Li Tianxiao
Tanggal 13 April lalu, Amerika-Inggris-Prancis bersekutu untuk secara tepat menyerang tiga fasilitas senjata kimia milik Suriah. Tindakan Trump ini ibarat sebutir batu mengenai beberapa sasaran, menampilkan tanggung jawab AS terhadap dunia setelah menjadi besar kembali, juga menciptakan definisi baru ketertiban dunia pasca perang, bisa dikatakan sangat bermakna.
Ini adalah untuk kali kedua Trump melakukan serangan militer terhadap rezim Suriah yang telah melanggar pernjanjian internasional tentang larangan penggunaan senjata kimia membunuh warga sipil. Sebelumnya dilakukan pada April 2017 tahun lalu.
Umumnya masyarakat dunia akan berpendapat, jika tindakan internasional hanya terjadi sekali, mungkin bisa disebut hanya kebetulan saja, tapi jika terjadi dua kali dan terlihat akan menjadi tren, maka ini membentuk suatu model. Lewat dua kali aksi serangan internasional kali ini, sebenarnya Trump telah membentuk “model serangan berkeadilan”.
1. Trump Bentuk Prinsip Moral dan Keadilan Internasional Yang Lebih Tinggi
“Model serangan berkeadilan” ala Trump ini telah membentuk sebuah dasar perilaku: ketika DK PBB sudah tak mampu menghentikan aksi kekerasan yang melanggar hukum internasional, maka bisa ditempuh tindakan berdasarkan prinsip moral yang lebih tinggi.
Dengan kata lain kebaikan dan kejahatan akan dijadikan patokan, kejahatan anti-kemanusiaan yang telah melanggar ambang batas peradaban manusia membunuh rakyat biasa, baik itu di tengah konflik antar negara, atau saat menekan rakyat negaranya sendiri, seperti saat rezim Assad membunuh kaum wanita dan anak-anak dengan menggunakan senjata kimia, pada saat itu PBB atau negara lain atau liga beberapa negara bisa bertindak dengan kekuatan militer untuk menegakkan keadilan.
Prinsip moralitas dunia ini melampaui batas kedaulatan negara, dan lebih tinggi daripada mandat PBB. Terutama ketika Anggota Tetap DK PBB tidak mencapai kesepakatan, sehingga DK PBB tidak bisa membuat resolusi, tidak bisa menghentikan aksi kekerasan tersebut, maka negara yang mampu bisa mengambil tindakan untuk menghentikan kejahatan itu berdasarkan prinsip moralitas internasional.
“Model serangan berkeadilan” ala Trump ini telah mendorong lebih jauh ke depan prinsip “HAM lebih tinggi daripada kedaulatan” yang terbentuk pasca terjadinya Tragedi Pembantaian Rwanda tahun 1994 silam.
Di dalam penerapan prinsip “HAM lebih tinggi daripada kedaulatan” masih terkendala kerangka aturan konstitusi PBB, yang acap kali adalah berupa modus spekulatif, dan bukan prinsip mengambil tindakan yang cepat untuk dapat menghentikan aksi kekerasan secara efektif.
Sedangkan “model serangan berkeadilan” ala Trump ini telah mendobrak dan melampaui aturan pada konstitusi PBB. Dengan kata lain “model serangan berkeadilan” ala Trump ini hanya butuh prinsip moralitas yang sederhana dan bukti yang kuat, maka kekuatan serangan yang akurat bisa berfungsi menghentikan kejahatan kekerasan dan menegakkan keadilan di saat perpecahan di dalam DK PBB membuatnya menjadi lumpuh.
“Model serangan berkeadilan” ala Trump ini juga merupakan wujud kebutuhan dan tren baru untuk menjaga ketertiban internasional setelah PD-II. Ini telah dibuktikan.
Seorang pejabat Gedung Putih mengatakan, setelah Trump menyerang Suriah karena menggunakan senjata kimia pasca pertemuannya dengan Xi Jinping April 2017 lalu, ia telah menerima banyak telepon dari teman sekutunya, mereka berkata “Terima kasih, akhirnya ada orang yang bertindak (menyelesaikan masalah senjata kimia).” Waktu itu Xi Jinping juga menyatakan persetujuannya. Dan di tahun 2018 tindakan tunggal AS pun berubah menjadi aksi bersama Amerika-Inggris-Prancis yang bersekutu.
- “Model Serangan Berkedilan” ala Trump Paksa Korut Denuklirisasi
Model baru Trump ini telah menyelamatkan kelemahan mematikan pada hukum internasional modern yakni: kurangnya kekuatan penegakan hukum. Hukum internasional ini harus diterapkan oleh orang yang tegas, berinisiatif dan tidak suka mengolor waktu, jika tidak maka hanya akan berupa omong kosong belaka, dan hanya berupa sehelai kertas.
Seperti “Konvensi Senjata Kimia” yang mulai berlaku sejak 1997 itu telah mencakup 192 negara di dalamnya. Namun menaati kesepakatan tersebut pada dasarnya hanya mengandalkan kesadaran diri sendiri.
Jadi pada saat pelanggaran kesepakatan terjadi, seperti Suriah yang membuat dan menggunakan senjata kimia, tidak ada mekanisme untuk menegakkan hukum dan memberikan sanksi. Karena negara penegak hukum harus memiliki kekuatan ekonomi maupun militer canggih dan juga harus memiliki tanggung jawab akan kebenaran dan kriteria moral yang tinggi.
Trump berulang kali menegaskan dan memuji “serangan yang akurat” kali ini, karena dengan adanya serangan akurat selain dapat melindungi rakyat biasa secara efektif, juga secara tepat menghancurkan kejahatan itu, sebagai refleksi penggabungan sempurna dari moral, keadilan dan kekuatan militer.
