Putin Bicara Damai, Tapi Persenjataan Dikerahkan: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Moskow?
EtIndonesia. Rezim Komunis Tiongkok kini menghadapi tekanan luar biasa dari berbagai arah, sementara sekutu terdekatnya, Presiden Rusia, Vladimir Putin, menunjukkan sinyal-sinyal melunak terhadap Amerika Serikat dan Ukraina. Ketegangan geopolitik ini memperlihatkan babak baru dalam dinamika global, dengan Donald Trump merancang strategi menghantam Rusia dan Tiongkok sekaligus.
Putin Bicara Damai: Taktik atau Sinyal Nyata?
Pada 4 Mei, saluran televisi nasional Rusia menayangkan film dokumenter khusus dalam rangka memperingati 25 tahun kepemimpinan Vladimir Putin.
Dalam tayangan itu, Putin menyampaikan pernyataan mengejutkan: “Rekonsiliasi dengan Ukraina tidak terhindarkan, hanya soal waktu.”
Pernyataan ini segera memicu spekulasi di kalangan analis politik. Banyak yang menilai ini sebagai manuver politik untuk menguji tanggapan dari Ukraina dan Amerika Serikat—apakah mereka bersedia memberikan konsesi, khususnya soal wilayah yang telah dikuasai Rusia.
Namun media Jerman Bild melaporkan bahwa para pemimpin Barat meyakini Putin tidak akan benar-benar menghentikan perang. Alasannya sangat mendalam dan sistemik.
Mengapa Putin Tak Bisa Hentikan Perang
Ada dua alasan utama yang membuat penghentian perang dianggap mustahil oleh para analis:
- Tujuan Militer Belum Tercapai
Gencatan senjata di tahap ini akan secara de facto dianggap sebagai kekalahan Rusia. Rezim Putin belum mendapatkan apa yang mereka targetkan secara strategis. - Ketergantungan Ekonomi terhadap Perang
Ekonomi Rusia kini sangat bergantung pada industri pertahanan. Ratusan ribu warga Rusia, termasuk kelas menengah, kini hidup dari bayaran perang. Ini membentuk kelompok kepentingan tersendiri yang menjadikan konflik sebagai sumber penghidupan. Jika perang berakhir, seluruh struktur ekonomi dan sosial bisa runtuh.
Dengan demikian, perang menjadi alat Putin untuk mempertahankan kekuasaan dan menjustifikasi kontrol ketat terhadap rakyat Rusia.
Red Square 9 Mei: Ancaman Terbuka dan Pertahanan Udara Total
Menjelang parade militer besar Rusia di Lapangan Merah pada 9 Mei—yang kemungkinan akan dihadiri Presiden Xi Jinping—seruan keras muncul di media sosial agar Ukraina “menghabisi” para pemimpin yang hadir di lokasi tersebut. Meskipun tidak ada bukti bahwa seruan ini berasal dari otoritas resmi, dampaknya menimbulkan gelombang kecemasan besar.
Mengutip laporan dari Newtalk (belum terverifikasi), Rusia disebut telah menempatkan lebih dari 280 sistem pertahanan udara di sekitar Moskow, antara lain:
- S-400
- Pantsir-S1
- Tor-M2
- Buk-2N
- Nebo-M
Bahkan pasukan dari Kazan dan Grozny dikabarkan telah dikerahkan ke ibu kota. Keadaan ini menciptakan atmosfer mencekam, seolah Rusia tengah bersiap menghadapi serangan skala penuh dari udara.
Trump Balik Arah: Rusia dan Tiongkok Kini Musuh Bersama
Menurut analis senior Wu Jialong, perubahan besar dalam strategi Amerika mulai terlihat jelas. Perjanjian baru antara Amerika Serikat dan Ukraina mengenai eksplorasi serta ekspor mineral strategis menjadi tanda bahwa Trump tidak lagi berusaha merangkul Rusia untuk melawan Tiongkok, melainkan menggabungkan keduanya sebagai musuh bersama dalam satu paket strategi global.
“Trump tidak lagi melihat Rusia sebagai alat melawan Beijing. Sekarang, keduanya adalah target bersamaan,” ungkap Wu.
CIA bahkan mengambil langkah ekstrem dengan merilis video perekrutan terbuka untuk agen intelijen di Tiongkok—sesuatu yang jarang terjadi secara publik. Langkah ini dianggap sebagai upaya memecah kesatuan internal Partai Komunis Tiongkok (PKT), menabur benih keretakan dari dalam.
Gejolak Internal di Tubuh PKT: Xi Jinping Tersudut
Sementara itu, krisis internal dalam elite Partai Komunis Tiongkok semakin dalam. Brigadir Jenderal (Purn.) Brian Holter dari Angkatan Udara AS, dalam tulisannya untuk Newsweek, menyebut bahwa PKT sedang menuju kehancuran dan Xi Jinping bisa jadi adalah pemimpin terakhir partai tersebut.
Menurut Holter, kampanye “pemberantasan korupsi” yang dijalankan Xi mulai berbalik arah dan justru menyasar faksi loyalisnya sendiri. Hingga kini, lebih dari 1.300 perwira dan 80 jenderal telah disingkirkan, termasuk tokoh-tokoh kunci di militer.
Salah satu nama yang muncul dalam pusaran ini adalah Jenderal Zhang Youxia, yang disebut-sebut sebagai otak di balik manuver pembersihan ini.
Ramalan Kuno dan Kudeta yang Ditakuti
Menariknya, Holter juga menyinggung “Tui Bei Tu”, kitab ramalan kuno dari Tiongkok, yang secara metaforis seolah menggambarkan skenario kudeta atau pembunuhan terhadap pemimpin tertinggi.
Salah satu baitnya berbunyi: “Seorang prajurit membawa busur… dari gerbang timur muncul panah emas… ksatria menyerbu istana dari belakang.”
Kalangan spekulan politik menafsirkan “busur” sebagai simbol Zhang Youxia, sementara “panah emas” diyakini sebagai simbol pemberontakan dari kalangan elite militer.
