“Kita bersembunyi dari identitas terdalam diri kita sendiri ketika kita berdalil bahwa kesadaran akan padam dengan kematian tubuh – mengakibatkan kesenjangan yang tajam dalam kapasitas kita untuk mengenal diri sendiri.”
-Jefferey Mishlove, Psikolog dan Parapsikolog
Sumaya Hazarika
Sebagai seorang pengagum sains dan terus-menerus tertarik dengan berbagai pencapaiannya, saya juga merupakan makhluk yang memiliki roh saya sendiri, percaya secara “ilmiah”, membuat saya dan kita semua menjadi makhluk spiritual yang pertama. Sains awal masyarakat menganggap sebagian besar hal adalah mitos, sampai pengalaman universal berupa bukti-bukti seperti keberadaan gravitasi, detak jantung, dan lain-lain., membalikkan keadaan, merapikan kemelut yang ada. Dari penemuan Galileo hingga teori Einstein, masyarakat semakin terbuka dan memperluas pikirannya.
Sekarang sudah menjadi kepercayaan umum bahwa “scientism” tidak sama dengan sains, karena scientism tidak mencari kebenaran, namun sayangnya justru menuju ke arah yang berlawanan.
Scientisme adalah keyakinan yang tidak perlu dipertanyakan lagi pada pandangan dunia materialistis, yang kondusif bagi perkembangan teknologi modern, dan dianggap dapat memberikan penjelasan tentang segala sesuatu. Namun pada kenyataannya, kita masih jauh dari mengenali (apalagi menjelaskan) berbagai fenomena yang dapat kita lihat tetapi tidak dapat kita definisikan-misalnya tentang kesadaran.
Tidak dapat disangkal bahwa kita telah melangkah jauh dalam hal pemahaman dan penerimaan terhadap proses mental. Meski begitu, mengatakan bahwa kita masih jauh dari menguak kedalaman kesadaran manusia yang sebenarnya adalah pernyataan yang meremehkan.
Jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan bahwa 83 persen dari penduduk Amerika Serikat pernah mengalami fenomena paranormal. Kejadian-kejadian seperti near death experience (NDE) atau pengalaman mendekati kematian, sinkronisitas, pengalaman penampakan, kelangsungan hidup setelah kematian, dan reinkarnasi sudah tidak terhitung dan tidak dapat disangkal lagi. Namun karena tidak dapat dijelaskan, persepsi-persepsi ekstrasensori ini dengan mudah dicap sebagai tipuan atau bahkan “tidak ilmiah” – yang mana memang benar, karena fenomena-fenomena ini, pada kenyataannya, berada di luar ilmu sains.
Bapak Psikologi Amerika
Mungkin pandangan yang lebih holistik tentang pengalaman dapat menghasilkan lebih banyak pemahaman.
Sebagai contoh, ketika seseorang menderita suatu penyakit, untuk memahami masalahnya dari akarnya, pikiran pertama yang muncul adalah “diagnosis”. Namun, bagaimana jika tidak ada diagnosis mendalam yang diketahui untuk kejadian tertentu, karena secara universal diagnosis tersebut dianggap salah?
William James, yang juga dikenal sebagai Bapak Psikologi Amerika, dalam upaya konstruktifnya untuk menciptakan hubungan antara fenomenologi (mempelajari makna yang dimiliki sesuatu dalam pengalaman seseorang) dan sains eksperimental (memperoleh pengetahuan melalui pengalaman langsung) menggagas “empirisme radikal” yang menyatakan bahwa “realitas tidak terdiri dari subjek dan objek (pikiran dan benda), melainkan pengalaman murni.”
Menurut James, “seluruh pengalaman manusia adalah domain yang tepat untuk penyelidikan Psikologi. Hal ini berbeda dengan kecenderungan aliran Psikologi tertentu, seperti strukturalisme (studi tentang pengalaman mental melalui investigasi dengan menggunakan program eksperimen yang sistematis), untuk mendefinisikan subjek secara lebih sempit.”
Dari menjadi pendidik pertama yang menawarkan mata kuliah Psikologi di Amerika Serikat, hingga dikritik karena terlalu menekankan pada perasaan tubuh, teori-teori William James berkontribusi pada bidang ini lebih banyak dibandingkan pemikir terkemuka lainnya di akhir abad ke-19. Setelah banyak dikritik dan ditolak karena keyakinannya akan “free will,” atau “kehendak bebas”, karya James masih dianggap berpengaruh dalam dunia psikologi.
Hipotesis yang Mengejutkan
Pandangan holistik seperti itu menghasilkan “hipotesis yang mengejutkan” tentang kesadaran.
