Adam Morrow
Kejatuhan Bashar Assad memberikan pukulan besar bagi Rusia, Iran, dan sekutu regional mereka, sementara Turkiye dan Israel menyambut era baru di negara yang telah dilanda konflik selama bertahun-tahun.
Setelah runtuhnya rezim Suriah pada 8 Desember, aktor regional dan internasional berlomba-lomba mengkonsolidasikan posisi mereka di negara yang telah terkoyak konflik selama lebih dari satu dekade.
Menurut para ahli, pihak yang paling diuntungkan adalah Turkyei dan Israel—meskipun dengan alasan yang berbeda—sementara Rusia, Iran, dan sekutu regionalnya tampaknya mengalami pukulan besar.
Banyak ahli juga percaya bahwa kejatuhan tiba-tiba Presiden Suriah Bashar al-Assad dan pemerintahannya dapat semakin mengguncang kawasan yang sudah tidak stabil.
“Kerusuhan sipil akan terus berlanjut dalam waktu dekat,” kata analis politik Turkiye Aydin Sezer kepada The Epoch Times. “Berdasarkan contoh Irak dan Libya, era baru ini akan terus menimbulkan risiko. Faktor eksternal akan memainkan peran yang menentukan.”
Francis Boyle, seorang profesor hukum internasional di Universitas Illinois, juga menyatakan kekhawatirannya bahwa Suriah pasca-Assad “dapat jatuh ke dalam kekacauan seperti Libya.”
“Suriah sedang di-Balkanisasi saat ini,” kata Boyle, penulis buku Destroying Libya and World Order, kepada The Epoch Times.
Turkiye, YPG Kurdi
Turkiye memutuskan hubungan dengan Damaskus setelah konflik Suriah pertama kali pecah pada 2011. Sejak saat itu, Turkiye mendukung sejumlah kelompok yang berupaya menggulingkan Assad dan pemerintahannya, yang kini telah menjadi kenyataan.
Setelah jatuhnya Damaskus, Menteri Luar Negeri Turkiye Hakan Fidan menyambut apa yang disebutnya sebagai “era baru” di Suriah, menyatakan dukungan Ankara untuk rakyat Suriah.
“Kami berharap aktor internasional, terutama PBB, memberikan bantuan kepada rakyat Suriah dan mendukung pembentukan pemerintahan yang inklusif,” katanya dalam pernyataan yang dikutip oleh kantor berita Anadolu, Turkiye, pada 9 Desember.
Fidan mengatakan Ankara berharap melihat “Suriah baru yang akan memiliki hubungan baik dengan tetangganya dan berkontribusi pada perdamaian serta stabilitas di kawasan.”
Ia juga mengatakan Turkiye akan berusaha mencegah kelompok teroris ISIS dan PKK, yang keduanya memiliki keberadaan di Suriah, “memanfaatkan situasi saat ini.”
Menurut Oytun Orhan, seorang pakar Timur Tengah dari Turkiye, Ankara telah muncul sebagai pihak yang diuntungkan dalam situasi ini, tetapi ada juga risiko bagi Turki.
Kekhawatiran utama Ankara, katanya, adalah “perjuangan Turkiye melawan YPG,” yang merujuk pada afiliasi Suriah dari PKK Kurdi.
Dalam beberapa hari terakhir, Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki telah melakukan serangan besar-besaran di Suriah utara, di mana mereka merebut wilayah signifikan dari YPG, termasuk kota strategis Manbij dan Tel Rifaat.
“Itu adalah kemenangan bagi Turkiye,” kata Orhan, yang mengkhususkan diri di wilayah Levant di Pusat Studi Timur Tengah Ankara.
Manfaat lain yang didapat Turkiye adalah bahwa Ankara “sekarang akan menemukan teman yang lebih dekat di Damaskus, setidaknya lebih dekat dibandingkan dengan rezim Assad,” katanya.
“Turkiye akan memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan pemerintah baru Suriah dalam perjuangannya melawan YPG,” tambahnya.
Orhan mengatakan bahwa tidak seperti SNA yang didukung Turkiye, tidak ada “dukungan langsung atau hubungan” antara Turkiye dan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok teroris yang memimpin serangan terhadap Damaskus.
Dia menambahkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, “entitas Turkiye dan HTS hidup berdampingan di wilayah Idlib Suriah,” dari mana serangan terhadap Damaskus pertama kali diluncurkan akhir bulan lalu.
“Saya tidak tahu tingkat pasti peran Turkiye [dalam serangan itu],” kata Orhan. “Apakah itu lampu hijau [dari Ankara] atau dukungan … ini tidak diketahui dengan jelas.”
