Hari ini mata ketiga akan mengangkat sebuah kisah nyata yang membuktikan eksistensi mitos melalui arkeologi. Kisah ini terjadi dari tahun 1970-an hingga tahun 2010-an.Lokasi kisah ini terutama terjadi di Gujarat, India sekarang. Kisah ini sangat sederhana, berdasarkan legenda kuno mereka, Mahabharata, orang India menemukan kota prasejarah yang tenggelam oleh banjir, yakni Dwaraka.
Pangkalan Alien di Bawah Laut Terpantau Satelit Google? “Monster Laut” Misterius dan Rahasia Terekam
Ketika ada hasil pemetaan bawah laut yang lebih menggembirakan, sebuah area bawah laut yang ditampilkan Google Maps menarik perhatian penggemar UFO. Are ini berjarak sekitar 9,66 kilometer dari pantai Malibu, California.Dengan memasukkan koordinat bumi ini di Google Maps. . . 34°1’23.31”LU 118°59’45.64”W, akan terlihat peta dasar laut ini. dari peta ini terlihat sebuah platform dengan panjang sekitar 4000 meter dan lebar 2000 meter di dasar laut di bawah 600 meter.Platform ini tebalnya sekitar 150 meter, dan tempat gelap di bawah platform terlihat seperti pintu masuk. Di kedua sisinya terdapat beberapa pilar. Lebar pintu masuk sekitar 830 meter dan tinggi 190 meter.
Beijing Mendukung Moskow Atas Kematian Mendadak Alexei Navalny
Jessica Mao dan Lynn Xu – The Epoch Times
Meskipun opini publik global pada umumnya bersikap skeptis dan mengutuk Moskow atas kematian mendadak pemimpin oposisi Rusia Alexei Navalny, Beijing justru mengambil sikap sebaliknya, menyebut insiden tersebut sebagai “urusan internal Rusia” dalam sebuah langkah yang tampaknya merupakan dukungan bagi Moskow.
Pada 16 Februari, Moskow mengumumkan bahwa Navalny meninggal di sebuah penjara Rusia di dekat Lingkaran Arktik, tempat ia menjalani hukumannya. Menurut keterangan pihak penjara, pria berusia 47 tahun itu diklaim merasa tak enak badan dan pingsan setelah berjalan-jalan dan langsung tak sadarkan diri; staf medis gagal menyadarkannya.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan bahwa otoritas penjara Rusia sedang menyelidiki kematian Navalny, tetapi dia belum diberi informasi apa pun tentang masalah ini.
Sebagai musuh utama Presiden Rusia Vladimir Putin, kematian Navalny yang tak terduga di masa-masa puncak kehidupannya mengirim gelombang kejut ke seluruh negeri dan di seluruh dunia, memicu kecaman luas terhadap Rusia.
Selain itu, kematian tak terduga Navalny terjadi tak lama sebelum pemilihan umum Maret mendatang – saat presiden yang sedang menjabat sedang mengupayakan masa jabatan kelima, menambah proyeksi atas penyebab kematiannya bahwa mungkin masuk akal bagi Putin untuk menyingkirkan semua oposisi pada saat kritis ini.
Berbeda dengan protes publik, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia menolak untuk mengomentari kematian Navalny ketika AFP menanyakan masalah ini pada 17 Februari, dan mengatakan bahwa itu adalah “urusan internal Rusia.”
Beijing adalah sekutu setia Moskow. Terlepas dari adanya sanksi Barat terhadap Rusia atas serangan militernya ke Ukraina, Putin dan pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) Xi Jinping telah terlibat dalam sebuah kemitraan yang “tanpa batas” untuk kerja sama bilateral.
Sejalan dengan sikap resmi tersebut, beberapa opini yang diduga berasal dari net army dipublikasikan di portal-portal utama Tiongkok seperti Baidu dan NetEase serta beredar di platform media sosial, menggambarkan Putin sebagai korban dari kematian Aleksandr Navalny sebagai akibat dari konspirasi Barat.
Reaksi Barat
Para pejabat Barat bereaksi dengan cepat pada hari yang sama ketika Kremlin mengumumkan kematian Aleksandr Navalny.
