Wan jaya
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 terjun bebas. Dari skor 38 turun ke skor 34 dan berada di peringkat ke 110 dari 180 negara yang disurvei. Di kawasan ASEAN IPK Indonesia berada di peringkat 7 dari 11 negara, jauh di bawah sejumlah negara tetangga seperti Singapura (83), Malaysia (47), Timor Leste (42), Vietnam (42)dan Thailand (36). Penurunan 4 poin adalah yang paling drastis sejak era reformasi. Apa arti skor itu? Nilai 100 berarti bersih dari korupsi, Nilai 0 berarti sangat korup. Anda bisa bayangkan kalau skor itu 34? Ya, seperti ketika kita sekolah dan kita dapat nilai 34.
IPK ini dihasilkan dari kombinasi 13 survey global dan penilaian korupsi berdasarkan persepsi pelaku usaha dan penilaian ahli sedunia. Terjun bebasnya IPK Indonesia banyak dipengaruhi aspek korupsi sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku suap, serta suap untuk izin ekspor-impor . Penurunan tertajam IPK terjadi pada indikator Political Risk Service (PRS) Internasional Country Risk Guide dari poin 48 pada 2021 menjadi 35 pada 2022. PRS terkait dengan korupsi dalam sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, serta pembayaran ekstra/suap untuk izin ekspor-impor.
Indikator ekonomi mengalami tantangan besar, ada dilema antara progresivitas perusahaan dalam menerapkan sistem antikorupsi dan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi. Dalam bidang hukum, semakin banyak ditemukan perilaku korup justru di para penegak hukum
Turun drastisnya skor IPK membuat Menkopolhukam agak kaget dan sudah memduga sebelumnya karena banyak kasus tangkap tangan koruptor. Sementara Presiden melihat momen ini untuk evaluasi diri dan mendorong percepatan penerapan e-goverment yang terintegrasi sehingga memperkecil peluang korupsi. Yang jelas ini tamparan bagi pemerintah sejak polemik revisi UU KPK yang diklaim sebagai langkah perbaikan kinerja KPK. Konsekuensi terjun bebasnya IPK ini sangat pahit. Upaya untuk menarik para investor luar negeri bisa layu sebelum berkembang. Logika investor pasti ingin menaruh dana investasi ke tempat yang aman dan menjamin kepastian hukum.
Jadi penurunan drastis ini bisa jadi karena buah dari strategi yang salah atau sengaja dibuat salah. Upaya mengunduli kewenangan KPK lewat revisi UU KPK itulah sebab akarnya. Elite politi sengaja membiarkan ini terjadi demi memuaskan hasrat oligarki politik dan ekonomi untuk mengumpulkan logistik untuk melangengkan kekuasaan.
Sebut saja ketika pandemi melanda, sistem budgeting DPR dan check and balance tidak berfungsi. DPR seolah memberikan cek kosong bagi eksekutif untuk menentukan anggarannya. Ini terjadi juga kekuatan oposisi melemah dan dilemahkan, dan koalisi pro pemerintah terlalu gemuk.
Sementara itu, Faisal Basri melihat fenomena penguasa yang penguasa dan pengusaha yang penguasa semakin tak terbendung. Dalam laporan tersebut risiko politik di Indonesia sangat tinggi, sehingga investor tidak mau lama di Indonesia. Untuk menyiasati ini semua, investor berani masuk memilih proyek dengan keuntungan cepat tanpa membangun infrastruktur seperti yang terjadi pada smelter nikel.
Ia menyebutkan bahwa mereka mencari back up dari penguasa karena resiko dan musuhnya banyak mulai aktivis lingkungan, rakyat, pengusaha lain yang juga di-back up penguasa yang lain. Maka, direkrutlah penguasa setinggi-tingginya yang dia bisa. Penguasa itu yang mampu membuat undang-undang, mampu memberikan fasilitas luar biasa seperti tidak bayar pajak keuntungan selama 20 tahun. Ia mengungkapkan, ketika korupsi di pusat kekuasaan telah melakukan pengerukan yang luar biasa, maka masyarakat menjadi terbatas kapasitasnya.
Perselingkuhan penguasa-penguasa dan oligarki politik-oligarkhi ekonomi inilah yang menyebabkan demokrasi semakin mundur dan set back ke arah otoriter sejenis Orde Baru. Sehingga muncul fenomena yang aneh-aneh seperti memperpanjang masa jabatan presiden, gila kuasa sampai ke desa, perpu cipta kerja, penundaan pemilu 2024, skema pemilu serentak di 271 kepala daerah yang rentan politisasi, dan pemberlakuan sistem proporsional tertutup. Yang pada intinya cita reformasi 1998 sedang dikhianati habis-habisan. Di era inilah perampokan dana publik semakin jumbo. Di era sebelumnya korupsi dana sebesar 6 triliun seperti kasus Century sudah sangat heboh. Di era ini, kasus Jiwasraya, Asabri dan yang lainnya yang secara nominal lebih fantastis semakin kerap terjadi. Di posisi ini para koruptor menang. KPK sudah dilemahkan. Dan rakyat dan pembayar pajak yang menanggungnya.
Turunnya IPK drastis empat poin kembali ke titik awal ketika presiden Joko Widodo menjabat, menyiratkan tak ada political will untuk benar-benar memberantas budaya korupsi. Atau Presiden tak bisa lagi mengendalikan keadaannya. Seolah ke mana-mana tapi jalan ditempat. Pada intinya konflik of interest semakin besar terjadi di antara para elite pemegang kekuasaan. Setiap elite tersandera satu sama lain. Masing punya dosa, sehingga yang terjadi tari poco-poco dan adu panco.
Di rezim ini memang impian lompatan kemajuan memang besar tapi lagi-lagi korupsi tetaplah bak kanker yang menggerogoti keyakinan warga negara terhadap demokrasi, menghilangkan naluri inovasi dan kreativitas; anggaran nasional yang sudah ketat, mendesak investasi nasional yang penting. Paus Francis mengatakan korupsi itu sejatinya ditanggung oleh orang miskin. “Korupsi adalah kanker yang mencuri dari orang miskin, menggerogoti tata kelola dan serat moral serta menghancurkan kepercayaan.” —Robert Zoellick”.
Hasrat korupsi yang semakin tak terkendali akan membuat dana haram untuk membeli suara rakyat semakin besar. Sejalan dengan itu, rakyat akan semakin khilaf untuk menjual suara dan nurani demi beberapa lembar rupiah dengan taruhan sengsara selama satu periode, dua periode dan seterusnya. Lagi-lagi budaya korupsi bak virus menulari siapa saja. Bila itu terjadi negara dalam bahaya.