Sezer mengatakan tidak ada “keraguan” tentang peran Ankara dalam serangan kilat yang akhirnya menjatuhkan Assad.
“Bagaimana senjata dan amunisi yang dimiliki HTS bisa sampai ke wilayah itu jika bukan karena Ankara?” katanya kepada The Epoch Times.
Sezer juga mengatakan bahwa kejatuhan Assad telah menciptakan “iklim politik yang mendukung bagi kelompok-kelompok Kurdi untuk mendeklarasikan otonomi” di sebagian wilayah Suriah yang mereka kuasai saat ini, “yang menjadi risiko bagi Turki.”
‘Kehilangan Strategis’ bagi Iran dan Hizbullah
Iran, yang telah menempatkan pasukan di Suriah sejak 2013 untuk mendukung Assad, terkejut oleh kegagalan militer Suriah dalam melindungi rezim tersebut.
“Apa yang mengejutkan adalah ketidakmampuan tentara Suriah untuk menghadapi … kelompok bersenjata [yang menentang Assad],” kata Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi pada 9 Desember.
“Jika tentara Suriah bertahan, bahkan Aleppo tidak akan jatuh,” tambahnya, seperti dikutip oleh kantor berita IRNA Iran.
Araqchi menyalahkan kejatuhan rezim yang tidak terduga pada “rencana di balik layar” oleh Israel dan Amerika Serikat yang bertujuan untuk menghancurkan “poros perlawanan,” yang mencakup Iran, Suriah, Hezbollah, dan kelompok anti-Israel lainnya di kawasan.
Dia menggambarkan Suriah di bawah Assad sebagai anggota penting aliansi itu, yang, menurutnya, memainkan “peran penting” dalam menghadapi Israel dan “membela Palestina.”
Araqchi juga menyebut bahwa komponen kunci dari aliansi Iran dengan Suriah adalah “perjuangan bersama” melawan ISIS, yang menguasai wilayah luas di Suriah dan Irak pada periode 2014 hingga 2019.
Menurut Orhan, kejatuhan Assad mewakili kerugian strategis bagi Iran.
“Iran telah memiliki aliansi strategis dengan rezim Assad sejak awal 1980-an,” katanya. “Iran membangun jaringan milisi yang sangat kuat di dalam Suriah. Pengaruh itu hilang hanya dalam dua minggu.”
Orhan menambahkan bahwa sebagian besar milisi yang didukung Iran, termasuk Hezbollah, kemungkinan besar kini telah menarik diri dari Suriah.
Dalam sebuah pernyataan pada 9 Desember, Hassan Fadlallah, anggota parlemen Lebanon yang terkait dengan Hezbollah, mengatakan bahwa perkembangan di Suriah merupakan “transformasi baru yang berbahaya,” dengan implikasi yang masih dinilai lebih lanjut.
Serangan yang dipimpin HTS terhadap Damaskus awalnya diluncurkan pada 27 November, pada hari yang sama ketika gencatan senjata antara Hezbollah dan Israel mulai berlaku.
“Suriah telah lama menjadi penghubung strategis yang memungkinkan Iran mencapai Lebanon dan Israel,” kata Orhan.
Kejatuhan rezim Assad, tambahnya, berarti kedua hubungan itu telah terputus.
Sezer sependapat, dengan mengatakan bahwa kejatuhan Damaskus telah mengganggu, atau bahkan menghancurkan, kemampuan Iran untuk mendukung Hezbollah, yang sudah terpukul setelah lebih dari setahun konflik intens dengan Israel.
Rusia Kehilangan ‘Benteng Terakhir’
Moskow, yang memberikan suaka kepada Assad dan keluarganya, telah memiliki kehadiran militer yang substansial di Suriah sejak 2015 untuk mendukung rezim tersebut.
Rusia juga mengoperasikan pangkalan udara di Provinsi Latakia, Suriah bagian timur, serta pangkalan angkatan laut di dekat kota pesisir Tartus.
Pada hari-hari pertama serangan terhadap Damaskus, pesawat tempur Rusia membantu militer Suriah dalam mencoba menghentikan serangan ke ibu kota.
Beberapa jam setelah Damaskus jatuh, Kementerian Luar Negeri Rusia mengumumkan bahwa Assad telah memutuskan untuk mundur dari kekuasaan setelah pembicaraan dengan beberapa “peserta”—tanpa menyebut siapa saja—dalam konflik Suriah yang berlangsung bertahun-tahun.
“Rusia bukan pihak dalam negosiasi tersebut,” kata kementerian itu dalam pernyataan pada 8 Desember, menambahkan bahwa Moskow “tetap menjalin kontak dengan semua kelompok oposisi Suriah.”
