EtIndonesia. Hubungan antara Kanada dan Tiongkok kini berada di titik nadir akibat sengketa tarif dagang dan peristiwa eksekusi empat warga Kanada di Tiongkok. Krisis diplomatik ini menguak ketegangan yang semakin tajam antara kedua negara dalam isu perdagangan dan HAM, sekaligus membuat Kanada terjebak dalam tarik-menarik antara kepentingan perdagangan di bawah dominasi AS dan respons keras dari Beijing. Dari konflik ekonomi hingga kontroversi hukum, memburuknya hubungan Kanada-Tiongkok kini menjadi sorotan global.
Eksekusi Warga: Isu HAM Picu Kecaman Keras
Menurut laporan The Globe and Mail, Menteri Luar Negeri Kanada, Mélanie Joly mengonfirmasi bahwa Pemerintah Tiongkok telah mengeksekusi empat warga Kanada pada awal 2025 atas tuduhan terkait narkoba. Joly atas nama Pemerintah Kanada mengecam keras eksekusi tersebut, menyebutnya sebagai “tindakan yang tak dapat diubah dan bertentangan dengan martabat dasar kemanusiaan.”
Global Affairs Canada mengungkapkan bahwa baik Joly maupun mantan PM Justin Trudeau telah berulang kali mengajukan permohonan grasi kepada Beijing, namun tidak berhasil. Nama dan rincian para korban tidak dipublikasikan atas permintaan keluarga.
Kedutaan Besar Tiongkok di Kanada mengakui eksekusi warga Kanada tersebut, meski tidak menyebutkan jumlahnya secara spesifik. Mereka menyatakan bahwa para terdakwa dihukum mati secara sah atas kejahatan narkoba.
Dalam pernyataannya, mereka menegaskan:“Tiongkok adalah negara yang menjunjung supremasi hukum. Kejahatan narkoba diakui berbahaya secara global, dan Tiongkok memiliki kebijakan zero tolerance terhadap hal ini.”
Mereka juga mengecam Kanada atas pernyataan kritiknya dan menuntut agar Ottawa “menghormati kedaulatan hukum Tiongkok dan menghentikan komentar yang tidak bertanggung jawab.”
Reaksi dari kalangan politik dan masyarakat Kanada sangat keras. Anggota parlemen dari Partai Konservatif sekaligus juru bicara urusan luar negeri, Michael Chong, menyebut eksekusi ini sebagai “belum pernah terjadi sebelumnya” dan menilai ini adalah sinyal bahwa Beijing tidak berniat memperbaiki hubungan dengan Ottawa. Dia membandingkan kejadian ini dengan penahanan balasan terhadap warga Kanada setelah kasus Meng Wanzhou pada 2018, dan menuding sistem hukum Tiongkok sangat dipolitisasi.
Sekjen Amnesty International Kanada, Ketty Nivyabandi, mendesak Pemerintah Kanada untuk meningkatkan tekanan terhadap Beijing, terutama guna melindungi warga lain yang masih ditahan, seperti Robert Schellenberg, yang saat ini masih menghadapi hukuman mati meski tidak termasuk dalam daftar eksekusi terbaru.
Perang Tarif Kanada-Tiongkok: Ketegangan Ekonomi Tambah Parah
Di sisi lain, perang dagang antara Kanada dan Tiongkok juga terus memanas. Pada Oktober 2024, Kanada mengenakan tarif 100% terhadap mobil listrik buatan Tiongkok, serta 25% terhadap baja dan aluminium, dengan alasan mengatasi kelebihan kapasitas produksi Tiongkok.
Sebagai balasan, pada 8 Maret 2025, Kementerian Perdagangan Tiongkok mengumumkan bahwa mulai 20 Maret mereka akan menerapkan tarif 100% terhadap produk Kanada seperti minyak kanola, bungkil (oilcake), dan kacang polong, serta 25% terhadap hasil laut dan daging babi, dengan total perdagangan yang terdampak mencapai 2,6 miliar dolar AS.
Menariknya, Tiongkok tidak memasukkan biji kanola (canola seed) dalam daftar sanksi, yang dinilai sebagai sinyal adanya ruang negosiasi.
