Matt McGregor
Kebiasaan memeriksa media sosial dapat memengaruhi perkembangan saraf di otak remaja, membuat mereka sensitif terhadap umpan balik sosial dari dunia nyata, menurut penelitian University of North Carolina di Chapel Hill.
Diterbitkan pada Selasa (3/1) di JAMA Pediatrics, studi itu mengeksplorasi apa efek jangka panjangnya bagi remaja yang sering memeriksa media sosial mereka.
Mengandalkan pencitraan resonansi magnetik dan pelaporan diri, penelitian ini mengikuti penggunaan media sosial dari 178 peserta berusia 12 hingga 13 tahun di tiga sekolah negeri Carolina Utara, Amerika Serikat, selama dua tahun.
Para remaja ini dievaluasi dalam penggunaan Facebook, Instagram, dan Snapchat.
“Dalam kurun waktu satu generasi, media sosial telah secara dramatis mengubah lansekap perkembangan remaja, memberikan peluang interaksi sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya sepanjang waktu,” kata studi tersebut. “Media sosial memberikan aliran masukan sosial yang konstan dan tidak dapat diprediksi kepada remaja selama periode perkembangan kritis ketika otak menjadi sangat sensitif terhadap penghargaan dan hukuman sosial.”
Kepuasan instan dari akses dan validasi langsung dirancang untuk memikat perhatian pengguna, menurut studi tersebut.
“Suka, pemberitahuan (notifikasi), dan pesan tiba tak terduga pada jadwal penguatan variabel yang sangat kuat, mengondisikan seorang individu untuk memeriksa media sosial secara rutin guna menanggapi umpan balik sosial ini,” kata studi tersebut.
Tujuh puluh delapan persen anak usia 13 hingga 17 tahun melaporkan memeriksa perangkat mereka setiap jam, dan 46 persen melaporkan memeriksa “hampir terus-menerus”, menurut laporan penelitian tersebut, membuat remaja menjadi “sangat rentan” terhadap pengguliran yang menjadikan ketagihan.
“Kebiasaan remaja memeriksa media sosial mungkin memperburuk respons saraf yang sudah ditingkatkan untuk mengantisipasi umpan balik sosial yang menonjol,” kata studi tersebut. “Selain itu, arti penting motivasi dari konteks sosial dapat merusak kemampuan remaja untuk terlibat dalam kontrol kognitif dan, selanjutnya, untuk mengatur perilaku mereka.”
Akibatnya, penelitian tersebut mengatakan bahwa interaksi terus-menerus dalam sistem penghargaan media sosial “dapat meningkatkan reaktivitas saraf terhadap isyarat terkait penghargaan”, yang mengurangi kemampuan remaja dalam “menolak dorongan untuk memeriksa media sosial”.
Kecanduan yang Telah Dirancang
Pada 2018, BBC melaporkan tentang dua orang dalam Silicon Valley yang membandingkan antara kecanduan media sosial dengan narkoba dan judi.
“Seolah-olah mereka mengambil ‘kokain perilaku’ dan hanya memercikkannya ke seluruh permukaan tubuh Anda dan itulah hal yang membuat Anda ingin kembali dan kembali lagi (memeriksa media sosial),” kata mantan karyawan Mozilla dan Jawbone, Aza Raskin, kepada BBC. “Di balik setiap layar di ponsel Anda, secara umum ada sekitar seribu teknisi yang telah mengerjakan hal ini untuk mencoba membuat- nya menjadi benda yang membuat ketagihan secara maksimal.”
Menurut BBC, Raskin merancang fitur gulir tak terbatas yang memfasilitasi penggeseran ke bawah tanpa henti melalui konten tanpa mengklik, sebuah inovasi yang membuat pengguna melihat ponsel mereka lebih lama dari yang awalnya mereka rencanakan.
“Jika Anda tidak memberi otak Anda waktu untuk mengejar impuls Anda,” kata Raskin, “Anda akan terus menggulirkan jari Anda.”
Mantan karyawan media sosial lain membandingkan penggunaannya dengan menggunakan mesin slot.
Sandy Parakilas mengatakan kepada BBC bahwa ketika dia mencoba untuk berhenti, dia seperti mencoba “berhenti merokok”, sebuah risiko yang dia katakan juga disadari orang lain, menghasilkan model bisnis yang dirancang untuk melibatkan dan “menyedot sebanyak mungkin waktu dalam hidup Anda dan kemudian menjual perhatian itu kepada pengiklan”.
Leah Pearlman, salah satu penemu tombol “Suka” di Facebook, mengatakan kepada BBC bahwa dia menjadi kecanduan Facebook setelah menginvestasikan harga dirinya ke dalam jumlah “Suka” yang dia terima di dunia media sosial.
Pearlman mengatakan bahwa dia akan memeriksa media sosialnya ketika dia membutuhkan pengesahan atau pengujian kebenaran atas sesuatu, serta ketika dia merasa kesepian dan tidak aman.
“Tiba-tiba, saya pikir saya sebenarnya juga kecanduan umpan balik di media sosial,” kata Pearlman.
Dalam dekade terakhir, penggunaan media sosial oleh remaja telah meningkat, menurut studi tersebut.
“Penelitian lebih lanjut yang meneliti hubungan prospektif jangka panjang antara penggunaan media sosial, perkembangan saraf remaja, dan penyesuaian psikologis, diperlukan untuk memahami efek dari pengaruh media sosial terhadap perkembangan remaja saat ini,” kata studi tersebut.