Strategi Ekonomi Trump: Runtuhkan PKT dari Dalam
Trump dikabarkan sedang menyusun strategi untuk menghantam Tiongkok bukan dengan senjata, tapi dengan melumpuhkan fondasi ekonominya. Holter mencatat, sejak masa jabatan sebelumnya, Trump berhasil memaksa lebih dari 10.000 pabrik di Tiongkok tutup, terutama di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, dan Guangzhou—yang kini dijuluki sebagai “kota mati.”
Pelabuhan-pelabuhan utama mengalami stagnasi. Protes pekerja meluas. Bahkan sejumlah pabrik dibakar oleh buruh karena upah tak dibayarkan selama berbulan-bulan.
Holter menyimpulkan bahwa senjata paling ampuh AS terhadap Tiongkok adalah menghentikan peran sebagai pasar utama bagi ekspor Tiongkok. Tanpa pasar Amerika, ekonomi Tiongkok dapat mengalami kehancuran lebih parah daripada efek Perang Dunia II.
Peringatan Terakhir: PKT Bisa Bertindak Gila
Meski strategi ekonomi dinilai efektif, Holter tetap memberi peringatan keras. Ketika rezim totaliter seperti PKT berada di ujung tanduk, tindakan nekat seperti meluncurkan serangan militer bisa saja dilakukan untuk mengalihkan perhatian publik dari keruntuhan dalam negeri.
Dengan tekanan dari luar dan dalam, serta ancaman dari rival-rival internal, posisi Xi Jinping dan rezim PKT saat ini benar-benar terjepit. Dunia kini menanti apakah Beijing akan bertahan, tunduk, atau justru meledak.
Setelah Modi Pastikan Absen dari Parade Militer Rusia, Menteri Pertahanan India Pun Batalkan Kunjungan ke Moskow
EtIndonesia. Pada 3 Mei, media India seperti Press Trust of India (PTI) dan Business Frontline melaporkan bahwa Menteri Pertahanan India, Rajnath Singh—yang sebelumnya dijadwalkan mewakili Perdana Menteri Narendra Modi dalam parade peringatan Hari Kemenangan Rusia pada 9 Mei—juga akan absen karena “kesibukan urusan dalam negeri”. Sebagai gantinya, Menteri Negara di Kementerian Pertahanan India, Sanjay Seth, akan menghadiri acara tersebut.
Menurut Business Frontline, seorang pejabat Kementerian Dalam Negeri India menyebutkan bahwa meningkatnya ketegangan antara India dan Pakistan setelah serangan bersenjata di wilayah Kashmir yang dikuasai India—yang menewaskan 26 turis dan melukai 17 orang—merupakan salah satu alasan pembatalan. Singh juga dikabarkan tengah bersiap menghadiri pertemuan pertahanan bilateral dengan Jepang pada 5 Mei.
Sumber resmi pemerintah mengatakan kepada PTI pada 3 Mei bahwa Sanjay Seth kemungkinan besar akan berangkat ke Moskow untuk menghadiri peringatan tersebut mewakili Rajnath Singh.
Undangan Putin dan Sikap India
Rusia sebelumnya telah mengundang para pemimpin dari negara-negara sahabat untuk menghadiri parade militer besar-besaran dalam rangka memperingati kemenangan dalam Perang Patriotik Raya. PM Narendra Modi pun menerima undangan tersebut, namun memutuskan membatalkannya menyusul insiden penembakan di Kashmir. Bahkan, Modi mempersingkat kunjungan dua harinya ke Arab Saudi dan langsung pulang ke India untuk mengevaluasi situasi serta merumuskan respons nasional.
Insiden tersebut terjadi pada 22 April di daerah Pahalgam, Kashmir. India menuduh Pakistan terlibat dalam serangan tersebut. Sehari kemudian, India mengumumkan serangkaian langkah untuk “menurunkan” hubungan bilateral, termasuk menangguhkan Perjanjian Pemanfaatan Air Sungai Indus (ditandatangani tahun 1960), menutup pos perbatasan, dan mengusir staf diplomatik Pakistan. Sebagai respons, Pakistan juga mengumumkan tindakan balasan terhadap India.
Ketegangan di Perbatasan India–Pakistan
Dalam hampir dua pekan terakhir, hubungan India–Pakistan terus memburuk. Pada 4 Mei, militer India mengklaim bahwa tentara Pakistan menembaki pos penjagaan di sepanjang Garis Kendali (LoC) di Kashmir dari malam hingga pagi hari. India mengaku telah memberikan “respon yang setimpal”. Media India menyebut bahwa kontak senjata telah berlangsung selama 10 hari berturut-turut. Selain itu, The Times of India melaporkan bahwa kedua negara juga menggelar latihan militer dengan amunisi sungguhan di Laut Arab.
Diplomasi dan Reaksi Rusia
Hindustan Times melaporkan bahwa Presiden Rusia, Vladimir Putin merupakan salah satu kepala negara pertama yang mengutuk insiden penembakan tersebut. Pada 2 Mei, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov mengadakan pembicaraan melalui telepon dengan Menteri Luar Negeri India S. Jaishankar. Mereka membahas sejumlah isu penting dalam hubungan Rusia–India, termasuk meningkatnya ketegangan antara India dan Pakistan.
Lavrov menyerukan agar kedua negara menyelesaikan perbedaan melalui jalur diplomatik dan politik, berdasarkan Perjanjian Simla 1972 dan Deklarasi Lahore 1999. Dalam pembicaraan tersebut, Lavrov dan Jaishankar juga membahas agenda kunjungan tingkat tinggi mendatang antara kedua negara.
Diketahui bahwa Modi telah dua kali mengunjungi Rusia tahun lalu—pada Juli untuk kunjungan kenegaraan, dan Oktober untuk menghadiri KTT BRICS ke-16. Pada Desember, Rajnath Singh juga melakukan kunjungan ke Moskow dan bertemu dengan Menteri Pertahanan Rusia, Andrei Belousov untuk memperkuat kerja sama bilateral.
Modi telah secara resmi mengundang Presiden Putin untuk mengunjungi India tahun ini. Menurut kantor berita Sputnik, Juru Bicara Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov, menyatakan pada 17 April bahwa kunjungan Putin ke India sedang dipersiapkan, dan Moskow menaruh harapan besar terhadap pertemuan tersebut. Jika terlaksana, ini akan menjadi kunjungan pertama Putin ke India sejak meletusnya perang Rusia–Ukraina pada Februari 2022.