Presiden AS Joe Biden mengutuk Putin, dengan mengatakan, “Apa yang terjadi pada Navalny adalah bukti lain dari kebrutalan Putin.” Perdana Menteri Australia Anthony Albanese percaya bahwa Putin dan rezim Rusia harus bertanggung jawab atas kematian Navalny.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menyampaikan belasungkawa atas kematian Navalny dan menyerukan penyelidikan yang kredibel. Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan bahwa mereka “terkejut.”
Dalam sebuah unggahan di X, yang sebelumnya adalah Twitter, Charles Michel, presiden Dewan Eropa, menulis, “Uni Eropa menganggap rezim Rusia sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas kematian tragis ini.” Dia memuji Navalny karena telah membuat “pengorbanan tertinggi” saat memperjuangkan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi.
“Rusia telah menjadi kekuatan yang semakin otoriter, mereka telah menggunakan penindasan terhadap oposisi selama bertahun-tahun. Dan, tentu saja, dia dipenjara, dia adalah seorang tahanan. Dan itu membuatnya sangat penting bagi Rusia untuk menjawab semua pertanyaan yang akan ditanyakan tentang penyebab kematiannya,” kata Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg dalam sebuah konferensi pers.
Pada 17 Februari pagi, kerumunan pelayat dan pengunjuk rasa bermunculan di depan kedutaan besar Rusia di berbagai kota di Amerika Serikat dan Eropa.
Di Rusia, orang-orang secara spontan meletakkan bunga di makam para mantan korban pembersihan Soviet untuk berkabung atas kematian Navalny. Lebih dari 300 pelayat telah ditahan saat memberikan penghormatan kepada Navalny.
Navalny mendapatkan banyak pengikut karena kritiknya terhadap korupsi di bawah pemerintahan Putin. Dia dipenjara selama 30 tahun pada 2021 sehubungan dengan berbagai dakwaan. Berbagai kelompok hak asasi manusia dan negara-negara Barat mengecam hukuman tersebut sebagai pembalasan atas penentangannya yang vokal terhadap Kremlin.
Navalny pernah dirawat di Jerman karena serangan agen saraf yang menurut para dokter Jerman disebabkan oleh agen saraf era Soviet, Novichok. Namun, Kremlin dengan tegas membantah keterlibatannya.
Hubungan Rusia dan Tiongkok
Terlepas dari klaim hubungan yang erat, Moskow dan Beijing berada dalam kondisi dinamis yang membingungkan antara saling mengeksploitasi dan saling mewaspadai.
Wang Juntao, ketua Komite Nasional Partai Demokratik Tiongkok, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa “Rusia tidak menganggap PKT sebagai teman … Kebangkitan dan ekspansi Rusia dalam sejarah sebenarnya ditandai dengan penindasannya terhadap Tiongkok.”
Dalam sebuah wawancara dengan Tucker Carlson pada awal Februari, Putin menyiratkan bahwa PKT adalah ancaman terbesar bagi Barat dibandingkan dengan Rusia.
“Barat lebih takut pada Tiongkok yang kuat daripada Rusia yang kuat, karena Rusia memiliki 150 juta penduduk dan Tiongkok memiliki 1,5 miliar penduduk,” katanya.
Wang mengatakan, Putin telah lama mengagumi Barat. Namun, Amerika Serikat tidak akan merangkul Rusia karena kekhawatiran akan sistem domestiknya, invasi militernya ke Ukraina, dan sekarang, kematian Navalny.
Di sisi lain, Wang menambahkan, “PKT membutuhkan Rusia sebagai sekutu, jadi apa pun yang dikatakan atau dilakukan Rusia, Beijing akan tetap diam.”
Analis politik yang berbasis di AS, Qin Peng, memiliki pandangan yang sama bahwa Beijing akan memilih untuk mengabaikan kata-kata yang diucapkan Putin kepada media AS karena mereka tidak ingin mendorong Rusia untuk memihak Amerika Serikat. “PKT perlu membawa beberapa kekuatan anti-Amerika untuk melawan Amerika Serikat dan dunia Barat, dan ini adalah strategi mapan yang tidak akan berubah.”