Menurut Orhan, kepergian Assad secara mendadak juga menempatkan Rusia di pihak yang “kalah,” meskipun tidak sebesar kerugian yang dialami Iran, yang dianggap Moskow sebagai sekutu.
“Sejak era Soviet, Suriah tetap berada dalam lingkup pengaruh Rusia,” katanya. “Rusia juga banyak berinvestasi setelah 2015, ketika ia campur tangan secara militer di Suriah.
“Rusia pada dasarnya telah kehilangan benteng terakhirnya di Timur Tengah, yang digunakan untuk memproyeksikan pengaruhnya di kawasan yang lebih luas.”
“Hal ini kemungkinan akan berdampak pada hubungannya dengan pemain regional lainnya, termasuk Irak dan negara-negara Teluk,” tambahnya, mencatat bahwa nasib pangkalan militer Rusia di Suriah tetap belum jelas.
“Bagaimanapun, ini akan mengakhiri impian Rusia untuk menjadi aktor signifikan di Mediterania Timur.”
Orhan mengatakan kepergian Assad yang mendadak mungkin disebabkan oleh “semacam kesepakatan” antara Moskow dan Washington “terkait situasi di Ukraina.”
Sezer, di sisi lain, meremehkan dampak jangka panjang dari kemunduran Rusia yang tampak ini.
“Saya tidak berpikir Rusia kalah. Rusia pasti akan dibutuhkan untuk menstabilkan Suriah,” katanya. “Fakta bahwa Rusia belum meninggalkan pangkalannya dapat dianggap sebagai tanda.”
Moskow, tambahnya, “sabar dan memprioritaskan tujuan global dibandingkan tujuan regional dalam kebijakan luar negerinya.”
Sezer mengatakan bahwa “pertemuan terakhir Assad dengan angkatan bersenjata [Suriah] diadakan dengan sepengetahuan Rusia.”
Tak lama setelah Damaskus jatuh, Moskow mengatakan tidak ada “ancaman serius” terhadap pangkalannya di Suriah, sambil menyatakan bahwa pangkalan tersebut telah dalam status “siaga tinggi.”
‘Hari Bersejarah’ bagi Israel
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut kejatuhan Assad sebagai “hari bersejarah” yang “menawarkan peluang besar tetapi juga penuh dengan bahaya signifikan.”
Dalam pesan video pada 8 Desember, ia mengaitkan kejatuhan cepat Damaskus dengan “tindakan tegas” Israel terhadap Hezbollah dan Iran, pendukung utama Assad.
Selama lebih dari setahun, Israel terlibat konflik dengan Hezbollah dan telah saling meluncurkan serangan rudal yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan Iran.
Sejak didirikan pada 1948, Israel telah berperang dalam tiga konflik besar dengan Suriah, yang secara teknis tetap berada dalam status perang.
Dalam beberapa tahun terakhir, Israel sering melakukan serangan udara terhadap target militer di seluruh Suriah, yang biasanya tidak direspons oleh Suriah.
Dalam pesan videonya, Netanyahu mengatakan Israel berupaya menjalin “hubungan bertetangga … dengan kekuatan baru yang muncul di Suriah.”
“Tetapi jika tidak, kami akan melakukan apa pun untuk mempertahankan Negara Israel dan perbatasannya,” tambahnya, seraya menyatakan bahwa Israel tidak berniat terlibat dalam konflik internal negara itu.
Beberapa jam setelah kejatuhan Damaskus, pasukan Israel memasuki zona demiliterisasi di dalam wilayah Suriah.
Menurut juru bicara militer Israel, pasukan Israel tetap ditempatkan di zona buffer dan di “beberapa titik tambahan” di sekitarnya.
Dalam beberapa hari terakhir, pesawat tempur Israel telah menyerang ratusan target militer Suriah, termasuk baterai anti-pesawat, pangkalan udara militer, pesawat, situs produksi senjata, dan fasilitas angkatan laut, menurut militer Israel.
“Saat ini, dapat dikatakan bahwa Israel—dan Amerika Serikat—sedang menang di Suriah,” kata Sezer. “Proses yang dimulai Israel di Gaza dengan Hamas—dan berlanjut di Lebanon dengan Hezbollah—kini telah mencapai Damaskus.”
Seorang pejabat tinggi AS telah mengonfirmasi bahwa pasukan AS yang ditempatkan di Suriah timur, di mana mereka bekerja sama erat dengan sekutu Kurdi Washington, akan tetap berada di negara tersebut untuk melawan kelompok teroris ISIS.
“Kami masih berkomitmen pada misi itu,” kata wakil penasihat keamanan nasional AS Jon Finer kepada wartawan pada 10 Desember. (asr)
Sumber : The Epoch Times