Pakistan Serukan Investigasi Internasional
Terkait insiden penembakan di Kashmir pada 22 April, Pakistan telah beberapa kali meminta penyelidikan internasional yang kredibel, transparan, dan netral. Pada 2 Mei, Perdana Menteri Pakistan, Shehbaz Sharif menyatakan bahwa Pakistan tidak terlibat dalam serangan itu, dan menuduh India menuding tanpa bukti. DIa menyatakan bahwa Pakistan sedang berkomunikasi dengan negara-negara sahabat untuk menjelaskan posisinya.
Menteri Pertahanan Pakistan, Khawaja Asif, dalam wawancara dengan media Rusia minggu lalu, mengusulkan agar Rusia dan Tiongkok dilibatkan dalam investigasi internasional atas serangan tersebut.
Menanggapi hal ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Guo Jiakun, menyatakan bahwa pihaknya menyambut baik segala upaya yang dapat meredakan ketegangan saat ini. Tiongkok mendukung penyelidikan yang adil dan sesegera mungkin. Sebagai negara tetangga yang bersahabat dengan India dan Pakistan, Beijing berharap kedua belah pihak menahan diri, saling mendekat, serta menyelesaikan perbedaan melalui dialog demi menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan.(jhn/yn)
Satu-Satunya Negara di Dunia yang “Melarang Wanita ke Luar Negeri”
EtIndonesia. Di era globalisasi seperti sekarang, bepergian ke luar negeri telah menjadi bagian dari gaya hidup banyak orang. Bagi sebagian orang, bepergian sudah semudah pergi ke pasar. Namun, ada satu negara di dunia yang justru melarang wanita untuk ke luar negeri—negara itu adalah Belarus.
Nama “Belarus” mungkin mengingatkan kita pada “Rusia”, namun jangan salah, meskipun hanya berbeda satu kata, kedua negara ini sama sekali tidak sama. Belarus adalah negara merdeka dengan identitas tersendiri. Negara ini tidak sebesar Rusia, penduduknya pun relatif sedikit. Namun, satu hal yang membuat Belarus terkenal di mata dunia adalah: negaranya penuh dengan wanita cantik.
Wanita-wanita di Belarus dikenal memiliki ciri khas wajah yang sangat menawan—dagu runcing, hidung mancung, mata besar, kulit putih bersih—semua itu tampak alami tanpa perlu polesan makeup tebal. Kecantikan mereka sering membuat orang lain iri. Mengapa wanita Belarus begitu memesona? Jawabannya terletak pada darah “Slavia Asli” yang mereka miliki. Kata “putih” dalam nama Belarus bukan hanya merujuk pada warna kulit, tetapi juga melambangkan kemurnian dan keagungan bangsa ini.
Namun, meskipun mereka cantik alami, wanita-wanita Belarus tidak dengan mudah bisa bepergian ke luar negeri. Dahulu, wanita Belarus bebas bepergian, tetapi sejak tahun 2005, situasinya berubah.
Awal Mula Larangan Keluar Negeri
Kisahnya bermula pada tahun 2005. Saat itu, Presiden Belarus Alexander Lukashenko sedang melakukan inspeksi di ibu kota Minsk. Dia memperhatikan bahwa seluruh papan iklan di sepanjang jalan menampilkan wajah-wajah model asing. Dia pun bertanya kepada Wali Kota: “Kemana perginya wanita-wanita cantik kita?”
Sang Wali Kota menjawab: “Mereka pergi ke luar negeri untuk bekerja karena gaji yang ditawarkan perusahaan asing lebih tinggi.”
Lukashenko langsung mengambil keputusan: “Tidak! Wanita kita tidak perlu pergi ke luar negeri untuk mencari uang. Di dalam negeri juga banyak peluang.”
Ditambah lagi, Belarus saat itu sedang menghadapi tren pertumbuhan populasi negatif. Jika terlalu banyak wanita Belarus yang pergi ke luar negeri, jumlah populasi nasional akan semakin menyusut. Maka sejak saat itulah, wanita Belarus menjadi korban utama dari kebijakan “negara tertutup”.
Untuk pergi ke luar negeri, mereka harus mendapatkan izin khusus dari pemerintah.
Hukum dan Larangan Kaum Wanita Menikah dengan Warga Asing
Dalam peraturan resmi Belarus, para wanota dilarang keluar negeri tanpa izin khusus, dan tidak diizinkan menikah dengan warga negara asing untuk kemudian pindah ke luar negeri. Aturan ini terdengar sangat ketat bagi banyak orang, bahkan tak masuk akal di era modern. Namun, pemerintah Belarus punya alasan historis dan budaya yang mereka anggap sah.
Menurut mereka, kebijakan ini bertujuan melindungi hak dan keselamatan wanita Belarus, agar mereka tidak menjadi korban eksploitasi oleh individu atau sindikat di luar negeri.
Efek Langsung dari Kebijakan Ini
Meskipun terkesan kejam, larangan ini berhasil menurunkan kasus perdagangan manusia. Pada masa krisis ekonomi Belarus, banyak wanita tertipu oleh iming-iming pekerjaan di luar negeri, dan akhirnya terjebak dalam industri pelacuran karena tekanan ekonomi. Namun, sejak aturan diberlakukan tahun 2005, jumlah kasus perdagangan manusia turun drastis. Pada tahun pertama reformasi, jumlah kasus turun menjadi kurang dari 200, dan pada 2008, masalah ini nyaris sepenuhnya terkendali.
Ketimpangan Gender dan Harapan Pemerintah
Namun, kebijakan ini juga memunculkan masalah baru: ketimpangan gender yang serius. Populasi wanita di Belarus jauh melebihi laki-laki. Karena itu, meskipun wanita dilarang menikah dan tinggal di luar negeri, pemerintah Belarus justru mengundang pria asing untuk datang ke Belarus, menikah dengan wanita lokal, tinggal dan bekerja di sana, serta membentuk keluarga.Tujuan utamanya adalah meningkatkan angka kelahiran laki-laki, menjaga keseimbangan populasi, dan secara tidak langsung mendukung pembangunan nasional melalui stabilitas demografis.(jhn/yn)
DPR AS Secara Bulat Loloskan RUU Perlindungan Falun Gong untuk Menentang Pengambilan Organ Paksa oleh Partai Komunis Tiongkok
“Menjatuhkan sanksi terhadap pelaku pengambilan organ secara paksa adalah kewajiban moral,” kata salah satu sponsor rancangan undang-undang tersebut
Eva Fu – The Epoch Times
Pada 5 Mei 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat secara bulat menyetujui sebuah rancangan undang-undang yang bertujuan untuk mengakhiri penganiayaan terhadap kelompok spiritual Falun Gong oleh rezim Tiongkok.