Mengenai kematian Navalny, Qin mencatat bahwa Beijing tidak akan mengutuk Putin dalam kasus kematian Navalny, karena “rezim PKT juga menahan banyak tahanan politik, serta tahanan hati nurani, termasuk praktisi Falun Gong, yang banyak di antaranya telah tewas dalam tahanan.” Banyak kematian seperti itu di penjara Tiongkok juga mencurigakan dan tidak memiliki penjelasan resmi yang meyakinkan.
Wang percaya bahwa PKT tidak punya pilihan selain mendukung Rusia atas kematian Navalny karena catatan hak asasi manusia PKT lebih buruk daripada Rusia, dan PKT melihat Rusia sebagai sekutu strategisnya.
Xin Ning berkontribusi pada laporan ini.
Pengantin ISIS Kalah dalam Gugatan untuk Mendapatkan Kembali Kewarganegaraan Inggris
oleh Li Yan
Shamima Begum, pengantin Negara Islam (ISIS) menghadapi penolakan dari pengadilan tinggi atas tuntutannya untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Inggrisnya pada Jumat 23 Februari.
Dengan putusan tersebut berarti Shamima Begum, 24 tahun harus tinggal di Suriah. Pada 2019, pemerintah Inggris mencabut kewarganegaraannya dengan alasan keamanan nasional.
Sembilan tahun yang lalu, Shamima Begum yang berusia 15 tahun meninggalkan London menuju Suriah bersama dua perempuan teman sekelasnya, di mana ia bergabung dengan organisasi teroris ISIS dan menjadi pengantin mereka. Ketika ISIS dimusnahkan oleh pasukan AS dan sekutu, dia muncul di kamp pengungsi di Suriah dan menjadi perhatian jurnalis Barat. Dia bilang dia ingin kembali ke Inggris.
Keputusan dari ketiga hakim adalah sama. Begum masih mungkin mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung. Namun, jawabannya bisa memakan waktu hingga setahun.
Pengacaranya, Daniel Furner mengatakan bahwa tim hukumnya “tidak akan berhenti berjuang sampai dia mendapatkan keadilan dan pulang dengan selamat.”
Namun, hakim langsung menolak semua argumen Begum – ini adalah sebuah penolakan signifikan yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk mengajukan banding penuh di Mahkamah Agung.
Ketua Hakim Baroness Carr mengatakan : “Adalah adil untuk mengatakan bahwa hukuman dalam kasus Begum sangat berat, dan juga adil untuk mengatakan bahwa sumber kemalangan Begum adalah tindakannya sendiri.”
Begum mengatakan kepada media Inggris bahwa setelah menjadi pengantin ISIS, dia melahirkan tiga anak, namun semuanya meninggal dini.
“Tetapi apakah seseorang setuju atau tidak, bukan pengadilan yang berhak memutuskannya,” kata Lord Chancellor. “Satu-satunya tugas kami adalah menilai apakah keputusan untuk mencabut hak itu melanggar hukum. Kami menyimpulkan bahwa hal itu tidak melanggar hukum dan, oleh karena itu tuntutan kami tolak.”
Keamanan nasional
Pengacara Begum mengajukan gugatan ke Pengadilan Banding tahun lalu. Mereka berpendapat bahwa keputusan Kementerian Dalam Negeri untuk mencabut kewarganegaraannya adalah melanggar hukum, sebagian karena para pejabat Inggris gagal mempertimbangkan dengan baik apakah ia berpotensi menjadi korban perdagangan manusia.
Sir James Eadie KC, dari Kementerian Dalam Negeri mengatakan kunci dari masalah ini adalah terkait dengan keamanan nasional.
“Fakta bahwa seseorang mengalami radikalisasi dan berpotensi dimanipulasi tidak bertentangan dengan penilaian bahwa mereka menimbulkan risiko keamanan nasional,” katanya.
Menanggapi keputusan pengadilan tersebut, Kementerian Dalam Negeri mengatakan bahwa pihaknya “senang” dengan keputusan hari Jumat tersebut, dan menambahkan bahwa “prioritasnya tetap menjaga keamanan Inggris.”
Juru bicara perdana menteri mengatakan pemerintah akan “selalu mengambil tindakan sekuat mungkin untuk melindungi keamanan nasional kita”, dan menambahkan bahwa keputusan untuk mencabut kewarganegaraan tidak pernah dilakukan secara sembrono.
