Wan Jaya
“Mau minta keadilan, Pak. Minta…Minta…Beli” Itulah bunyi dialog dalam sebuah karikatur yang diposting oleh Menko Polhukan Mahfud MD di akun twitternya pada (31/01/2023). Mahfud mengatakan karikatur itu dikirim oleh rekannya sesama menteri.
September 2020, Mahfud MD pernah berpidato tentang industrialisasi hukum yang terjadi di Indonesia. Hukum yang tujuan idealnya adalah untuk mewujudkan keadilan dan ketertiban menjadi komoditi yang diperdangkan. Di titik ini yang berlaku adalah hukum supply dan demand yang terjadi dalam dunia ekonomi. Dengan perubahan ini, equality before the law tidak relevan lagi. Keadilan hanya untuk orang yang berduit dan mampu serta mau membelinya. Bagi yang tidak mampu atau mereka yang mengandalkan BLT untuk menyambung hidup tak usah berfikir membeli keadilan. Itu sekarang menjadi barang mewah. Berdoa saja mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Adil memberi Anda keadilan. Tentunya dengan cara di luar sistem peradilan. Atau Anda bisa membuat sumpah kutukan atau mubahalah, barangkali rasa keadilan itu segera didatangkan bagi Anda oleh Tuhan Yang Maha Adil. Dan satu lagi Anda bisa memviralkannya, biar penegak hukum yang tidak menjalankan tugasnya memberikan keadilan, kemanungsan oleh netizen. Tapi ini juga bukan jaminan, kalau sudah tidak viral lagi, kembali penyakit lamanya, memperdagangkan keadilan.
Bagaimana praktik industri hukum itu terjadi? Mahfud MD menjelaskan prakteknya bisa dengan menjadikan orang yang benar menjadi salah dan yang salah jadi benar. Yang punya kesalahan disembunyikan pakai suatu pasal tertentu, atau dibuang barang buktinya. Ketika Mahfud menjadi hakim konstitusi, ia paham betul aturan mana yang dapat digunakan untuk memenangkan pihak berperkara. Sebaliknya, ia juga paham betul pasal mana yang bisa dipakai untuk membuat satu pihak menjadi salah. Pada akhirnya hal terakhir ada pada moralitas hakim mau atau tidak mengindustrikan hukum. Dan ketika kini mempunyai kekuasaan sebagai Menko Polhukam, Mahfud harusnya tak sekedar buka-bukaan, tapi harus membuat trobosan dan solusi. Atau barangkali karena peliknya masalah, berharap ada kesadaran publik untuk bergerak.
Bukan hanya di tataran penegakan hukum terjadi fenomena industrialisasi hukum, dalam legislasi atau pembuatan hukum terjadi semacam anomali. Revisi UU KPK yang mempreteli kekuasaannya menangkap koruptor, UU Sapu Jagad Omnibus Law Cipta kerja yang inkonstitusional, dan Perpu Cipta Kerja seolah merupakan mata rantai industrialisasi hukum atau menjadikan hukum lepas dari fungsi idealnya yaitu memberi rasa keadilan. Beberapa pakar hukum tata negara menyebut ini sebagai autocratic legalisme (otorianisme berbalut hukum atau tirani yang dilegalkan.) Produk hukum yang seharusnya diperuntukkan untuk masyarakat luas, ternyata menguntungkan sekelompok elite penguasa, pengusaha atau penguasa yang pengusaha.
Jika ini yang terjadi, yang tadinya sebagai negara hukum menjadi negara kekuasaan. Terus keadilan mau dikemanakan atau untuk siapa? Atau harus menuggu Ratu Adil yang dinubuatkan tapi tak kunjung datang?
Dan juga muncul juga fenomena politisasi hukum. Hukum digunakan untuk menjegal lawan politik dengan mencari-cari kesalahan sedetail mungkin sehingga tidak jadi calon dalam kontestasi pemilu, atau menekan politikus untuk menghambat kandidat lain untuk bisa masuk kontestasi pemilu atau menghancurkan reputasi sehingga elektabilitas merosot. Pilar-pilar hukum sudah roboh.
Fenomena runtuhnya pilar-pilar hukum membuat semua orang tersandera. Karena dengan menjamurnya prilaku korupsi sebagian elite pasti pernah dosa. Ketika mereka ingin membuat ide perubahan atau perbaikan akan menjadi kartu AS yang menyandera. Mereka juga pernah menjadi krimanal, tapi belum apes saja.
Filsofi dasar hukum mengatakan fiat justicia ruat caelum (tegakkan keadilan meskipun langit runtuh). Itu yang seharusnya dilakukan para penegak hukum. Apa yang terjadi bila yang roboh itu langit hukum sendiri yang diakibatkan runtuhnya pilar-pilarnya? Hukumnya tidak adil, penegak hukumnya bisa dibeli, dan semua tersandera karena sama-sama pernah melanggar hukum. Thomas Jefferson mengatakan ketika tirani menjadi hukum atau penegak hukum itu sendiri, maka pemberontakan adalah sebuah tugas yang harus ditunaikan.
Hukum Tuhan Memberi Keadilan
Kalau hari ini untuk mendapatkan keadilan seseorang harus membelinya. Dan produk-produk hukum dirancang untuk membunuh keadilan.Apa yang harus dilakukan?
Jawabannya adalah hanya mengakui hukum Tuhan dan tidak mengakui hukum-hukum yang tidak adil. Bisa saja hukum itu memenjarakan sesorang atau merampas hartanya. Tapi keadilan Tuhan mempunyai cara sendiri untuk bermanifestasi.
Ini diinspirasi kisah tentang Yahudi taat bernama Daniel di era raja Darius dari Persia di abad 6 sampai 5 Sebelum Masehi. Daniel seorang pegawai yang jujur dan sangat disayangi oleh raja. Ini membuat pejabat yang lain iri dan berencana membuat konspirasi untuk memenjarakannya dengan membuat aturan yang menjebak Daniel. Upaya itu berhasil. Daniel dipenjarakan dengan di masukkan ke kandang Singa. Daniel sangat percaya pada hukum Tuhan. Imannya mengalahkan rasa takutnya dengan singa-singa yang lapar. Iman ini membuat keajaiban. Para singa yang lapar tak sudi memakan dagingnya. Melihat mukjizat ini saja Darius membebaskannya hukuman, sebagai gantinya Sang Raja melemparkan para konspirator ke kandang singa.
Intinya, tak perlu mengemis keadilan sampai air mata mengering, atau berusaha membelinya sampai lembar rupiah terakhir. Jika hukum pun manusia pun juga dirancang tidak adil tak usah mengakuinya, percaya pada hukum dengan sepenuh iman. Jika keadilan Tuhan telah datang, para pendosa dan tiran itu gantian menderita dan minta pengamunan. Atau bahkan dilemparkan ke kandang singa.