Jurnalis Epoch Times, Wang Xinyi, dari New York
“Ketika rekan kerja saya menerjang masuk dan memberitahu saya sebuah pesawat menabrak gedung, saya masih mengira itu hanya suatu kecelakaan biasa tanpa disengaja. Saya keluar dari kantor, belasan menit kemudian, saya mendengar bunyi “blar!”, pesawat kedua sudah menabrak lagi, saat terdengar ‘blarrrr!’ kedua itu, setiap helai rambut saya seolah tersapu berdiri oleh ombak panas.” Saat terjadi serangan teroris tanggal 11 September 2001 itu, seorang warga Manhattan New York bernama Chen Jialing sedang bekerja di kantornya yang berjarak 5 blok dari tempat kejadian.
“Saya berdiri di situ, melihat kertas-kertas dan dokumen dari gedung itu beterbangan dimana-mana, beberapa titik hitam bergerak-gerak, kemudian baru kusadari, itu adalah orang-orang yang melompat keluar dari gedung itu karena tidak tahan terhadap api besar dari dalam gedung.”
Chen menarik nafas dalam-dalam sebelum menambahkan, “Anda bisa melihat tangan dan kaki mereka melambai, sungguh mengenaskan.”
Chen Jialing pulang ke rumahnya dan setelah melihat ibunya baik-baik saja, lalu ia pun berjalan menuju WTC, waktu itu sudah pukul 5 sore, kedua gedung WTC telah ambruk.
“Baru sampai di jalan Church St. sejauh satu blok, tumpukan abu dari puing-puing gedung telah setinggi lutut, saya menengadah, terlihat tumpukan abu yang sudah menggunung ke arah West Street yang berjarak dua blok jauhnya,” kata Chen.
“Waktu itu saya baru tahu, habislah sudah, orang-orang yang terperangkap di dalam. Karena setelah ambruk, yang terlihat selain pecahan ubin, besi struktur, puing bangunan, adalah abu yang sangat sangat halus, lantaran suhu yang terlalu tinggi, bangunan itu seperti terurai lumer begitu saja.”
“Waktu itu ada yang meminta saya mengambil foto, saya tidak meladeninya, karena berpikir akan abu-abu tersebut, waktu itu di dalam bangunan masih banyak orang tidak bisa keluar, juga polisi dan petugas pemadam kebakaran yang masuk menolong korban. Siapa pun tidak mengira gedung itu akan ambruk. Karena rasa hormat pada para korban, saya tidak mengambil foto.”

Waktu itu selain pemadam kebakaran tidak ada orang mengorganisir evakuasi, bersama dengan sekelompok orang yang sukarela membantu, Chen Jialing membantu korban yang berhasil keluar dengan menunjukkan jalan bagi mereka, “Banyak korban yang menjadi linglung akibat ledakan dahsyat itu, dan kehilangan indera arahnya, kami semua berteriak, ‘Lari ke arah sana!’ pada mereka”
Hari kedua, ia kembali ke lokasi kejadian, “Waktu itu telah berdatangan lebih banyak petugas PMK, mereka mendatangkan air dalam jumlah besar, untuk menurunkan suhu di dalam puing reruntuhan, orang lain hanya berdiri di samping sambil melihat, tidak seorang pun berbicara, sangat hening. Karena semua orang tahu, tidak banyak yang bisa dilakukan, orang yang tidak berhasil keluar waktu itu, selamanya tidak bisa keluar lagi.”
“Seorang teman saya, pada malam hari minggu sebelum serangan itu, masih duduk minum bir bersama saya merayakan dirinya mendapat pekerjaan baru, kantornya di WTC itu. Hari Selasa tanggal 11 September itu adalah hari kedua ia bekerja, ia tidak bisa keluar”, kenang Chen.
“Pasca tragedi 11 September, saya berhenti minum alkohol, saya mulai melakukan pekerjaan sosial. Saya pikir, jika pagi itu saya tidak terlambat karena baca koran dan minum kopi, mungkin seperti biasa saya akan berjalan-jalan di sekitar WTC. Waktu kita hidup ini, mungkin tidak banyak yang bisa disia-siakan begitu saja,” pungkas Chen Jialing sembari berfilsafat. (SUD/WHS/asr)