Begum lahir di Inggris dari orang tua keturunan Bangladesh. Tahun 2015, dia pergi ke Suriah bersama kedua teman sekelasnya Kadiza Sultana yang berusia 16 tahun dan Amira Abase yang berusia 15 tahun untuk mendukung ISIS, seorang dari mereka tewas dalam serangan udara, sedangkan nasib satu teman lainnya belum diketahui. (sin)
(Artikel ini mengacu pada laporan yang relevan dari BBC)
Amerika Serikat dan Eropa Menjatuhkan Sanksi Baru Terhadap 500 Entitas dan Individu Rusia
oleh Zhao Fenghua dan Tian Yuan
Sabtu (24 Februari) merupakan tahun kedua Rusia menginvasi Ukraina. Sehari sebelumnya (23 Februari) Amerika Serikat dan Eropa mengumumkan penerapan sanksi berskala besar terhadap Rusia.
Presiden AS Biden pada Jumat mengumumkan penerapan sanksi terhadap lebih dari 500 entitas dan individu yang mendukung perang Rusia, juga berjanji untuk terus mendukung Ukraina dan menindaklanjuti kejahatan agresi Rusia.
“Dua tahun lalu, sebelum fajar menyingsing, pasukan Rusia melintasi perbatasan Ukraina untuk melakukan invasi militer. Putin mengira bahwa ia dapat dengan mudah menghancurkan keinginan bebas dan tekad rakyat Ukraina. Namun 2 tahun kemudian, Kiev masih berdiri. Ukraina tetap Merdeka. Menghadapi serangan sengit yang dilancarkan oleh rezim Putin, rakyat Ukraina tidak menyerah. Itulah sebabnya saya mengumumkan penerapan sanksi baru terhadap lebih dari 500 entitas dan individu Rusia,” kata Joe Biden.
Biden menyampaikan belasungkawa atas kematian mendadak pemimpin oposisi Rusia Alexei Navalny. Pada Kamis Biden menemui janda Navalny dan putrinya.
Uni Eropa baru-baru ini menyetujui sanksi putaran ke-13, yang melarang hampir 200 entitas dan individu yang mendukung perang Rusia untuk memasuki Uni Eropa. Sanksi baru UE ini juga untuk pertama kalinya menargetkan 3 perusahaan Tiongkok yang mendukung perang Rusia. (sin)
International Brotherhood of Teamsters Menyumbang USD.45.000,- kepada Partai Republik
oleh Chen Ting
Menurut catatan Komisi Pemilihan Umum Federal (FEC) AS (tautan), pada akhir bulan Januari tahun ini International Brotherhood of Teamsters (IBT) memberikan dana sumbangan sebesar USD. 45.000,- sebagai dukungan kepada Komite Nasional Partai Republik (RNC). Ini merupakan bentuk dukungan serikat pekerja truk untuk Partai Republik yang jarang sekali terjadi.
Pada pertengahan Januari, Presiden IBT Sean O’Brien bertemu dengan mantan Presiden Trump di Mar-a-Lago. Tak lama kemudian RNC menerima sumbangan tersebut. Segera setelah dukungan diberikan, seluruh anggota serikat pekerja pengemudi truk bertemu dengan Trump di Washington.
Menurut Komisi Pemilihan Umum Federal (FEC) bahwa International Brotherhood of Teamsters belum mendukung calon presiden 2024 dari partai mana pun.
Dalam pemilihan umum AS, memperoleh dukungan dari serikat pekerja dengan keanggotaan yang mencapai ratusan ribu orang dapat membantu kandidat memperoleh suara penting di negara bagian yang belum ditentukan (swing states) dan dengan demikian memperoleh suara elektoral di seluruh negara bagian.
Selama ini serikat pekerja memberikan dukungan kepada Partai Demokrat. Dalam pemilu 2020 ia mendukung Biden, Hillary Clinton pada tahun 2016, dan mantan Presiden Obama pada tahun 2012 dan 2008. Saat ini serikat pekerja tersebut adalah salah satu dari sedikit serikat pekerja nasional yang mengalihkan dukungannya.