Menteri Industri Kanada François-Philippe Champagne menegaskan bahwa Kanada tidak akan mencabut tarif terhadap produk Tiongkok, dan tengah bekerja sama dengan AS untuk mencegah praktik dumping barang-barang Tiongkok ke pasar Amerika Utara melalui Kanada. Namun posisi ini membuat Kanada menghadapi perang dagang dua arah — satu dengan Tiongkok, dan satu lagi dengan AS, di mana Kanada masih memberlakukan tarif balasan senilai 155 miliar dolar Kanada terhadap kebijakan AS.
Media Pemerintah Tiongkok menggambarkan perang tarif ini sebagai peringatan terhadap Kanada karena mengikuti garis keras Washington terhadap Beijing, dengan harapan dapat memecah belah aliansi Amerika Utara.
Sektor pertanian Kanada terkena dampak paling awal. Dewan Minyak Kanola memperingatkan bahwa industri ini akan mengalami guncangan besar. Pemerintah memang menjanjikan dukungan pendanaan sebesar 1 miliar dolar Kanada untuk petani, namun pelaku industri menilai bantuan itu tidak cukup untuk menutupi kerugian.
Perdana Menteri British Columbia, David Eby, menyerukan agar kebijakan terhadap Tiongkok ditinjau ulang, sedangkan PM Ontario, Doug Ford, justru menyarankan agar Kanada bersikap lebih tegas terhadap AS, menyoroti perbedaan pandangan dalam negeri.
Akar Masalah dan Kebuntuan Diplomatik
Keretakan hubungan Tiongkok-Kanada saat ini dapat ditelusuri kembali ke insiden Meng Wanzhou pada 2018, yang kemudian diikuti oleh penahanan dua warga Kanada oleh Tiongkok dan perubahan hukuman Robert Schellenberg menjadi hukuman mati, yang dipandang luas sebagai balasan politik dari Beijing. Kini, dengan terjadinya eksekusi empat warga dan eskalasi perang tarif secara bersamaan, hubungan kedua negara semakin memburuk.
Tiongkok adalah mitra dagang terbesar kedua Kanada, dengan nilai ekspor mencapai 47 miliar dolar Kanada pada 2024. Perang tarif ini mengancam sektor pertanian dan pangan, sementara eksekusi warga Kanada menyentuh garis merah isu HAM. Para analis menilai Tiongkok sedang menggunakan tekanan ekonomi dan yudisial untuk merespons kebijakan Kanada, sekaligus menantang dominasi AS dalam struktur perdagangan kawasan.
Data Amnesty International menunjukkan bahwa Tiongkok mengeksekusi ribuan orang setiap tahun, jauh melampaui negara mana pun di dunia. Tingkat vonis bersalahnya mencapai lebih dari 99%, dan hampir tidak pernah memberikan grasi — hal ini sering mendapat kritik internasional. Eksekusi terhadap warga negara Barat seperti kali ini adalah kejadian langka, yang oleh mantan detektif Inggris Peter Humphrey disebut sebagai “peringatan serius bagi pemerintah-pemerintah dunia”, dan menunjukkan bahwa Beijing tidak tertarik memperbaiki hubungan dengan Kanada.
Prospek dan Refleksi
Hubungan Kanada dan Tiongkok kini membeku, baik secara diplomatik maupun ekonomi. Jika perang tarif terus berlanjut, Kanada akan menghadapi tekanan untuk memilih lebih tegas antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Sementara itu, sikap keras Tiongkok justru berpotensi semakin mengasingkannya dari dunia Barat.
Bagi Kanada, menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan komitmen terhadap HAM kini menjadi tantangan utama. Peristiwa eksekusi ini membangkitkan kesadaran publik terhadap sisi gelap sistem hukum Tiongkok, sementara konflik dagang menguji daya tahan ekonomi negara tersebut dalam lanskap perdagangan global.
Sementara Tiongkok mungkin memandang eksekusi dan sanksi ekonomi sebagai cara untuk menunjukkan kedaulatan hukum dan kekuatan politik, langkah tersebut berisiko menambah isolasi internasional dalam jangka panjang.
Krisis ini bukan sekadar konflik bilateral antara Kanada dan Tiongkok, melainkan cerminan dari kompleksitas geopolitik dan perdagangan global masa kini. Arah hubungan kedua negara ke depan patut terus diamati secara saksama.(jhn/yn)