ErabaruNews- Musim wabah flu musim dingin di Tiongkok memasuki puncaknya. Sebagian besar rumah sakit penuh sesak dengan pasien yang berobat.
Para orangtua menggendong anak berbaris panjang dalam antrian, guna menunggu giliran diperiksa oleh dokter. Beban kerja para dokter jelas bertambah dan berlipat ganda.
Sementara itu, sejumlah rumah sakit komunitas justru tidak dapat menerima pasien flu. Beberapa media mempertanyakan, Ke mana para ‘Dokter Keluarga’ bagi 500 juta rakyat yang digembar-gemborkan rezim penguasa?
Media ‘Caixin’ pada 7 Januari 2018 memberitakan, musim dingin tahun ini, jumlah pasien flu di seluruh negeri Tiongkok meningkat secara signifikan. Para pasien flu yang mendatangi rumah-rumah sakit kelas AAA membludak.
Tetapi klinik-klinik perawatan kesehatan primer alias ‘Dokter Keluarga’ yang dibangun untuk melayani masyarakat, justru tidak mampu menangani penyakit umum. Mereka gagal untuk memerankan fungsi membantu rumah sakit besar dalam mendiagnosis penyakit atau memberikan pertolongan awal pada masyarakat yang tinggal di lingkungannya.
Seorang petugas yang bertanggungjawab pada pusat perawatan kesehatan lingkungan yang berada di Distrik Jinshan, Shanghai kepada reporter ‘Caixin’ mengatakan bahwa mereka bukan (klinik) menolak pasien anak-anak. Namun, mereka tidak diperbolehkan menerima dan menangani pasien flu anak-anak.
Setelah epidemi SARS merajalela, flu jenis apasaja meskipun demam ringan, sepanjang suhu badan meningkat, tidak akan diijinkan masuk lokasi klinik. Demikian yang ia katakan.
Menurut peraturan yang berlaku, diagnosis dan pengobatan beberapa jenis demam umum justru tidak berada dalam ruang lingkup penanganan ‘Dokter Keluarga’.
Petugas itu mengatakan, ada dua hal yang melandasi mereka tidak boleh menangani hal itu.
Pertama, Jika menemukan pasien demam dengan suhu badan melampaui 38°C, pasien harus segera dialihkan ke rumah sakit kelas 2 atau 3. Kedua, Kebanyakan klinik-klinik itu tidak menyediakan pelayanan kepada anak-anak.
Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat Distrik Datun menjelaskan bahwa pihaknya tidak dapat menerima pasien demam yang suhu badannya mencapai di atas 37,3° C. Sebab, mereka dicurigai memiliki hubungan dengan penyakit menular lainnya.
Peraturan tersebut sudah berlaku sejak SARS meledak di Tiongkok tahun 2003. Namun sampai sekarang pun rumah sakit tingkat dasar belum juga menyediakan fasilitas pelayanan penyakit umum seperti flu.
Menurut laporan tersebut, meskipun sekarang peraturan itu diubah, tetapi dengan kondisi yang ada saat ini, klinik-klinik di lingkungan masyarakat itu pun tidak memiliki motivasi untuk menyediakan fasilitas menanggulangi penyakit umum. Karena hasil survei menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang kelasnya makin rendah, ruginya makin besar.
Laporan tersebut mengatakan bahwa di kebanyakan negara maju, klinik-klinik atau ‘Dokter Keluarga’ merupakan jaringan utama yang berada di garis paling depan dalam mencegah, dan mengendalikan penyakit menular.
Tetapi di Tiongkok klinik yang melayani penyakit anak-anak sangat kurang. Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Shandong Institute of Medical Science and Technology Information pada tahun 2015, lebih dari 80 persen institusi perawatan kesehatan utama Shandong tidak memiliki pediatri tersendiri dan tidak memiliki dokter spesialis anak.
Lembaga perawatan kesehatan primer seharusnya menangani dan mengobati penyakit umum anak-anak dan penyakit yang sering terjadi, namun mereka tidak memainkan peran dasar mereka.
Hal yang perlu dicatat adalah pada 17 Desember tahun lalu, media resmi Xinhua News Agency merilis berita bahwa pada akhir bulan November 2017, lebih dari 95 persen kota di Tiongkok menandatangani pembentukan ‘Dokter Keluarga’. Sehingga 500 juta rakyat kini memiliki dokter keluarga.
Data ini telah menimbulkan keraguan dari kalangan masyarakat. Komisi Perencanaan Kesehatan PKT juga mengatakan akan memberikan layanan prioritas kepada populasi kunci, termasuk orang tua, ibu hamil, anak-anak dan orang-orang cacat.
Dilaporkan bahwa di balik ‘Lompatan Jauh ke Depan’ justru dalam sistem medis Tiongkok bermunculan ‘Dokter Keluarga’ yang tidak memiliki kompetensi. Di bawah indikator PKT yang muluk-muluk, praktek penipuan dokter keluarga di berbagai tempat terus terbongkar.
Terutama berfokus pada penipuan dengan tandatangan palsu, tidak melakukan praktek kedokteran dan cara penipuan lainnya. (ET/Sinatra/waa)