Presiden Biden telah menjadikan serikat buruh sebagai fokus kampanyenya pada 2024. Tahun lalu, dia juga mendapatkan simpatik dari para pekerja otomotif yang mogok di Michigan yang akhirnya mendapat dukungan dari United Auto Workers (UAW).
Biden menyebut dirinya sebagai “presiden paling pro-serikat pekerja dalam sejarah Amerika Serikat” dan telah berkali-kali bertemu dengan para pemimpin buruh di seluruh negeri dalam upaya untuk mendapatkan dukungan. Pada Juni tahun lalu, Federasi Buruh Amerika dan Konfederasi Serikat Industri (AFL-CIO) juga menyatakan dukungan mereka terhadap Biden.
Setelah bertemu dengan para pemimpin IBT bulan lalu, Trump berspekulasi bahwa ia mungkin bisa mendapat dukungan dari organisasi tersebut. Dia mengatakan, dia sudah mendapat dukungan kuat dari para anggota serikat pekerja.
“Hal-hal aneh telah terjadi”, katanya kepada wartawan.
“Biasanya, Partai Republik tidak memperoleh dukungan seperti ini”, kata Trump. “Tetapi situasi saya berbeda karena saya mempekerjakan ribuan orang pengemudi truk”.
“Saya telah berurusan dengan serikat pekerja sepanjang hidup saya, dan saya memiliki hubungan yang sangat baik dengan mereka”, katanya lagi. (sin)
Aliansi ‘Anti-Barat’ Rusia: Dapatkah Mitra Baru Moskow Bekerja Sama?
Antonio Graceffo
Rusia sedang membangun “koalisi kenyamanan” di dunia post-Barat, tetapi mungkin tidak dapat bertahan menghadapi berbagai kepentingan yang saling bersaing.
Setelah mencoba untuk berintegrasi dengan Barat, kebijakan luar negeri Rusia telah mengalami pergeseran dramatis sejak awal tahun 2000-an. Dari periode awal kerja sama yang ditandai dengan peristiwa 9/11, pencaplokan Krimea pada tahun 2014 memicu perbedaan yang tajam.
Dikucilkan oleh Barat dan diusir dari lembaga-lembaga internasional utama sejak invasi Ukraina, Rusia kini menemukan dirinya menjalin aliansi baru dengan negara-negara seperti Tiongkok, Iran, dan Serbia. Kemitraan ini, yang terutama didirikan atas dasar ketidaksukaan terhadap Barat, siap untuk terurai karena kepentingan yang saling bertentangan.
Rusia adalah salah satu negara pertama yang menyatakan dukungannya pada perang melawan teror AS setelah serangan 9/11 di World Trade Center. Pada saat itu, Presiden Rusia Vladimir Putin menghadapi serangan balik dari kampanye militer brutal di Chechnya yang separatis, serta tuduhan bahwa Kremlin telah melancarkan serangan teroris palsu terhadap rakyat Rusia untuk menggalang dukungan bagi perang. Ini menandai awal dari sebuah periode di mana Rusia berusaha untuk mendekati Barat dan Amerika Serikat, setidaknya menunjukkan keinginannya untuk berpartisipasi dalam tatanan berbasis aturan internasional.
Dukungan awal Rusia termasuk berbagi informasi intelijen, mengizinkan penerbangan militer AS di atas wilayah udaranya, dan bekerja sama dengan sekutu-sekutunya di Asia Tengah untuk memberikan akses wilayah udara yang sama. Meskipun signifikan, penting untuk dicatat bahwa Rusia pada awalnya tidak berkomitmen secara militer dalam perang di Afghanistan. Pada 2003, kerja sama AS-Rusia yang baru saja terjalin mulai melemah. Rusia menentang keras invasi pimpinan AS ke Irak tanpa persetujuan dari Dewan Keamanan PBB, dan menganggapnya sebagai perebutan kekuasaan secara sepihak. Namun, Washington dan Moskow menemukan diri mereka berada di pihak yang sama dalam memerangi ISIS.
