EtIndonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara seperti Tiongkok, Rusia, Korea Utara, dan Iran, yang sering disebut sebagai “Poros Kejahatan” terus memperburuk hubungan dengan negara-negara di sekitar mereka, bahkan beberapa di antaranya sudah berada di ambang perang.
Menurut laporan dari media Rusia TASS dan media Korea Selatan Yonhap, bahwa pada 1 Oktober lalu, Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol dalam parade militer Hari Angkatan Bersenjata memberikan peringatan tegas kepada Pemerintah Korea Utara, jika Korea Utara mencoba menggunakan senjata nuklir, mereka akan menghadapi konsekuensi “keruntuhan rezim.” Aliansi AS-Korea Selatan akan memberikan respons yang “tegas dan luar biasa” terhadap tindakan Korea Utara, dan diharapkan tindakan ini akan memberikan efek pencegahan bagi Pyongyang.
Pada Senin (7/10), Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dalam pidato publik menyatakan bahwa Korea Utara saat ini tidak tertarik untuk menyatukan Semenanjung Korea dengan kekuatan militer, dan juga tidak berniat menyerang Korea Selatan. Namun, dia menegaskan bahwa jika diserang oleh “kekuatan musuh”, Korea Utara tidak akan segan-segan menggunakan “senjata nuklir” untuk membalas.
Menanggapi hal ini, pada Senin (7/10), Kim Jong Un menghadiri perayaan 60 tahun berdirinya Universitas Pertahanan Nasional Korea Utara dan dalam pidatonya mengkritik bahwa aliansi Korea Selatan dengan Amerika Serikat untuk memperkuat kekuatan militer mereka bisa mengganggu keseimbangan kekuatan di Semenanjung Korea.
Kim Jong Un mengatakan, jika keseimbangan kekuatan antara Korea Selatan dan Korea Utara terganggu, hal ini bisa memicu perang Korea baru. Oleh karena itu, Korea Utara dengan tegas menolak upaya Korea Selatan untuk memecah keseimbangan kekuatan di Semenanjung Korea.
Kim Jong Un menegaskan bahwa Pemerintah Korea Utara saat ini sudah kehilangan minat untuk “menyatukan Semenanjung Korea dengan kekuatan militer,” dan secara pribadi dia merasa takut akan kemungkinan “konflik dengan Korea Selatan.” Kim mengatakan bahwa saat ini Korea Utara dan Korea Selatan adalah “dua negara independen yang saling bermusuhan,” dan Korea Utara sudah tidak tertarik lagi dengan isu “membebaskan Selatan” atau “penyatuan paksa,” serta tidak ingin terlibat dalam konfrontasi langsung dengan Korea Selatan.
Kim Jong Un juga mengkritik Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol, yang dia anggap sebagai orang yang aneh. Kim menuduh Pemerintah Korea Selatan “tidak mau melepaskan Korea Utara,” dan memprovokasi Korea Utara dengan memamerkan senjata canggih. Dia mengatakan bahwa selama Korea Utara tidak mengerahkan angkatan bersenjata, maka “Republik Korea akan aman.” Namun, dia juga mengejek bahwa di pemerintahan Korea Selatan, tidak ada seorang pun yang “cukup pintar” untuk menghentikan provokasi terhadap Korea Utara.
Kim Jong Un menekankan bahwa bahkan pemimpin militer terhebat dalam sejarah pun tidak akan mampu menutupi kesenjangan militer antara negara yang memiliki senjata nuklir dan yang tidak. Dia juga mengimbau agar Pemerintah Korea Selatan “menyadari kenyataan” tersebut.
Setelah pernyataan ini dipublikasikan, beberapa netizen menyebutkan bahwa pernyataan Kim Jong Un terdengar sangat familiar, hampir identik dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Rusia pada Februari 2022 sebelum invasi ke Ukraina, “seperti mengikuti naskah yang sama.”
Mereka khawatir bahwa Korea Utara mungkin akan “mengatakan satu hal, tetapi melakukan hal lain,” dan sewaktu-waktu bisa menyerang Korea Selatan. Netizen lainnya mengkritik bahwa pernyataan diktator tersebut sudah tidak lagi bisa membuat negara lain percaya.
Menteri Pertahanan Korea Selatan Menganalisis Niat Kim Jong Un: Korea Utara Mungkin Mengirim Pasukan untuk Membantu Rusia
Menurut laporan Yonhap, pada Selasa (8/10), Menteri Pertahanan Korea Selatan Kim Yong-hyun menghadiri Komisi Pertahanan Nasional di Gedung Kementerian Pertahanan di Distrik Yongsan, Seoul. Dalam pertemuan tersebut, dia menganalisis kemungkinan Korea Utara mengirim pasukan untuk membantu Rusia. Kim menyatakan bahwa mengingat tingkatan kesepakatan antara Rusia dan Korea Utara yang sudah hampir mencapai level perjanjian pertahanan militer timbal balik, kemungkinan besar Korea Utara akan mengirim pasukan ke Ukraina.
Kim Yong-hyun juga menyebutkan bahwa terdapat laporan tentang korban jiwa di antara perwira dan tentara Korea Utara di Ukraina. Berdasarkan berbagai situasi, dia memperkirakan bahwa Korea Utara mungkin telah mengirim pasukan reguler untuk membantu Rusia di Ukraina.
Pada 4 Oktoner lalu, media Ukraina Kyiv Post melaporkan bahwa di wilayah Donetsk di Ukraina timur yang diduduki oleh Rusia, sebuah serangan rudal Ukraina menewaskan lebih dari 20 tentara Rusia, termasuk 6 perwira militer Korea Utara, dan melukai lebih dari 3 tentara Korea Utara.
Menurut laporan dari media sosial Rusia, baru-baru ini perwira militer Korea Utara telah mengamati proses demonstrasi pelatihan oleh tentara Rusia. Intelijen Ukraina juga menyatakan bahwa pasukan insinyur Korea Utara telah beroperasi di wilayah yang dikuasai Rusia sejak tahun lalu.
Kim Yong-hyun menuturkan, bahwa situasi perang Rusia-Ukraina saat ini sangat tidak stabil dan berubah-ubah. Ditambah dengan memburuknya situasi di Timur Tengah, hal ini telah menyebabkan perubahan besar dalam lingkungan keamanan global. Hubungan antara Rusia dan Korea Utara juga menjadi semakin erat, hampir seperti aliansi militer. Selain itu, Korea Utara terus meningkatkan kemampuan nuklir dan rudalnya, yang telah menjadi ancaman serius bagi keamanan Semenanjung Korea dan kawasan sekitarnya.
Terkait hal ini, Kim Yong-hyun menekankan bahwa militer Korea Selatan akan membangun angkatan bersenjata yang kuat berbasis teknologi, dengan dukungan aliansi Korea Selatan-Amerika Serikat yang menekankan pada kekuatan nuklir.(jhn/yn)