Tiongkok, sebuah rezim otoriter di bawah kekuasaan satu partai, sedang memamerkan kekuatan dalam keahliannya memata-matai dunia maya (cyberespionage) untuk ikut campur dalam pemilihan umum di negara-negara demokratis.
Monovithya Kem, seorang aktivis politik Kamboja yang tinggal di Amerika Serikat, memberi tahu firma keamanan siber AS, FireEye, setelah dia menyadari tentang sebuah email yang dia terima, yang konon dari kelompok hak asasi manusia yang mengungkapkan simpati atas pemenjaraan ayahnya di Kamboja, dikirim dari sebuah akun gratis, menurut laporan 18 Agustus oleh surat kabar Jepang, Nikkei.
Kem adalah putri Kem Sokha, mantan kepala dari Partai Penyelamat Nasional Kamboja, Cambodia National Rescue Party (CNRP), yang sekarang telah bubar, yang dipenjara atas dakwaan pengkhianatan sejak September 2017. Dua bulan setelah penangkapannya, CNRP dibubarkan.
Tuduhan tersebut didasarkan atas tuduhan bahwa Sokha telah mendalangi sebuah protes (demo) jalanan pada tahun 2014. Human Rights Watch (HRW) nirlaba, dalam sebuah laporan yang diterbitkan 21 Agustus, mengatakan tuduhan terhadap Sokha adalah tidak masuk akal, dan bahwa dia dipenjara karena “keberaniannya untuk memimpin partai oposisi.” HRW menyerukan pembebasannya segera.
Sebuah laporan yang dikeluarkan pada bulan Juli oleh FireEye menyimpulkan bahwa dokumen yang dilampirkan di dalam email Kem adalah malware yang dapat mencuri informasi pribadi Kem jika dia ingin mengunduhnya. FireEye mengidentifikasi bahwa email untuk Kem tersebut berasal dari alamat IP di Hainan, sebuah provinsi di Tiongkok selatan.
Pengirim itu ternyata adalah kelompok peretas yang berbasis di Tiongkok, Temp.Periscope, yang telah dilacak FireEye sejak tahun 2013. Dan Kem bukan satu-satunya target: Temp.Periscope memiliki minat yang luas dalam politik Kamboja menjelang pemilu 29 Juli negara tersebut untuk pemilihan kursi parlemen.
FireEye telah menyusun daftar panjang organisasi pemerintah dan individu di Kamboja yang telah dikompromikan oleh Temp.Periscope, termasuk Komisi Pemilihan Umum, Kementerian Dalam Negeri, dua diplomat Kamboja, dan beberapa entitas media Kamboja.
Motivasi kelompok tersebut adalah untuk menjaga Hun Sen, perdana menteri pro-Beijing dan pemimpin Partai Rakyat Kamboja (CPP) yang sedang memerintah, untuk berkuasa, menurut Nikkei. Dia menjabat sebagai perdana menteri sejak tahun 1985.
Pada 15 Agustus, otoritas pemilihan di Kamboja mengumumkan bahwa CPP memenangkan semua 125 kursi parlemen dalam pemilihan Juli, yang menjamin bahwa, sebagai pemimpin CPP, Hun Sen akan tetap berkuasa.
Tiongkok menganggap pengalaman peretasan yang diperoleh di Kamboja sebagai “uji coba” untuk mempengaruhi politik di negara-negara tetangga di masa depan, menurut laporan Nikkei.
Mengekspor Campur Tangan Pemilu
Amerika Serikat juga waspada tentang kemungkinan ikut campur pemilihan tersebut. Presiden Donald Trump mengindikasikan dalam sebuah posting Twitter 18 Agustus bahwa mungkin ada ancaman keamanan siber (cybersecurity) dari Tiongkok.
“Semua orang bodoh yang begitu terfokus hanya melihat ke arah Rusia harus mulai juga mencari ke arah lain, Tiongkok,” tulisnya.
Menyambut ucapan Trump, penasihat keamanan nasional John Bolton menyatakan keprihatinan tentang pengaruh-pengaruh asing, termasuk Tiongkok, saat pemilihan paruh waktu AS pada November 2018, selama wawancara dengan ABC yang ditayangkan pada 19 Agustus.
Sementara itu, demokrasi yang kemungkinan besar akan berada di bawah ancaman campur tangan Tiongkok dalam dunia maya tidak diragukan lagi adalah Taiwan. Tiongkok menganggap Taiwan, demokrasi penuh dengan konstitusi dan militernya sendiri, sebagai provinsi pengkhianat yang harus disatukan dengan daratan, dengan kekuatan militer jika perlu.
Pada bulan Juli, situs web partai penguasa Taiwan, Partai Progresif Demokratik, diretas. Para peneliti Taiwan percaya serangan siber tersebut datang dari Tiongkok, menurut laporan Financial Times.
“Kami mengantisipasi menjelang pemilihan pada akhir tahun ini dan berlanjut hingga pemilihan presiden 2020, Taiwan akan menjadi hotspot global untuk serangan siber dan berita-berita palsu,” kata seorang juru bicara Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen.
Mempengaruhi hasil pemilu bukan satu-satunya hal dalam agenda dunia maya Tiongkok, rezim tersebut tertarik untuk mendapatkan intelijen tentang masa depan proyek One Belt, One Road (OBOR), juga dikenal sebagai Sabuk dan Jalan, di seluruh Asia Tenggara, menurut sebuah laporan 15 Agustus oleh Reuters.
Di bawah OBOR, lebih dari 60 negara di Asia, Eropa, dan Afrika telah bermitra dengan Tiongkok dalam proyek-proyek infrastruktur.
Mengutip informasi dari FireEye, Reuters melaporkan bahwa Malaysia akan menjadi “target khas kegiatan siber yang disponsori negara Tiongkok.” Pengawasan siber oleh Tiongkok sudah bisa diduga, terutama setelah Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad menghentikan beberapa proyek OBOR yang telah disahkan oleh pendahulunya, Najib Razak.
Mohamad memerintahkan penundaan setelah penyelidikan negara mengungkapkan bahwa dana untuk proyek-proyek tersebut digunakan untuk membayar kembali dana investasi negara Malaysia, 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Razak saat ini sedang diselidiki karena diduga perannya dalam penyalahgunaan dana tersebut.
Pada 21 Agustus, Mohamad, saat melakukan kunjungan diplomatik ke Beijing, mengumumkan bahwa dia telah membatalkan dua proyek OBOR: jalur kereta api dan gas yang diusulkan, setelah berbicara dengan pemimpin Tiongkok Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang, menurut New Straits Times, surat kabar berbahasa Inggris di Malaysia. (ran)