Kartu truf Beijing dalam perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat telah melemparkan tarif pembalasan atas produk-produk pertanian AS, tetapi keinginan rezim Tiongkok tersebut kemudian semakin bergantung pada pertanian dalam negeri mungkin telah menjadi bumerang. Produksi pertanian di Tiongkok merosot pada paruh pertama tahun 2018, yang memiliki efek membuat barang-barang lebih mahal bagi warganya.
Pada tanggal 6 Juli, kedelai, jagung, gandum, kapas, beras, dan kacang-kacangan dari AS dipukul dengan pajak 25 persen, sebagai tanggapan terhadap paket tarif pertama pemerintah Trump senilai $34 miliar untuk barang-barang Tiongkok.
Di Sina Weibo, setara dengan Twitter di Tiongkok, beberapa pengguna internet Tiongkok kesal karena masyarakat harus membayar biaya untuk perang dagang yang berkepanjangan tersebut.
“Siapa yang rugi karena tarif ini? Pada akhirnya, kita yang membayar tarif-tarif itu dan karena itu kita sedang terkena hukuman!” kata seorang pengguna.
Turunnya produksi pertanian dan tarif-tarif yang dikenakan pada impor AS telah mengakibatkan harga yang lebih tinggi pada barang-barang konsumsi di dalam Tiongkok. Meskipun statistik resmi menunjukkan bahwa ada peningkatan 2,1 persen indeks harga konsumen (IHK) pada bulan Juli dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu, peningkatan yang sebenarnya mungkin jauh lebih besar.
Wu, seorang penduduk Provinsi Hubei, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Radio Free Asia (RFA) bahwa harga daging babi lokal telah meningkat 25 persen, menjadi 10 yuan ($1,45) per “jin” (satuan berat dalam bahasa Mandarin yang setara dengan 21 ons) dari 8 yuan ($1,16) pada bulan Mei dan Juni.
Tiongkok adalah konsumen kedelai dan gandum terbesar di dunia. Mereka mengimpor kedelai senilai $14 milyar dan gandum senilai $391 juta dari Amerika Serikat pada tahun2017. Tiongkok juga membeli jagung dari Amerika Serikat, mengimpor jagung senilai $160 juta pada tahun 2017. Tetapi dengan tarif yang diberlakukan tersebut, produksi domestik belum cukup untuk memenuhi permintaan.
Sementara itu, kekeringan yang pertama melanda pada awal tahun dan baru akhir-akhir ini berganti musim adalah salah satu alasan mengapa produksi domestik kedelai dan jagung menurun tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu, menurut Securities Times yang dikelola pemerintah. Di Tiongkok, hasil panen kebanyakan digunakan untuk membuat pakan ternak dan minyak goreng.
Baru-baru ini, tongkol jagung yang dipanen dari banyak pertanian di kota-kota timur laut Shenyang dan Fuxin, Provinsi Liaoning, telah terpengaruh karena kurangnya hujan.
Kekeringan juga melanda “sabuk jagung emas” Tiongkok, daerah Kota Gongzhuling di Provinsi Jilin, dengan keras. Feng Jun, seorang petani di Kabupaten Liufangzi di Gongzhuling, mengatakan kepada Securities Times bahwa kawasan itu telah mengalami kekeringan sejak awal tahun ini. Hujan yang cukup tidak turun sampai akhir Mei.
Feng memperkirakan produksi jagung tahunan di daerah itu akan turun 20 hingga 30 persen, dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sun Yunting, manajer departemen pertanian di Jilin Yuntianhua, sebuah perusahaan publik yang memproduksi pupuk organik, setuju dengan prediksi yang beralamat buruk dari Feng tersebut dalam laporan Times Securities.
Turunnya hasil panen jagung tercermin dalam harga bursa berjangka hasil panen. Di Dalian Commodity Exchange yang berbasis di Liaoning, harga jagung (c1901) telah meningkat dari sekitar 1.770 yuan (sekitar $256) per ton pada bulan April menjadi sekitar 1.883 yuan (sekitar $273) pada 16 Agustus.
Selain efek cuaca yang kurang menguntungkan, petani Tiongkok cenderung lebih sedikit menanam kedelai daripada jagung karena biaya yang lebih tinggi, menurut Securities Times.
Gao Wenkun, seorang petani dari Zhuanghe, sebuah kota tingkat kabupaten di Liaoning, menjelaskan bahwa uang yang dibelanjakan untuk membeli pestisida akan meningkatkan biaya penanaman kedelai.
Menurut data dari CnGrain.com, sebuah situs web Tiongkok yang didedikasikan untuk melaporkan berita pertanian, 115 juta acre (sekitar 46.538.848 hektar) lahan pertanian diproyeksikan akan digunakan untuk menanam kedelai di tahun 2018, yang berarti 2 juta hektar lebih sedikit dari setahun sebelumnya. Hasil kedelai tahunan diperkirakan mencapai 288 juta kilogram, 500 juta kilogram berkurang dari setahun sebelumnya.
Produksi Gandum Juga Terkena Dampak
Produksi gandum di Tiongkok juga turun di paruh pertama tahun ini. Menurut statistik oleh The State Grain and Reserves Administration, sebuah lembaga di bawah Dewan Negara Tiongkok, hasil gandum di provinsi-provinsi penghasil gandum utama, termasuk Provinsi Hebei di utara, Provinsi Jiangsu di pantai timur, Shandong dan provinsi Anhui di timur, dan provinsi Henan dan Hubei di Tiongkok tengah, mencapai sekitar 36,9 juta ton pada 31 Juli, yang 18,3 juta ton lebih rendah dari jumlah selama tahun ini tahun lalu.
Henan, salah satu provinsi penghasil gandum terbesar, telah terjadi penurunan produksi gandum dari sekitar 17,4 juta ton dalam tujuh bulan pertama 2017, menjadi sekitar 7,8 juta ton selama periode yang sama tahun ini.
Pada 13 Agustus, pengiriman 70.000 ton kedelai senilai $23 juta mendarat di pelabuhan di Kota Dalian di Tiongkok timur laut, menjadikan kargo kedelai AS pertama yang harus dikenakan tarif pembalasan Tiongkok, menurut Reuters. Pengumpul biji-bijian milik negara, Sinograin, dikonfirmasi dalam faks kepada Reuters bahwa mereka akan membayar tarif, sekitar $6 juta, untuk pengiriman tersebut.
Liu Kaiming, presiden The Institute of Contemporary Observation, sebuah organisasi penelitian tenaga kerja yang berbasis di kota Shenzhen, Tiongkok selatan, mengatakan kepada RFA bahwa, meskipun Sinograin membayar tarif tersebut, biaya yang lebih tinggi akhirnya akan ditanggung oleh rakyat. (ran)