet.
Contohnya, setelah Carl Jung menelusuri agama dan legenda di seluruh dunia, dikemukakanlah olehnya teori terkenal yang disebut “ketidaksadaran kolektif” (collective unconscious, red.). Menurut Jung, tak peduli berasal dari kebudayaan manapun, semua umat manusia memiliki tautan kebersamaan pada tingkat psikologis, yang eksis pada tingkat yang sangat dalam pada kesadaran kita, yang diwariskan secara turun temurun lewat cara pewarisan genetika. Kesadaran yang dalam itu disebutnya sebagai ketidaksadaran kolektif, serta menganggap bahwa ini juga merupakan sumber dari keyakinan manusia akan reinkarnasi dan ingatan akan kehidupan sebelumnya.
Lalu mengapa kita semua memiliki tautan lintas budaya semacam ini? Menurut Jung, dalam berbagai kebudayaan para dewa, malaikat, dan iblis semua berdiam pada suatu alam yang sama, mereka juga bisa dipandang sebagai energi yang tak berwujud dan asli, mereka berkemampuan memengaruhi dunia manusia, kisah mereka disebarkan di tengah umat manusia lewat para cenayang. Itulah sebabnya di antara semua kisah tentang dewa memiliki banyak kemiripan.
Tapi bagi kita masyarakat awam, dunia tempat para dewa dan iblis itu adalah dunia yang tidak terlihat dan tidak bisa disentuh, bagaimana kita mempercayai keberadaan mereka? Hayward mengatakan, seperti angin, walaupun kita tidak dapat melihatnya, tapi kita dapat merasakan keberadaannya. Disini akan kami berikan beberapa contoh.
Kebetulan Yang Tidak Kebetulan
Jung memiliki seorang pasien wanita muda yang mengenyam pendidikan sangat baik, akan tetapi memiliki kepribadian yang agak paranoid, dengan sangat keras kepala memercayai logika dan apa yang disebut “rasional”. Hari itu, wanita itu berkata padanya, malam sebelumnya dia bermimpi melihat sebuah bros yang berbentuk kumbang, dia meminta Jung untuk menjelaskan makna mimpinya. Baru saja dikatakan, dari jendela terdengar suara benturan “tak tak tak tak”. Jung berdiri, membuka jendela, dan menangkap seekor serangga, setelah diamati, diletakkannya di tangan wanita itu dan berkata, “Inilah kumbang Anda.” Melihat kumbang berwarna coklat keemasan di tangannya si wanita itu tercengang, karena nyaris sama dengan kumbang di dalam mimpinya. Serangga menakjubkan itu telah meruntuhkan emosi perlawanan dalam pemikiran wanita itu, juga telah membuka simpul di hatinya, penyakitnya dengan cepat dapat disembuhkan.
Seorang kolega Jung yang bernama Nyonya Marie-Louise von Franz juga pernah mengalami suatu kejadian. Hari itu, di sebuah toko dia menaksir gaun berwarna biru, lalu dimintanya pegawai toko itu membungkus dan mengirimkannya. Tapi tiga hari kemudian yang diterimanya adalah gaun berwarna hitam. Hati Marie-Louise sungguh tidak nyaman. Akan tetapi, hampir bersamaan, dia juga menerima selembar telegram, yang mengatakan salah seorang kerabat yang tinggal di rumahnya telah meninggal dunia. Gaun hitam itu pun menjadi cocok untuk dikenakannya di acara pemakamannya. Marie-Louise mengatakan, dia merasakan hal ini bukan melulu suatu kebetulan.
Sedangkan ada satu hal lain yang lebih mengejutkan lagi. Marie-Louise mempunyai seorang pasien yang berkecenderungan bunuh diri, dia selalu khawatir akan pasien yang satu ini. Suatu hari Marie-Louise berlibur ke pedesaan, pada saat dia membelah kayu bakar di luar rumah, bayangan si pasien tersebut mendadak berkelebat sampai dua kali di hadapannya, yang kedua kalinya malah ekspresinya sangat mendesak. Marie-Louise menjatuhkan kapaknya dan mulai berpikir: Mengapa dia bisa muncul? Apakah dia membutuhkan pertolongan? Apakah sebaiknya saya kembali? Baru saja pemikiran itu muncul, di dalam hatinya ada suara yang mengatakan, tidak bisa, sudah terlalu malam. Marie-Louise merasakan firasat kurang baik, dan dia langsung mengirim telegram yang hanya bertuliskan 3 kata: “Jangan berbuat kebodohan.”
Telegram tiba dua jam kemudian. Waktu itu pasiennya sedang di dapur dan dia baru saja menyalakan tombol kompor gas, lalu bel di rumahnya berbunyi. Seolah ada yang menyeretnya pergi membuka pintu, telegram itu diterimanya dari kurir. Begitu membuka telegram dan melihat tiga kata itu, pasien itu mendadak tersadar sepenuhnya, seketika itu dia benar-benar sadar diri, lalu berbalik ke dapur dan menutup kembali tombol gas. Pasiennya itu kemudian senantiasa hidup dengan baik, Marie-Louise pun merasa bahagia untuknya.
Jika dipikir seksama, bukankah di dalam kehidupan kita juga banyak hal kebetulan serupa? Apakah ini adalah takdir, atau benar-benar hanya sekedar kebetulan saja?
Lalu bagaimana Jung menjelaskan sejumlah “kebetulan” ini? Jung berpendapat, pada tingkatan tertentu, materi dan spiritual adalah menyatu, wujud manifestasinya adalah semacam energi tunggal. Energi ini dimanifestasikan dengan frekuensi getar yang lebih rendah wujudnya adalah materi, bila dengan frekuensi getar yang lebih tinggi adalah spiritual. Kadang-kadang bila frekuensi getar cukup kuat, benda-benda pada tingkatan spiritual dapat menembus ke tingkat materi. Sedangkan pada tingkat spiritual, konsepsi ruang dan waktu dari dunia materi pun tak lagi sesuai, disana, waktu adalah abadi, jadi ada kemungkinan kita dapat melihat pemandangan pada ruang lain pada suatu kelebatan, atau mengalami kebetulan yang sulit dinalar.
Halusinasi Pada Otak
Setelah menceritakan kisah kebetulan ini, kembali kita bahas otak kita yang menakjubkan. Hayward menjelaskan, satu sel fotoreseptor yang sederhana pada retina dapat mendeteksi nyala api pada lilin yang berjarak 17 mil jauhnya. Sel rambut pada telinga dapat mendeteksi suara aliran darah pada telinga, sedangkan hidung kita bisa mencium setidaknya empat molekul bau. Tapi mengapa kita tidak bisa melihat sejauh itu, juga tidak bisa mendengar sebanyak itu?
Hal itu dikarenakan bahwa otak kita telah menyaring sebagian besar informasi. Setiap hari, indera kita memberikan informasi dalam jumlah sangat besar, jikalau tidak disaring dan dipilah, hidup kita akan sulit dikelola. Pekerjaan otak besar adalah memilah, lalu mengelola informasi yang berguna, kemudian memberikan respon yang layak.
Akan tetapi, dalam proses penyaringan dan pemilahan itu, otak kita juga tanpa disadari akan timbul bias.
Itu sebabnya Hayward lantas berkata, yang mampu dilihat oleh otak besar kita, besar kemungkinan tidak bisa mewakili benda yang sebenarnya eksis. Jadi “melihat adalah percaya” mungkin juga tidak demikian. (sud)