Rancangan undang-undang tersebut, yang diberi nama Falun Gong Protection Act (HR 1540), disahkan dengan dukungan bipartisan yang luas dan memuat ketentuan untuk menjatuhkan sanksi terhadap individu yang terlibat dalam pengambilan organ secara paksa dari praktisi Falun Gong.
Menurut isi undang-undang, sanksi akan dijatuhkan terhadap daftar warga negara asing “yang oleh Presiden ditetapkan telah secara sadar dan langsung terlibat atau memfasilitasi pengambilan organ tanpa persetujuan di Republik Rakyat Tiongkok.“
Sanksi tersebut meliputi larangan masuk ke wilayah Amerika Serikat, pembatalan visa, serta hukuman pidana berupa denda hingga 1 juta dolar AS dan hukuman penjara hingga 20 tahun, di antara sanksi lainnya.
Anggota Kongres AS dari Partai Republik, Scott Perry selaku sponsor utama Falun Gong Protection Act, menyatakan bahwa “harus ada konsekuensi terhadap perilaku yang biadab dan mengerikan ini.”
“Amerika Serikat harus menjadi pemimpin dan menunjukkan jalan bagi dunia,” katanya kepada The Epoch Times. “Kita harus bertindak dan memaksa dunia untuk mengakuinya.”
Falun Gong adalah sebuah praktik spiritual yang melibatkan meditasi dan ajaran yang berlandaskan pada prinsip Sejati, Baik, Sabar . Sejak tahun 1999, Falun Gong mengalami penindasan keras di Tiongkok. Rezim Tiongkok menganggap popularitas Falun Gong sebagai ancaman, dan sekitar 70 hingga 100 juta praktisinya telah mengalami penangkapan, penahanan jangka panjang, kerja paksa, dan berbagai bentuk penyiksaan.

Undang-undang Perlindungan Falun Gong mengarahkan Amerika Serikat untuk bekerja sama dengan sekutu dan lembaga multilateral guna meningkatkan kesadaran akan penganiayaan ini, serta mengoordinasikan sanksi dan pembatasan visa secara internasional.
Undang-undang ini juga menetapkan bahwa kebijakan AS adalah untuk tidak bekerja sama dengan Tiongkok dalam hal transplantasi organ selama Partai Komunis Tiongkok (PKT) masih berkuasa.
UU ini mengharuskan Menteri Luar Negeri AS, Menteri Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS, serta Kepala Lembaga Kesehatan Nasional AS (NIH) untuk menyerahkan laporan dalam waktu satu tahun yang merinci kebijakan dan praktik transplantasi organ di Tiongkok.

Laporan tersebut harus mencakup bagaimana kebijakan tersebut diterapkan terhadap praktisi Falun Gong dan tahanan hati nurani lainnya, termasuk estimasi jumlah transplantasi tahunan, waktu tunggu untuk memperoleh organ, dan sumber organ tersebut.
Laporan juga harus mencantumkan hibah dari AS selama satu dekade terakhir yang mendanai penelitian transplantasi organ di Tiongkok atau kerja sama antara lembaga Tiongkok dan AS.
Laporan itu juga akan menilai apakah penganiayaan terhadap Falun Gong oleh Beijing memenuhi syarat sebagai “kekejaman” di bawah Elie Wiesel Genocide and Atrocities Prevention Act of 2018.
“HR 1540 adalah langkah bersejarah—komitmen mengikat pertama dari Kongres untuk mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap penganiayaan dan pengambilan organ paksa terhadap praktisi Falun Gong,” kata Perry dalam pidatonya di sidang Kongres.
“RUU ini membuka jalan bagi akuntabilitas, sanksi, hukuman, dan pengakuan—pengakuan terhadap mereka yang turut serta dalam kekejaman ini.”
Perry mengatakan, dengan adanya penyelidikan, AS tidak akan lagi berpaling dari kenyataan.
“Kita tahu angka-angka itu tidak masuk akal,” ujarnya. “Segala bukti mengarah pada apa yang mereka lakukan, tetapi selama ini terlalu mudah bagi semua negara, termasuk AS, untuk menutup mata terhadap apa yang sebenarnya sedang terjadi—dan itu mengerikan.”
“RUU ini mengakhiri semua itu,” lanjutnya. “Ini menyatakan tidak ada lagi pembiaran, tidak ada lagi berdiam diri sambil terus membeli barang dan jasa dari komunis Tiongkok. Cukup sudah.”
‘Kewajiban Moral’
Anggota Kongres AS dari Partai Republik, Gus Bilirakis, salah satu co-sponsor RUU dan anggota Komite DPR AS tentang Partai Komunis Tiongkok, menyebut undang-undang ini “sangat penting, mengingat catatan hak asasi manusia Partai Komunis Tiongkok yang mengerikan serta perlakuannya yang terus berlanjut terhadap Falun Gong dan kelompok agama minoritas lainnya.”

“Menjatuhkan sanksi terhadap pelaku pengambilan organ paksa adalah kewajiban moral,” ujar Bilirakis kepada The Epoch Times. “Dengan melakukan hal ini, kita dapat mengambil sikap tegas terhadap kejahatan mengerikan yang melanggar kesucian hidup dan martabat manusia.”
Ia berharap undang-undang ini dapat membantu “mengubah perilaku PKT yang keji dan memberikan perlindungan yang lebih besar bagi mereka yang ditindas dan mengalami penyiksaan berat.”
“Dengan mempertanggungjawabkan para pelaku, kita tidak hanya melindungi mereka yang paling rentan, tetapi juga menegaskan hak dasar atas otonomi tubuh dan nilai-nilai kemanusiaan yang kita bagi bersama.”
Anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, Pat Ryan juga co-sponsor, mengatakan bahwa ia “bangga melihat dukungan bipartisan yang luas terhadap upaya ini.”

“Saya akan melakukan segala daya saya untuk membuat para pelaku perdagangan organ bertanggung jawab atas kejahatan mereka yang tak terkatakan,” ujarnya.
“Saya akan terus menyuarakan penolakan tanpa kompromi terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan penganiayaan terhadap kelompok agama, di mana pun hal itu terjadi.”
Anggota Kongres AS dari Partai Republik Tom Tiffany menyatakan pentingnya untuk meminta pertanggungjawaban rezim Tiongkok.
“Penganiayaan PKT terhadap Falun Gong, termasuk penyiksaan dan pengambilan organ paksa, adalah tindakan biadab,” ujarnya. “Amerika Serikat tidak boleh mentoleransi kekejaman ini.”
Para anggota parlemen lainnya juga menyampaikan keterkejutannya atas penderitaan yang ditimbulkan oleh rezim tersebut.
“Selama 25 tahun, Partai Komunis Tiongkok telah menjalankan kampanye brutal terhadap praktisi Falun Gong—ditandai dengan penyiksaan, pemenjaraan, pembunuhan, dan praktik tercela berupa pengambilan organ paksa—semata-mata karena mereka menjalankan kepercayaan agamanya secara damai,” kata Anggota Kongres dari Partai Republik, Lance Gooden.
“Ini bukan hanya serangan besar terhadap kebebasan beragama, tetapi juga salah satu krisis hak asasi manusia paling mendesak di zaman kita.”
UU ini, lanjut Gooden, akan “menghadapi kekejaman ini secara langsung.”
“Tidak ada kelompok keagamaan mana pun yang seharusnya dianiaya dan diperlakukan sebagai bank organ bagi rezim totaliter.”
“Amerika Serikat harus memimpin dengan kejelasan moral dan berdiri tegas menentang kejahatan kemanusiaan PKT.”
Anggota Kongres dari Partai Republik, Burgess Owens menyebut pelanggaran hak asasi manusia yang menargetkan kelompok ini sebagai “mengerikan dan benar-benar jahat.”
Dengan mendukung dan ikut mensponsori UU ini, katanya kepada The Epoch Times, berarti *“berdiri membela kebebasan beragama dan martabat manusia”—*sebuah tindakan yang ia banggakan.
Kewajiban untuk Bertindak
Sesaat sebelum pengesahan Falun Gong Protection Act, DPR juga membahas RUU lain terkait penyalahgunaan pengambilan organ paksa.

Anggota Kongres AS dari Partai Republik Chris Smith sponsor utama dari Stop Forced Organ Harvesting Act (HR 1503), menyatakan bahwa pemimpin komunis Tiongkok Xi Jinping dan rezimnya harus “memikul tanggung jawab atas salah satu kekejaman hak asasi manusia paling mengerikan di zaman kita—perdagangan manusia untuk tujuan pengambilan organ, membantai dan membunuh mereka dalam prosesnya.”
“Pengambilan organ paksa adalah pembunuhan yang menyamar sebagai pengobatan,” katanya kepada The Epoch Times.
“Bayangkan apa yang akan Anda pikirkan jika Anda seorang pemuda Uighur atau praktisi Falun Gong yang diikat di ranjang operasi, digiring ke ruang pembantaian yang steril.”
“Dari semua kekejaman yang tak dapat dibayangkan yang dilakukan oleh PKT, ini adalah yang paling keji.”
RUU Stop Forced Organ Harvesting Act memiliki cakupan yang lebih luas untuk memerangi perdagangan organ internasional. Tujuannya termasuk mendorong sistem donor organ sukarela dengan mekanisme penegakan hukum yang efektif dalam perundingan bilateral dan forum kesehatan internasional, serta menghukum para pelaku—termasuk anggota Partai Komunis Tiongkok—atas tindakan ilegal tersebut.
RUU ini mengharuskan otoritas AS untuk mengevaluasi di setiap negara asing “pengambilan organ paksa dan perdagangan manusia untuk tujuan pengambilan organ,” yang dapat melibatkan paksaan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau pembelian persetujuan dengan uang, sebagaimana dijabarkan dalam undang-undang.
Di hadapan DPR AS, Smith mengutip Sir Geoffrey Nice, yang melakukan analisis hukum independen pertama di dunia atas kekejaman ini di Tiongkok. Analisis tersebut menemukan bahwa pengambilan organ paksa “terjadi di seluruh Tiongkok dalam skala yang signifikan.”
“Kejahatan terhadap kemanusiaan ini sangat kejam dan menyakitkan; antara dua hingga enam organ internal dari setiap korban diambil,” kata Smith.
Ia juga menyoroti bahwa korban bisa berasal dari komunitas Uighur yang sedang mengalami genosida di Xinjiang, serta dari praktisi Falun Gong “yang praktik meditasi damai dan kesehatan luar biasa membuat organ mereka sangat diincar.”
Beberapa anggota parlemen lain turut menyuarakan dukungannya terhadap RUU Smith.
“Ini adalah pasar gelap bernilai miliaran dolar yang dibangun dari pembunuhan,” kata Anggota Kongres dari Partai Republik, Brian Mast , ketua Komite Urusan Luar Negeri DPR AS. “Ini adalah serangan langsung terhadap setiap prinsip martabat dan kemanusiaan.”
“Kepada para pelaku dalam industri biadab ini,” tambahnya, “RUU ini mengirim pesan: Kami akan memburu kalian.”
“Tubuh manusia bukanlah mata uang. Bukan komoditas. Tidak untuk diperjualbelikan.
Pengambilan organ paksa adalah kejahatan murni—jika kita tidak bertindak, kita akan dianggap turut serta.”
Anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, Johnny Olszewski menyerukan rekan-rekannya untuk mendukung kedua RUU tersebut.
“Mengungkap kejahatan ini dan para pelakunya, serta mendorong akuntabilitas, sangat penting,” katanya.
Ia mencatat bahwa kewajiban pelaporan dalam Falun Gong Protection Act akan membantu Kongres memahami “cakupan kekejaman ini” dan menanganinya secara lebih efektif.
