oleh Luo Tingting
Pada 30 Januari 2023, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa COVID-19 tetap menjadi peristiwa darurat kesehatan global. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa jumlah kematian akibat epidemi di Tiongkok telah melonjak, dengan jumlah kematian sebenarnya yang jauh lebih tinggi daripada angka resmi.
Pada 27 Januari, Komite Darurat Kesehatan WHO mengadakan pertemuan ke-14 sejak merebaknya virus COVID-19 untuk membahas apakah pandemi COVID-19 harus tetap berada pada tingkat kewaspadaan tertinggi.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah pernyataannya menyebutkan bahwa dirinya setuju dengan rekomendasi komite dan memutuskan untuk tetap menjadikan peristiwa ini menjadi Darurat Kesehatan Masyarakat untuk Kepedulian Internasional (public health emergency of international concern. PHEIC)”.
Organisasi Kesehatan Dunia mengumumkan untuk pertama kalinya pada 30 Januari 2020 bahwa wabah virus COVID terdaftar sebagai tingkat peringatan kesehatan masyarakat tertinggi di dunia. Saat itu, wabah mulai timbul dan menyebar dari Kota Wuhan, Tiongkok, kemudian pada 23 Januari 2020 otoritas Tiongkok baru memerintahkan lockdown kota itu tanpa peringatan. Namun penutupan itu sudah terlambat lebih dari sebulan sejak virus menyebar. Karena PKT terus berupaya menutup-nutupi peristiwa ini, epidemi akhirnya berkembang menjadi pandemi yang menyebar ke seluruh dunia.
Dalam pernyataannya, Tedros menunjukkan bahwa saat ini, epidemi mungkin sedang berada dalam masa transisi, meminta setiap negara di dunia untuk tetap berhati-hati, demi mengurangi kemungkinan terjadinya konsekuensi negatif.
Dia juga mengatakan bahwa jumlah kematian akibat epidemi turun pada Oktober tahun lalu, tetapi pada awal Desember, setelah otoritas Tiongkok mencabut pembatasan pencegahan epidemi, jumlah kematian akibat epidemi di Tiongkok kembali melonjak. Pada pertengahan Januari tahun ini, hampir 40.000 kematian dilaporkan setiap minggu, dan lebih dari setengahnya berasal dari Tiongkok. Namun yang pasti, jumlah kematian di Tiongkok sebenarnya jauh lebih tingginya .
Penasihat komite ahli WHO tentang status pandemi mengatakan kepada Reuters pada bulan Desember bahwa sekarang mungkin bukan waktu untuk mengakhiri keadaan darurat, mengingat ketidakpastian tentang gelombang infeksi setelah Beijing mencabut kebijakan Nol Kasus pada akhir tahun 2022.
“Kami tetap berharap di tahun mendatang, dunia akan beralih ke fase baru di mana kami dapat menurunkan jumlah rawat inap (akibat COVID-19) dan kematian ke tingkat terendah”, kata Tedros pada pertemuan WHO lainnya pada 30 Januari 2023.
Sejak Desember tahun lalu, tsunami epidemi di Tiongkok telah menyebabkan rumah sakit di seluruh negeri menjadi penuh sesak, dan sulit untuk menemukan tempat pembaringan buat pasien. Selain itu jenazah yang menunggu jadwal perabuan berada di mana-mana di seluruh krematorium yang ada. Juga adanya instruksi dari pejabat tinggi Tiongkok yang melarang keras menuliskan “COVID-19” sebagai penyebab kematian pasien. Kasus kematian yang dilaporkan pihak berwenang setelah 36 hari pencabutan lockdown hanya berjumlah 37 kasus, suatu perbedaan yang mencolok antara fakta dan pelaporan.
Organisasi Kesehatan Dunia mengkritik keras pemerintah Tiongkok karena tidak melaporkan jumlah sebenarnya dari kematian akibat epidemi. Dan masyarakat di daratan Tiongkok tidak mempercayai data resmi.
Di bawah tekanan dunia luar atas keraguan terhadap jumlah kematian yang dilaporkan, PKT lalu menyesuaikan jumlah kematian pada 14 Januari, mengumumkan angka 59.938 kasus kematian karena COVID-19, meningkat 1.600 kali lipat dari 37 kasus kematian sebelumnya. Namun, angka ini masih sangat tidak sesuai dengan situasi nyata yang terjadi, sehingga integritas pemerintah Tiongkok kembali dipertanyakan.
Profesor Ye Yaoyuan, Direktur Studi Internasional dan Bahasa Modern di Universitas St. Thomas di Amerika Serikat, mengatakan kepada Voice of America : “(PKT) biasanya berbohong. Alasannya sangat sederhana. Itu karena mereka tidak ingin kesalahannya diketahui oleh rakyat, mereka juga tidak ingin rakyatnya memahami masalah-masalah yang dihadapi PKT, kemudian menyalahkan atau melampiaskan kemarahan kepada PKT dan Komite Sentral PKT”.
Pada 16 Januari, media “Epoch Times” yang mengutip pernyataan dari Master Li Hongzhi, pendiri Falun Gong melaporkan bahwa PKT terus berusaha menutupi kasus wabah tersebut, padahal selama 3 tahun terakhir ini jumlah kematian di daratan Tiongkok akibat epidemi sudah mencapai 400 juta jiwa. Dan ketika gelombang epidemi ini berakhir nanti, jumlah kematian dapat mencapai 500 juta jiwa.
Dunia terkejut atas jumlah kematian akibat epidemi di daratan Tiongkok yang diungkapkan oleh Master Li Hongzhi. Meskipun demikian, sejauh ini belum ada pejabat PKT yang membuat sanggahan apapun. (sin)