Sepanjang akhir 2000-an dan 2010-an, ketegangan meningkat karena isu-isu seperti ekspansi NATO, sistem pertahanan rudal, dan serangan siber. Momen penting yang menandakan pergeseran Rusia untuk memprioritaskan tujuan negara di atas partisipasi global terjadi dengan pencaplokan Krimea pada tahun 2014. Di dalam negeri, tindakan keras terhadap perbedaan pendapat semakin intensif, menumbuhkan atmosfer otoritarianisme dan penindasan yang semakin menjauhkan Rusia dari nilai dan prinsip Barat.
Sejak 2015, Amerika Serikat dan Rusia telah mendukung pihak-pihak yang berlawanan dalam konflik proksi di Suriah dan Yaman. Rusia, meski mengklaim memerangi terorisme, mendukung rezim Assad di Suriah, yang telah dikritik karena pelanggaran hak asasi manusia, yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil. Amerika Serikat mendukung berbagai kelompok yang menentang Presiden Suriah Bashar al-Assad, sementara Rusia secara langsung terlibat melalui militernya dan Kelompok Wagner di Suriah. Konflik Yaman bahkan lebih dekat dengan perang proksi langsung karena keterlibatan Arab Saudi dan Iran yang jelas mendukung pihak berlawanan.
Invasi Ukraina pada tahun 2022 menyebabkan pengusiran total Rusia dari komunitas global, memaksanya harus mencari aliansi baru. Terlepas dari ketegangan historis seperti perpecahan Sino-Soviet pada tahun 1960, Moskow telah memperkuat hubungan dengan Beijing, terutama dalam bidang energi, perdagangan, dan kerja sama militer. Sanksi Barat terhadap Rusia telah menjadikan Tiongkok sebagai pendukung ekonomi utamanya, meskipun tidak ada aliansi formal yang diumumkan. Dan tidak ada negara yang akan senang menjadi nomor dua dalam tatanan dunia baru, menyiratkan bahwa aliansi apa pun harus bersifat sementara.
Hubungan Rusia dengan Iran telah banyak berubah. Pada 2010-an, Rusia bergabung dengan negara-negara yang menjatuhkan sanksi terhadap Iran karena pengembangan senjata nuklirnya. Sejak 2022, hubungan antara Rusia dan Iran semakin kuat, dengan Moskow meningkatkan investasi di Republik Islam Iran dan Teheran menyediakan drone serta dukungan medan perang kepada militer Rusia. Sejak serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober, Rusia telah mendukung Hamas, Hizbullah, dan Houthi dengan bantuan teknis dan logistik, yang memungkinkan mereka menyerang tentara dan kapal Israel. Hal yang sulit dalam hubungan Rusia dengan sekutu-sekutunya di Timur Tengah adalah bahwa meskipun Moskow bertujuan untuk mengikat Amerika Serikat di Timur Tengah, sekutu-sekutunya ingin Amerika keluar dari hubungan mereka.
Upaya diplomatik Rusia bertujuan melawan pengaruh Barat dengan membangun kemitraan yang menentang dominasi Barat. Oleh karena itu, Rusia secara aktif berupaya menjauhkan Republik Asia Tengah dari jangkauan AS. Memiliki ikatan sejarah dan budaya dengan Rusia, negara-negara bekas pecahan Soviet ini menganggap Rusia sebagai mitra ekonomi dan keamanan yang signifikan. Namun, meskipun meningkatkan perdagangan dan kerja sama militer dengan Rusia, mereka tetap menjaga hubungan dengan Barat.
Rusia telah memperluas kehadiran dan pengaruh militernya melalui penjualan senjata dan pelatihan di Afrika, terutama di Mesir, Mali, dan Republik Afrika Tengah. Motifnya antara lain untuk melawan pengaruh Barat, mengakses sumber daya, dan mendapatkan dukungan diplomatik. Grup Wagner juga telah dikerahkan dalam konflik di negara-negara ini, mendukung pemerintah yang bersahabat dengan Moskow.
Di Eropa Timur, Belarus adalah sekutu terdekat Rusia, dengan integrasi ekonomi dan politik yang mendalam. Meskipun begitu, ketergantungan Belarus pada Rusia menimbulkan kekhawatiran akan kedaulatannya. Serbia memiliki hubungan dekat dengan Rusia karena hubungan historis dan budaya serta sama-sama menentang ekspansi NATO. Namun, upaya Serbia untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan Rusia dan Uni Eropa dapat membuatnya mencari keanggotaan Uni Eropa.
