Epochtimes.id. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian ESDM menyebut Tsunami di Selat Sunda, Sabtu (22/12/2018) adalah kasus yang spesial dan jarang terjadi di dunia, serta masih sangat sulit untuk memperkirakan kejadian _partial collapse_ pada suatu gunungapi.
“Untuk itu, pemantauan tsunami di tengah Selat Sunda baik dengan pemasangan peralatan pemantau (stasiun pasang surut di Pulau sekitar G. Anak Krakatau dan/atau BUOY) maupun pemantauan visual dengan penginderaan jauh, sangat diperlukan,” demikian keterangan resmi PVMBG.
PVMBG melaporkan, hingga saat ini erupsi G. Anak Krakatau masih berlangsung menerus, masyarakat di pesisir barat Banten dan pesisir selatan Lampung agar tetap waspada.
PVMBG juga meningatkan kepada masyarakat sementara waktu tidak beraktivitas di wilayah yang terlanda tsunami hingga kondisi memungkinkan.
Adapun berdasarkan pengamatan stasiun pasang surut Badan Informasi Geospasial (BIG) diperoleh informasi mengenai waktu tiba dan tinggi gelombang pertama, sebagai berikut:
(1) Di Stasiun Marina Jambu (Desa Bulakan, Kec. Cinangka, Kab. Serang, Banten) tiba pada pukul 21:27 WIB, dengan ketinggian 1,4 m.
(2) Di Stasiun Banten (Pelabuhan Ciwandan, Kota Cilegon, Banten) tiba pada pukul 21:40 WIB, dengan ketinggian 0,27 m.
(3) Di Stasiun Kota Agung (Kec. Kota Agung, Kab. Tanggamus, Lampung) tiba pada pukul 21:35 WIB, dengan ketinggian 0,31 m.
(4) Di Stasiun Panjang (Pelabuhan Panjang, Kota Bandar Lampung, Lampung) tiba pada pukul 21:27 WIB, dengan ketinggian 0,36 m.
Sedangkan sumber pemicu Tsunami di Selat Sunda, PVMBG mencatat berdasarkan katalog tsunami yang ditulis S.L. Soloviev dan Ch.N. Go pada tahun 1974, Wilayah Selat Sunda beberapa kali dilanda tsunami yang dipicu oleh gempa bumi (tahun 1722, 1852, dan 1958), erupsi atau aktivitas G. Krakatau (tahun 416, 1883, dan 1928), serta penyebab lain yang belum diketahui (tahun 1851, 1883 dan 1889).
Catatan PVMBG, sebelum kejadian tsunami, erupsi Gunung Anak Krakatau terjadi secara menerus sejak Juni 2018 dan berfluktuasi namun tidak ada peningkatan intensitas yang signifikan.
PVMBG menilai tsunami yang terjadi pada 22 Desember 2018 kemungkinan besar dipicu oleh longsoran atau jatuhnya sebagian tubuh dan material G. Anak Krakatau _(flank collapse)_ khususnya di sektor selatan dan barat daya.
Menurut PVMBG, masih diperlukan data tambahan dan analisis lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada faktor lain yang berperan.
“Gunung Anak Krakatau dan/atau BUOY) maupun pemantauan visual dengan penginderaan jauh, sangat diperlukan,” demikian keterangan PVMBG. (asr)