Meski kedua RUU ini pernah disahkan DPR pada periode Kongres sebelumnya, Senat tidak mengambil tindakan.

Perry dan Smith telah lama menyuarakan isu pengambilan organ paksa, dan merasa kecewa atas lambannya proses di Kongres.
“Dalam kurun waktu yang sama ini, kita tidak tahu berapa banyak orang yang telah menjadi korban program pengambilan organ paksa oleh Partai Komunis Tiongkok,” kata Perry. “Kita mungkin tidak akan pernah tahu.”
“Ini bukanlah solusi akhir, tapi Amerika Serikat harus bersuara lantang soal ini, dan ini adalah langkah menuju ke sana.”
Ia menyebutkan bahwa butuh waktu untuk mengedukasi orang tentang apa yang sedang terjadi. Namun, setiap kali ia mengangkat isu ini, semakin banyak koleganya yang mulai sadar.
“Reaksi pertama Anda pasti horor, bahwa ini benar-benar terjadi,” katanya. “Lalu, reaksi berikutnya adalah, mengapa tidak ada yang melakukan sesuatu? Bagaimana bisa ini dibiarkan? Maka, pada titik tertentu, itu menjadi kewajiban Anda.”
Perry dan Smith mendesak Senat untuk segera mengesahkan undang-undang tersebut.
“Apa yang kalian tunggu?” ujar Perry. “Apa alasan untuk menolaknya? Jika kalian khawatir terhadap hubungan Amerika dengan Partai Komunis Tiongkok, apakah itu berarti kalian ingin menyampaikan kepada dunia bahwa kalian tidak masalah mereka membunuh orang dan mengambil organ mereka hanya karena mereka bisa?”
Jika Senat mengesahkan RUU ini, Perry yakin Presiden Donald Trump akan menandatanganinya dan “menciptakan ruang diskusi yang layak akan topik ini.”
“Ia akan memahami bahwa pengambilan organ seseorang secara paksa adalah hal yang tidak dapat diterima di level mana pun,” katanya. “Tidak ada penjelasan apa pun yang bisa membenarkannya.” (asr)
Jerman Peringati 80 Tahun Akhir Perang Dunia II, Diplomat Rusia Datang Tanpa Diundang
EtIndonesia. Pada tanggal 8 Mei, para duta besar dari Ukraina serta negara-negara lain dijadwalkan menghadiri upacara peringatan berakhirnya Perang Dunia II. Namun tahun ini, diplomat dari Rusia dan Belarus secara tegas tidak diundang untuk hadir dalam acara tersebut.
Meskipun tidak diundang, Duta Besar Rusia untuk Jerman, Sergey Nechayev, tetap datang. Dia membawa karangan bunga berwarna merah, biru, dan putih—warna bendera Rusia—dengan pita emas bertuliskan: “Kedutaan Besar Federasi Rusia”. Dia juga berusaha untuk menyampaikan pidato, namun pemerintah Jerman tidak mengizinkannya.
Padahal, pekan lalu Nechayev masih diizinkan meletakkan karangan bunga dalam acara peringatan 80 tahun pertemuan pasukan Soviet dan Amerika di Kota Torgau—sebuah konsesi yang diberikan dengan rasa berat oleh para pejabat kota. Kontroversi bahkan sudah dimulai sebelum Nechayev tiba. Pihak Rusia mengklaim telah “menerima undangan dari Kota Torgau”, namun pemerintah kota kemudian mengklarifikasi bahwa mereka tidak pernah mengirimkan undangan tersebut.
Larangan dari Pemerintah Jerman
Kementerian Luar Negeri Jerman sebelumnya telah memberikan rekomendasi untuk tidak mengundang perwakilan dari Rusia maupun Belarus. Dalam dokumen resmi yang bersifat rahasia, Kementerian Luar Negeri memberikan pedoman bagi pemerintah federal, negara bagian, dan kota untuk tidak mengundang perwakilan dari Rusia dan Belarus dalam acara peringatan. Selain itu, diplomat dari kedua negara tersebut juga tidak diizinkan menghadiri peringatan di Bundestag (parlemen Jerman) pada 8 Mei.
Jika perwakilan Rusia atau Belarus tetap muncul dalam acara resmi di wilayah Jerman tanpa pemberitahuan sebelumnya, maka pihak penyelenggara berhak mengambil tindakan yang dianggap perlu, termasuk pengusiran.
Namun, apakah larangan umum seperti itu benar-benar diperlukan?
Perdebatan Publik di Jerman
Mantan Presiden Bundestag, Norbert Lammert (dari partai CDU), menyampaikan keraguannya dalam program Berlin Direkt yang disiarkan ZDF, televisi nasional Jerman. Dia mengatakan bahwa keputusan akhir seharusnya berada di tangan panitia penyelenggara acara, meskipun arahan dari pemerintah pusat patut diperhatikan.
Lammert mengakui bahwa para penyelenggara memang harus mempertimbangkan perasaan tamu lain—khususnya warga Ukraina yang terdampak langsung oleh invasi Rusia.
“Sulit dibayangkan mereka harus memperingati akhir perang bersama para penyerang di masa kini,” katanya.
Namun, dia juga menekankan bahwa apa pun kondisi politik saat ini, seberapa menyakitkan atau brutal sekalipun, para korban perang tetap layak dihormati.
Rusia Mengecam, Medvedev Mencibir
Tanggapan dari media pemerintah Rusia pun langsung muncul. Mereka menunjukkan kemarahan dan mengejek keputusan pemerintah Jerman. Mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, menyebut pengecualian terhadap Rusia dari peringatan di Bundestag sebagai “tindakan yang sangat sinis”.
Dalam pernyataannya yang kasar, Medvedev bahkan mengatakan: “Namun, para pengikut Nazi Bandera—yang berkembang biak seperti larva tifus—malah diperbolehkan hadir.”