Kerja sama Rusia dengan negara-negara ini bervariasi, mulai dari hubungan ekonomi atau militer yang lebih dalam hingga hubungan yang lebih terbatas dan pragmatis. Dampak jangka panjang dari relasi ini masih belum dapat dipastikan, termasuk efektivitasnya dalam mencapai tujuan strategis Rusia dan keberlanjutannya. Tantangan ekonomi dan politik internal dapat membatasi kemampuan Rusia untuk mempertahankan kemitraan ini. Perang di Ukraina secara signifikan berdampak pada posisi internasional Rusia, dengan sanksi Barat yang mempengaruhi ekonomi dan keterlibatan globalnya.
Meskipun faktor-faktor seperti stabilitas internal, sumber daya ekonomi, dan respons terhadap perubahan global mempengaruhi upaya diplomatik Moskow, penyelarasan kepentingan strategis Rusia dengan para mitranya sangatlah penting. Namun, dalam banyak kasus, keselarasan ini tampaknya tidak akan bertahan lama.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times.
Antonio Graceffo, Ph.D., adalah seorang analis ekonomi Tiongkok yang telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Graceffo adalah lulusan Universitas Olahraga Shanghai, meraih gelar MBA Tiongkok dari Universitas Shanghai Jiaotong, dan saat ini mempelajari pertahanan nasional di Universitas Militer Amerika. Dia adalah penulis “Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” (2019).
Mata-mata PKT Meningkat di Mana-mana
Anders Corr
Mata-mata Partai Komunis Tiongkok (PKT) tampaknya sedang giat-giatnya bekerja.
Seorang tersangka pencuri teknologi dari Tiongkok ditangkap di California pada 6 Februari. Dia diduga menyalin ribuan file komputer dari mantan perusahaannya – sebuah kontraktor pertahanan AS yang berspesialisasi dalam pelacakan rudal – dan berusaha membocorkan informasi tersebut ke “program talenta” Tiongkok dalam waktu tiga tahun setelah menjadi warga negara AS.
Pada hari yang sama, muncul berita tentang mata-mata siber Tiongkok di Belanda yang diduga membobol jaringan pertahanan negara itu. Para hacker memasukkan malware ke dalam komputer dan merujuk pada cerita Roald Dahl, “Lamb to the Slaughter,” di mana seorang istri membunuh suaminya yang tidak mencurigainya. Intelijen Belanda mencatat dalam sebuah laporan bahwa “insiden ini tidak berlangsung sendiri, tetapi merupakan bagian dari tren spionase politik Tiongkok yang lebih luas terhadap Belanda dan sekutunya.” Belanda sebelumnya mengecam Tiongkok karena spionase industrinya terhadap universitas dan perusahaan Belanda, termasuk upaya untuk mendapatkan teknologi litografi ruang angkasa dan semikonduktor.
Beberapa spionase rezim Tiongkok yang paling meluas adalah di Kanada. Kekhawatiran di sana akhirnya menghantam media global, dengan The Economist melaporkan dugaan campur tangan dalam pemilu yang membantu beberapa tokoh liberal terpilih, termasuk Perdana Menteri Justin Trudeau. Dugaan campur tangan tersebut mengalahkan kampanye pemilu yang dilakukan oleh kaum konservatif, termasuk mantan Anggota Parlemen Michael Chong, yang mengecam pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Uighur.
Pada 7 Februari, muncul berita tentang tuduhan baru terhadap seorang tersangka mata-mata Tiongkok yang bekerja untuk sebuah perusahaan air Kanada yang meneliti bahan baterai. Polisi Kanada menuduh bahwa warga negara Tiongkok tersebut “memberikan informasi tentang perusahaan publik kepada universitas Tiongkok dan pusat penelitian Tiongkok dan bahwa ia menerbitkan artikel ilmiah dan mengajukan paten kepada mereka, bukan kepada perusahaan publik,” menurut media Kanada. Salah satu tersangka mata-mata Tiongkok bernama Cameron Ortis bekerja untuk polisi Kanada, menurut seorang petugas, “berencana untuk menyampaikan informasi yang dilindungi” kepada setidaknya seorang pejabat Tiongkok. Pada 7 Februari, dia dijatuhi hukuman 14 tahun karena membocorkan rahasia negara.