“Model serangan berkeadilan” Trump selain memiliki nilai universal, juga mengandung makna praktis yang umum. Pertemuan Trump dan Kim akan segera tiba (sebelum medio Juni), “Model serangan berkeadilan” ini bisa dikatakan secara langsung menargetkan Korut. Dan mencakup dua hal:
Pertama, ancaman senjata kimia Korut dan penggunaannya juga merupakan alasan AS mengambil tindakan serangan membela keadilan ini. Itu sebabnya model ini betul-betul telah meningkatkan kekuatan penangkalan militer terhadap Korut.
Saat ini Korut telah memiliki hampir 40 jenis senjata kimia yang diproduksinya sendiri dan yang digunakan untuk membunuh Kim Jong-Nam adalah zat beracun syaraf jenis VX. Disamping itu penyidik PBB berpendapat, antara Korut dengan Suriah telah terjadi transaksi permanen: Korut memasok bahan-bahan untuk memproduksi senjata kimia bagi Suriah, sedangkan Suriah memberikan dukungan dana bagi Korut untuk mengembangkan senjata nuklir dan rudalnya.
Dari 20.000 unit meriam yang dimiliki Korut pada dasarnya dapat diluncurkan proyektil berhulu ledak senjata kimia yang bisa menyebabkan korban jiwa dalam jumlah besar bagi Korea Selatan. Oleh sebab itu tidak mengherankan bila dalam pertemuan Trump dan Kim akan dibahas pula agar Korut melenyapkan senjata kimia.
Kedua, Trump memperlihatkan pada Kim Jong-Un bahwa serangan militer terhadap Korut adalah pilihan yang sangat realistis, jika Kim mempermainkan Trump soal denuklirisasi, maka Suriah adalah contohnya, Trump berani mengatakan berani berbuat. Jadi Kim Jong-Un harus secara serius mempertimbangkan akibatnya bila membatalkan kesepakatannya dengan Trump. Ini sangat membantu untuk memaksa Kim menuju denuklirisasi.
- Alasan Trump Tempuh Cara Unik Terhadap Xi Jinping
Menurut berita, Trump akan membuat kebijakan strategis yang berbeda dengan pemerintahan AS sebelumnya untuk mengatasi masalah HAM di Tiongkok termasuk penindasan terhadap kebebasan beragama dan lain sebagainya. Dan sesungguhnya ini adalah penerapan kriteria moralitas internasional yang sangat penting.
Dalam kebijakan terhadap RRT, Trump memiliki cara pendekatan yang sangat unik, yang tidak dimiliki oleh pemimpin negara mana pun: di satu sisi Trump sangat membenci rezim PKT maupun komunisme dan tidak berbelas kasih dalam hal perdagangan AS-RRT yang berlangsung tidak adil, di sisi lain Trump juga selalu memuji kepribadian Xi Jinping setiap kali bertemu. Dilihat dari isi pembicaraan dan sikap lugas Trump, pujian Trump terhadap Xi bukan sekedar basa basi diplomatik semata, melainkan menyembunyikan kata sandi yang penting dan unik.
Di sisi lain, kerjasama Xi dalam hal memberi sanksi terhadap Korut dan masalah perdagangan AS-RRT semakin memperkuat pemahaman dan kepercayaan Trump terhadap Xi. Trump bisa merasakan Xi sedang berupaya melakukan, tapi masih ada ruang untuk dimaksimalkan.
Yang paling krusial adalah, di saat menghujat otoritarian komunis, Trump masih bisa menggunakan cara yang sangat unik untuk memuji pribadi Xi Jinping, seharusnya bisa dilihat berbedanya Xi Jinping dengan penguasa PKT sebelumnya yakni Jiang Zemin, serta peran Xi yang efektif dalam menyelesaikan krisis realita Tiongkok dan menggerakkan reformasi masa depan Tiongkok.
Seperti dalam hal memberi sanksi terhadap Korut, berbeda dengan rezim sebelumnya termasuk juga Jiang Zemin, Xi selalu berada di sisi Trump, dan terus membersihkan kubu Jiang. Pada masalah Suriah, sikap rezim Xi juga berbeda dengan Rusia maupun Iran.
Tahun ini setelah terjadi konflik perdagangan RRT-AS, pada Forum Boao Xi Jinping menanggapi masalah konflik dagang RRT-AS dengan reformasi beserta serangkaian kebijakan proaktif yang dikemukakan Xi mendapat pengakuan dan pujian dari Trump.
Dengan cara tertentu Xi mungkin juga telah memaparkan rencana reformasi Tiongkok kepada Trump, dan mendapat pengertian Trump. Xi mungkin telah membuat Trump memahami: di balik masalah nuklir Korut dan gesekan hubungan dagang AS-RRT adalah masalah struktural dan sistem pemerintahan, serta masalah penindasan HAM yang serius yang terjadi di RRT, semua ini diakibatkan oleh pewarisan rezim Jiang sebelumnya, Xi pun sedang berupaya menyelesaikannya, dan sedang dilakukan dengan aksi pemberantasan korupsi.
Justru karena Trump telah melihat kemampuan terpendam dan adanya elemen perubahan pada diri Xi untuk melakukan reformasi, maka Trump tidak melepaskan kesempatan untuk bekerjasama dengan Xi, dengan berbagai cara termasuk memberlakukan sanksi dari luar, untuk mendorong Xi melakukan perubahan dari dalam. Tentu pada akhirnya bergantung sepenuhnya bagaimana Xi akan memilih. (SUD/WHS/asr)