Berlin Tetapkan 8 Mei sebagai Hari Libur Khusus
Sebagai bagian dari peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II, pemerintah Kota Berlin untuk pertama kalinya menetapkan tanggal 8 Mei sebagai hari libur resmi—meski hanya untuk satu kali. Langkah ini dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap para korban perang dan penegasan terhadap nilai-nilai demokrasi yang lahir dari tragedi global tersebut.(jhn/yn)
Alberta Ingin Merdeka? Trump Ulurkan Tangan, Kanada Terancam Hadapi Krisis Disintegrasi
EtIndonesia. Pada 28 April, setelah kandidat dari Partai Liberal, Mark Carney, memenangkan pemilu dan resmi memimpin pemerintahan di Ottawa, badai politik di Kanada tak kunjung mereda. Kini, sebuah “gempa” politik yang bisa mengguncang fondasi negara benar-benar sedang berkembang di Provinsi Alberta, wilayah barat Kanada. Sebuah gerakan kemerdekaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, telah berkembang dari sekadar aksi protes menjadi tindakan nyata.
Bulan ini, Alberta secara mengejutkan mengadakan referendum singkat, dan hasilnya menunjukkan: suara yang mendukung pemisahan diri dari Kanada ternyata sangat tinggi. Lebih mengejutkan lagi, sebuah delegasi dari Alberta kini dikabarkan tengah menjalin komunikasi dengan tim Presiden AS, Donald Trump, untuk mendiskusikan kemungkinan provinsi tersebut “bergabung dengan Amerika Serikat sebagai negara bagian ke-51”.
Menurut laporan Fox News, inisiatif ini dipelopori oleh seorang pengacara Alberta, Jeffrey Rath, yang memimpin kelompok advokasi yang sedang aktif mendorong Alberta untuk keluar dari federasi Kanada dan membentuk aliansi politik dan ekonomi yang lebih erat dengan Amerika Serikat—bahkan hingga bergabung langsung dengan AS.
Dalam wawancara eksklusif dengan Fox News pada malam 3 Mei, Rath mengungkapkan : “Faktanya, ada ratusan warga Alberta yang secara sukarela menghubungi kami untuk ikut dalam delegasi. Mereka sudah muak dengan sikap dingin dan penindasan dari para politisi di wilayah timur.”
Dia menegaskan bahwa kelompok mereka saat ini masih berukuran kecil dan bersifat “eksploratif”, bertindak sebagai komite panduan awal. Rencananya, mereka akan melakukan kunjungan ke Washington untuk berdialog langsung dengan perwakilan dari kubu Trump. Tujuannya: membahas masa depan Alberta, apakah akan berdiri sebagai negara berdaulat atau bergabung ke dalam Amerika Serikat dan merasakan manfaat sistem konstitusi dan ekonomi AS.
“Trudeau dan Carney saat ini pusing menghadapi masalah perdagangan dan pajak karbon. Bahkan Carney berencana menaikkan pajak karbon sebesar 21% mulai April lalu,” kata Rath dengan nada geram. “Ini penghinaan bagi rakyat Alberta yang bekerja keras. Mereka bahkan sudah kesulitan membayar biaya pemanas saat musim dingin, apalagi harga bahan bakar untuk mobil dan truk.”
Identitas Budaya: Alberta Merasa Lebih Dekat ke AS?
Menurut Rath, Alberta sejak lama mengalami keterputusan budaya dan nilai-nilai dengan provinsi-provinsi timur Kanada—khususnya Quebec dan Ontario.
Dia mengatakan: “Kami lebih merasa senasib dengan warga Montana di selatan ketimbang dengan para politisi Ottawa yang tidak mengerti siapa kami.”
Rath bahkan secara terbuka menyerukan kepada Donald Trump: “Tolong dukung hak Alberta untuk menentukan nasib sendiri. Kami tahu Anda pernah menyatakan dukungan untuk Greenland. Kami berharap Anda juga bisa memenuhi janji yang sama kepada kami. Alberta akan menjadi mitra terbaik bagi Amerika Serikat dalam membangun masa depan yang makmur.”
Saking antusiasnya pembicaraan, pembawa acara Fox News sempat berseloroh: “Kalau semua ini terjadi, Anda mungkin akan jadi gubernur negara bagian ke-51.”
Rath hanya tertawa dan menjawab: “Saya tidak punya ambisi politik. Saya hanya ingin hidup tenang bersama istri dan anak-anak saya di peternakan.”
Akar Gelombang Kemerdekaan: Kekecewaan Mendalam pada Pemerintah Pusat
Perlu dicatat bahwa referendum ini bukanlah gerakan yang muncul tiba-tiba. Alberta selama bertahun-tahun merasa dieksploitasi dan diabaikan oleh pemerintah federal, terutama dalam kebijakan energi dan perpajakan. Kini, dengan Mark Carney menjadi perdana menteri baru yang mendukung kuat “ekonomi hijau”, Alberta yang sangat bergantung pada minyak dan gas alam, melihat masa depan ekonominya terancam.
Pengamat politik mengingatkan bahwa Carney pernah menjadi utusan iklim untuk PBB dan selama kampanye sangat vokal mendukung pajak karbon dan pelarangan eksplorasi minyak. Jika kebijakan-kebijakan ini dijalankan dalam masa awal pemerintahannya, bukan tidak mungkin gelombang separatisme di Alberta akan semakin kuat dan memicu provinsi lain seperti Saskatchewan dan British Columbia untuk ikut mempertimbangkan opsi yang sama.
Kesempatan Trump? Peta Politik Amerika Utara Bisa Berubah
Donald Trump dalam beberapa kesempatan pernah menyatakan bahwa jika ada provinsi dari Kanada yang bersedia bergabung, maka Amerika Serikat siap menyambut mereka sebagai negara bagian baru. Kini, pernyataan itu bukan lagi terdengar seperti candaan atau sekadar simbol politik.
Informasi yang beredar juga menunjukkan bahwa beberapa negara bagian AS seperti Texas dan Montana mendukung ide ini. Mereka menilai, bergabungnya Alberta akan memperkuat ketahanan energi nasional AS dan memperkuat pertahanan di wilayah utara yang berbatasan langsung dengan Kutub Utara, yang memiliki nilai strategis tinggi.
Namun, secara konstitusional, proses ini tidak sederhana. Setiap wilayah yang ingin bergabung dengan AS harus disetujui oleh mayoritas di Dewan Perwakilan dan Senat AS. Bahkan jika Trump kembali menjabat sebagai presiden, jalan untuk merealisasikan hal ini akan penuh rintangan dan membutuhkan dukungan politik besar.
Jika Alberta Bergabung dengan AS, Apa Dampaknya bagi Dunia?