Di Taiwan, yang memiliki sekitar 5.000 mata-mata Tiongkok pada 2017, telah terjadi peningkatan penegakan hukum terhadap spionase, menurut laporan The Guardian pada 1 Februari. Apakah ini disebabkan oleh penegakan hukum yang lebih baik atau lebih banyak mata-mata masih menjadi perdebatan. Namun, jika percepatan umum spionase rezim ini merupakan indikasi, maka itu adalah yang terakhir. Mereka yang dihukum atau dituduh melakukan spionase di Taiwan termasuk beberapa pejabat militer senior dan politisi negara itu, perwira dalam pasukan pengawal presiden, serta etnis minoritas dari Tiongkok yang direkrut oleh Beijing untuk memata-matai orang lain dalam kelompok mereka. Ini termasuk orang Mongolia dan Tibet.
Saya pribadi mendengar cerita selama beberapa tahun terakhir tentang orang-orang Uighur yang direkrut di negara lain untuk memata-matai satu sama lain dan, di Inggris, pejabat kedutaan memata-matai dan mengintimidasi penduduk Tibet.
Pada 7 Februari, sebuah laporan muncul mengenai ketegangan antara Tiongkok dan India terkait rencana Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat untuk mengirim kapal mata-mata ke “halaman belakang” New Delhi di Maladewa. Para ahli mengklaim bahwa kapal ini akan melakukan spionase oseanografi yang sangat penting untuk perang kapal selam. Kegiatan ini dapat mencakup pemetaan ilmiah dasar laut, serta pelacakan gelombang permukaan dan bawah permukaan, arus, pasang surut, dan upaya untuk mendeteksi tanda tangan suara dari kapal-kapal musuh.
Tiongkok membuka stasiun baru di Antartika yang menurut para ahli kemungkinan besar akan digunakan untuk mengumpulkan informasi intelijen angkatan laut, telemetri roket, dan sinyal di negara-negara terdekat, termasuk sekutu Amerika Serikat, Selandia Baru dan Australia, yang memiliki fasilitas ruang angkasa yang sangat penting. Meskipun Antartika tidak boleh digunakan untuk tujuan militer menurut perjanjian tahun 1961 yang ditandatangani oleh Tiongkok, hampir dapat dipastikan bahwa lima pangkalan Tiongkok di sana digunakan untuk tujuan tersebut. Pangkalan baru ini akan mencakup stasiun bumi satelit dengan kemampuan militer ganda.
Mata-mata yang bekerja untuk Tiongkok berasal dari semua ras dan etnis, seperti yang dijelaskan di atas. Namun, sangatlah adil untuk berhati-hati dalam melindungi data dari warga negara Tiongkok dan siapa pun dari etnis mana pun yang memiliki hubungan luas dengan Tiongkok, termasuk keluarga dekat atau investasi di Tiongkok. Ini termasuk semua orang, mulai dari ilmuwan dan mahasiswa STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) yang berkewarganegaraan Tiongkok hingga CEO warga negara AS yang menjalankan perusahaan seperti Apple dengan penjualan dan produksi yang luas di Tiongkok.
Pemerintah AS mengikatkan diri dengan kebenaran politik dan kesetaraan yang salah antara warga Amerika keturunan Tionghoa, yang harus dilindungi dari semua prasangka yang timbul dari ketegangan AS-Tiongkok (yang memang banyak terjadi), dan warga negara dan perusahaan Tiongkok, yang secara hukum diwajibkan oleh Beijing untuk bekerja sama jika diminta oleh badan-badan intelijennya.
Anders Corr meraih gelar sarjana/master di bidang ilmu politik dari Universitas Yale (2001) dan gelar doktor di bidang pemerintahan dari Universitas Harvard (2008). Dia adalah kepala sekolah di Corr Analytics Inc., penerbit Journal of Political Risk, dan telah melakukan penelitian ekstensif di Amerika Utara, Eropa, dan Asia. Buku terbarunya adalah “The Concentration of Power: Institutionalization, Hierarchy, and Hegemony” (2021) dan “Great Powers, Grand Strategies: the New Game in the South China Sea” (2018).