Pemenang Hadiah Nobel, Francis Crick, bersama dengan James Watson, terkenal dengan penemuan terobosan struktur molekul DNA. Selama penelitiannya, Crick didorong oleh dua masalah yang belum terpecahkan dalam biologi:
1-Bagaimana molekul melakukan transisi dari benda mati menjadi hidup, dan
2-Bagaimana otak membentuk pikiran sadar
Pada 1994, ilmuwan pemberani ini menulis sebuah buku berjudul “The Astonishing Hypothesis,” yang membagikan sikap ilmiah yang menyegarkan dan kejujuran kepada dunia. Dalam video di bawah ini (1995), Crick mengakui persepsi religius tentang “hidup” dan “mati”, dengan upaya yang ingin tahu untuk mengeksplorasi hal yang sama sambil menerima batas-batas ilmiah
“… jika otak Anda mati maka pada dasarnya Anda sebagai manusia akan dianggap mati, sedangkan penafsiran yang lebih konvensional & sering kali agama dalam beberapa hal, ada roh yang tidak material yang masih hidup…”
-Francis Crick
Para Peneliti Memainkan ‘Subjek’
Musim panas 2005 bagi psikolog klinis Brendon Engen mengalami perubahan ketika ia diberitahu melalui sebuah saluran trans bahwa di salah satu kehidupan sebelumnya ia pernah menjadi murid muda dari filsuf dan dramawan Stoa, Lucius Anneaus Seneca. Dia juga diberitahu bahwa “inkarnasi Seneca saat ini” adalah Jeffrey Mishlove, bahwa hubungan yang telah berlangsung selama berabad-abad ini akan terwujud kembali untuk memenuhi sesuatu yang memiliki “makna karma”.
Setelah berkorespondensi dengan Jeffrey Mishlove, Engen dan Mishlove menyadari ketertarikan mereka yang sama terhadap pengalaman paranormal. Bersama-sama mereka menulis makalah berjudul rchetypal Synchronistic Resonance: A New Theory of Paranormal Experience” atau “Resonansi Sinkronis Arketipal: Sebuah Teori Baru tentang Pengalaman Paranormal.”
Dalam makalah ini, para penulis mengakui bahwa batasan topik pertemuan paranormal, bersama dengan isu-isu teoritis dan filosofisnya sendiri, lebih kompleks daripada apa yang umumnya tampak pada pandangan pertama. Selain itu, kita juga diingatkan bahwa ” mengaitkan hubungan yang berarti dengan apa yang sebenarnya secara intrinsik tidak berarti adalah kesalahan penilaian yang patut disesalkan, bahkan berpotensi berbahaya.” Namun, mereka berhasil menawarkan kriteria untuk memisahkan keduanya.
Faktanya, Mishlove sendiri, setelah mengalami mimpi yang mengubah hidupnya yang melibatkan komunikasi setelah kematian dengan pamannya, Harry, telah membuat keputusan radikal untuk mengganti jurusannya dari kriminologi ke parapsikologi yang “membuat banyak orang terheran-heran.”
Hingga hari ini, Mishlove adalah satu-satunya orang yang menerima gelar doktoral dalam bidang parapsikologi (dari University of California, Berkeley pada tahun 1980) yang diberikan oleh universitas terakreditasi di Amerika.
Sebagai upayanya yang tulus untuk membuat perilaku paranormal dan persepsi ekstrasensori lebih diterima secara luas, Mishlove, dengan dana hibah dari Bigelow Institute, membukukan penelitiannya yang berjudul “Beyond the Brain: The Survival of Human Consciousness After Permanent Bodily Death” atau “Beyond the Brain: Kelangsungan Hidup Kesadaran Manusia Setelah Kematian Jasmani Permanen.”
Dalam makalah yang penuh wawasan ini, Mishlove mengeksplorasi sejumlah kasus pengalaman paranormal di seluruh dunia. Merekam berbagai contoh komunikasi mendekati kematian, persepsi ekstrasensori, dan psikokinesis dari individu-individu sekaligus membahas karya-karya praktisi hipnosis, meditasi, yoga, perjalanan di luar tubuh, lucid dreaming, medium roh, entheogenik, dan ilmu-ilmu lainnya, Mishlove menyimpulkan makalahnya dengan mengatakan, “Peradaban modern membayar harga karena mengabaikan kelangsungan hidup setelah kematian – dan lebih memilih pandangan, yang diungkapkan oleh Marvin Minsky di bagian Pendahuluan, bahwa manusia tidak lebih dari mesin yang canggih.
Sumaya Hazarika sedang menempuh pendidikan Magister Antropologi, dan sangat tertarik dengan ilmu pengetahuan dan spiritualitas. Dia menulis tentang kesehatan mental, gangguan psikosomatis, dan parapsikologi untuk The Epoch Times