Jika Alberta benar-benar keluar dari Kanada dan menjadi bagian dari Amerika Serikat, maka akan terjadi pergeseran geopolitik besar-besaran di kawasan Amerika Utara. Luas wilayah AS akan melampaui Kanada, menjadikannya negara terbesar kedua di dunia setelah Rusia. Cadangan energi dan kekuatan ekonomi AS juga akan meningkat tajam.
Sebaliknya, Kanada akan kehilangan provinsi kaya minyaknya, dan dampaknya bisa sangat merugikan perekonomian nasional. Resesi bisa melanda, dan rasa ketidakpuasan bisa menyebar ke provinsi lain, memperbesar risiko disintegrasi Kanada.
Sejak tahun 1980-an, wacana separatis di Alberta sudah pernah muncul lewat Partai Kemerdekaan Alberta. Namun kini, dengan munculnya faktor eksternal seperti Trump dan kondisi ekonomi-politik saat ini, Alberta seolah benar-benar berdiri di persimpangan sejarah. Gerakan ini bukan hanya tentang satu wilayah yang ingin merdeka—ini bisa menjadi awal dari runtuhnya sistem federal Kanada.
Hambatan Berat untuk Kemerdekaan atau Bergabung dengan AS
Namun, perlu diingat, Alberta menghadapi rintangan hukum dan kenyataan politik yang sangat berat. Konstitusi Kanada tidak mengizinkan satu provinsi secara sepihak keluar dari federasi. Bahkan jika referendum dilakukan, hasilnya tidak mengikat secara hukum kecuali melalui perundingan federal dan proses amandemen konstitusi—yang secara praktis hampir mustahil.
Pemerintah federal dipastikan akan menolak dan bisa saja mengambil langkah represif, seperti membekukan dana provinsi. Di sisi lain, jika Alberta ingin bergabung dengan AS, itu juga harus melalui persetujuan dua kamar Kongres AS, dan tidak semua pihak di Amerika mendukung. Partai Demokrat dan sejumlah politisi moderat mungkin menolak.
Jika Alberta berdiri sebagai negara merdeka, fia juga akan menghadapi tantangan besar: membangun sistem keuangan baru, perpajakan, serta ketergantungan pada provinsi tetangga untuk ekspor energi. Selain itu, tidak semua warga Alberta setuju dengan pemisahan. Masyarakat adat secara umum menolak karena merasa memiliki hubungan istimewa dengan pemerintah federal Kanada.
Bahkan jika Alberta berhasil keluar, pengakuan internasional atas negara baru ini belum tentu diberikan. Negara tersebut bisa saja mengalami isolasi diplomatik dan bahkan mendorong tren disintegrasi serupa di negara-negara lain—sesuatu yang bisa membawa ketidakstabilan di tingkat regional maupun global.(jhn/yn)
Kenalan dengan John, Kucing yang Terjebak di Pipa dan Berhasil Diselamatkan oleh Petugas Damkar
SWNS
Ini adalah kisah klasik: seorang gadis dalam kesulitan, penyelamatan yang berani, dan para pahlawan yang tidak kita sangka kita butuhkan. Hanya saja, dalam kasus ini, sang “gadis” adalah seekor kucing betina bernama John.
Ya, John adalah perempuan. Ceritanya panjang.
John, seekor kucing hitam asal Inggris dengan nama yang tidak biasa, ditemukan pada 23 November dengan kepalanya menjulur keluar dari ujung pipa saluran air, tidak mampu membebaskan diri. Tim Pemadam Kebakaran Clevedon pun dipanggil ke lokasi, merespons apa yang mereka sebut sebagai tantangan yang unik.
“Tim dari Clevedon dipanggil pukul 09.55 pagi ini bukan untuk menyelamatkan kucing yang terjebak di atas pohon, tapi yang terjebak di dalam pipa saluran air!” tulis mereka di Facebook.
Bersenjatakan tangga, peralatan kecil, dan baik hati, para petugas pemadam mengevaluasi situasinya. Solusi mereka? Memotong sebagian pipa dengan John masih di dalamnya—yang disebut sebagai “opsi termudah dan paling tidak membuat stres.”
John pun dibebaskan dari dalam garasi, dengan pipa masih melingkari lehernya dan tatapan tajamnya yang tak gentar. Ia kemudian segera dibawa ke tim profesional di Vets4Pets Clevedon, di mana ia dibius agar sisa pipa bisa dilepas dengan aman dari lehernya.
Tim dokter hewan memberikan terapi oksigen dan memasang kateter intravena untuk memastikan kenyamanan John selama prosedur. Setelah proses pemotongan pipa yang cermat, John akhirnya terbebas tanpa cedera dan siap menerima pelukan. Ia segera dipertemukan kembali dengan pemiliknya yang lega.
Reaksi Media Sosial
Unggahan Facebook dari Pemadam Kebakaran Clevedon tentang kejadian ini memicu tawa dan rasa sayang warganet, terutama karena nama kucing tersebut. Para petugas pun mengakui keanehan itu, dengan menyatakan, “John (Ya, John) si kucing telah membuat dirinya (Ya, John adalah perempuan, itu cerita panjang) terjebak di pipa saluran garasi.”
Vets4Pets Clevedon juga membagikan cerita tersebut di media sosial mereka, menggambarkan bagaimana hari itu berubah “tak terduga” dengan kedatangan John. Mereka menyoroti kerja sama dengan tim pemadam kebakaran dan menyampaikan rasa lega atas kondisi John yang baik-baik saja setelah insiden tersebut.
Akhir yang Bahagia
Setelah kembali dengan selamat ke rumah, John menikmati tidur siang yang pantas ia dapatkan setelah “pagi yang luar biasa melelahkan,” menurut pemiliknya, Cassie.
Meskipun alasan di balik nama uniknya masih menjadi misteri, satu hal jelas: kisah John telah meninggalkan kesan mendalam bagi semua orang yang terlibat.
Staf The Epoch Times turut berkontribusi dalam laporan ini.
Bagikan cerita Anda kepada kami di emg.inspired@epochtimes.nyc, dan terus dapatkan inspirasi harian Anda dengan mendaftar ke buletin Inspired di TheEpochTimes.com/newsletter.