BEIJING — Para pengusaha Pakistan yang isteri dan anak-anaknya terperangkap di wilayah Xinjiang Tiongkok melakukan perjalanan ke Beijing untuk melobi kedutaan mereka, dengan harapan pemerintah baru Pakistan akan menekan sekutunya untuk membebaskan mereka.
Beijing telah menghadapi kecaman dari para aktivis, beberapa pemerintah, dan para pakar hak asasi manusia PBB atas penahanan massal dan pengawasan ketat terhadap sebagian besar minoritas Muslim Uighur, dan kelompok Muslim lainnya, di wilayah barat Xinjiang.
Mirza Imran Baig, 40 tahun, yang berdagang antara kota kelahirannya Lahore dan Urumqui, ibu kota Xinjiang, mengatakan bahwa istrinya ditahan di kamp “pendidikan ulang” di negara kelahirannya, Bachu, selama dua bulan pada Mei dan Juni 2017 dan telah membuatnya tidak dapat meninggalkan kampung halamannya sejak dibebaskan.
Istrinya, Mailikemu Maimati, 33 tahun, dan putra mereka yang berusia empat tahun, yang keduanya warga negara Tiongkok, tidak bisa mendapatkan kembali paspor mereka dari pemerintah Tiongkok, katanya kepada Reuters di luar kedutaan Pakistan di Beijing.
“Duta besar saya mengatakan, ‘Tunggu, tunggu, tunggu, satu hari, dua hari.’ Oke, saya tunggu,” kata Baig pada 25 September, setelah pertemuannya.
Reuters tidak dapat segera menghubungi duta besar, Masood Khalid, untuk meminta komentar.
Rezim Tiongkok telah menggunakan alasan potensi ancaman Islam dan kerusuhan etnis untuk menindak penduduk lokal di Xinjiang.
Negara-negara mayoritas Muslim sebagian besar tetap diam atas situasi di Xinjiang.
Pemilihan bulan lalu untuk legendaris pemain bola kriket dan nasionalis fanatik Imran Khan sebagai perdana menteri Pakistan telah memberi harapan kepada banyak orang untuk memenuhi janji-janjinya dalam menciptakan lapangan kerja, membangun negara Islami yang sejahtera dan memulihkan citra negara di luar negeri.
Mian Shahid Ilyas, seorang pengusaha di Lahore yang telah mengumpulkan rincian kasus dan mencari dukungan pemerintah, mengatakan dia optimis pemerintah baru tersebut akan membantu.
Kementerian luar negeri Pakistan di Islamabad tidak menjawab pertanyaan dari Reuters tentang pasangan-pasangan suami istri Uighur tersebut.
“Banyak orang menikah seperti kami. Tidak masalah. Tetapi pada tahun 2017 mereka mulai menyegel semuanya di Xinjiang,” kata Ilyas, yang mengatakan bahwa istri Uighur Tionghoa-nya, seorang warga Tiongkok, telah ditahan sejak April 2017, mengatakan kepada Reuters melalui telepon.
Ilyas mengatakan dia telah mengkonfirmasi rincian 38 kasus tetapi percaya ada lebih dari 300 kasus serupa dari suami Pakistan yang istri dan anak-anaknya, sebagian besar mereka dari orang-orang Uighur, telah terjebak di Xinjiang selama lebih dari setahun, di kamp-kamp atau dikurung di rumah.
Orang-orang Uighur dan Muslim lainnya ditahan di fasilitas-fasilitas seperti kamp konsentrasi, yang dikenal sebagai pusat “pendidikan ulang”, dilarang menggunakan sapaan Islam, harus belajar bahasa Mandarin, dan menyanyikan lagu-lagu propaganda PKT, menurut laporan Human Rights Watch.
Segelintir pengusaha, termasuk Baig, pergi ke Tiongkok dalam kelompok-kelopompok kecil terdiri dari dua atau tiga orang, untuk menghindari kecurigaan, memarkir diri di kedutaan untuk menyampaikan kasus mereka, katanya.
“Ini adalah kesalahan besar Tiongkok,” kata Ilyas. “Sebelumnya orang-orang tidak tahu bagaimana mereka memperlakukan Muslim. Sekarang, semua orang tahu.” (ran)