Wang Hua
Program “Made in China 2025” yang dikemukakan tahun 2015 lalu menargetkan pada tahun 2025 dapat membuat Komunis Tiongkok dari negara industri besar bertransformasi menjadi negara industri kuat, dan di tahun 2035 bisa melampaui Jerman dan Jepang, lalu di tahun 2045 melampaui Amerika, serta memiliki kekuatan memimpin di seluruh dunia. Mimpi indah industrialisasi ini, sama halnya dengan mimpi Komunis Tiongkok pada “One Belt One Road” yang membuat kalangan luar khawatir.
Bagaimana impian indah negara kuat ini bisa terwujud? Menurut pernyataan PKT, industri manufaktur di seluruh dunia telah membentuk peta pertumbuhan eselon empat tingkat, tingkat pertama adalah pusat inovasi teknologi global yang didominasi oleh Amerika, tingkat kedua adalah sektor industri high-end yang didominasi oleh Uni Eropa dan Jepang. Sedangkan RRT berada di tingkat ketiga di sektor industri menengah ke bawah.
Industri manufaktur RRT jika ingin “melampaui Eropa, Jepang dan mengejar AS” dengan meningkatkan diri ke arah industri cerdas, kuncinya adalah bagaimana memperkecil jarak kemampuan teknologi tingkat tinggi antara RRT dengan negara-negara canggih tersebut.
Oleh karenanya, menyangkut bagaimana menerapkan rencana “10-3-5” pada program “Made in China 2025” tersebut (tahun 2016 hingga 2020), dikeluarkanlah tiga kebijakan utama yakni: Pengembangan Independen, Datangkan dan Melangkah Keluar.
Singkat kata, Pengembangan Independen adalah penempaan baja metode lokal cara lama, sedangkan tujuan dari Datangkan dan Melangkah Keluar adalah Paham Mengunduh, yakni dengan menghindari jalur resmi biaya pembelian hak cipta, melainkan menyalip di tikungan dengan cara yang tidak terpuji yaitu dengan merampas teknologi tersebut dengan cara pasar (RRT) ditukar dengan teknologi (dari negara luar), atau dengan penggabungan perusahaan untuk mendapatkan teknologi.
Pada bagian Pengembangan Independent, di dalam “Rencana Pengembangan Kemampuan Inovasi Teknologi Industri (2016-2020)” RRT itu dikemukakan, di tahun 2020 harus menitikberatkan pendirian 15 pusat inovasi industri negara dan membangun 100 labolatorium penting. Tapi standar semua labolatorium ini akan ketinggalan belasan tahun dari Amerika.
Dalam hal pertukaran teknologi dengan pasar pada “Datangkan”, pada rencana “10-3-5” disebutkan, akan dibangun basis industri canggih dan zona ekonomi yang berpengaruh global di daerah pesisir pantai, memperluas dibukanya bidang investasi, melonggarkan pembatasan ijin masuk, berinisiatif mendatangkan modal asing dan teknologi canggih. Maka muncullah slogan “Standarisasi Internasional 2035” yang ditetapkan oleh PKT di bulan November 2018 lalu.
Dalam hal mendapatkan teknologi dengan penggabungan pada “Melangkah Keluar”, beberapa tahun terakhir RRT telah membentuk dana besar bagi berbagai industry.
Selain mendukung kebutuhan dana pada berbagai industri inti terkait, juga secara langsung maupun tidak langsung, bekerjasama dengan perusahaan negara maju, atau langsung melakukan akuisisi perusahaan asing, agar dapat dengan cepat mendatangkan atau mendapatkan hak cipta teknologinya, sejak tahun 2014 hingga 2016, sudah banyak merger yang dilakukan RRT terhadap perusahaan dari Eropa.
Akan tetapi, pemerintah Jerman mem-veto kasus merger oleh perusahaan dari RRT, seperti kasus akuisisi oleh dana investasi RRT: Fujian Hungxin Fund / Fujian Grand Chip (FGC) yang berniat membeli perusahaan produsen perlengkapan chips Jerman yakni Aixtron dengan nilai EUR 670 juta.
Pemerintah Jerman bahkan dengan alasan “keamanan strategis”, telah mem-veto China Yantai Taihai Group melakukan akuisisi terhadap pionir teknologi bahan kekuatan tinggi Jerman yakni Leifeld Metal Spinning.
Pemerintah Jerman mengkritisi, RRT mendapatkan berbagai teknologi krusial dengan cara membeli perusahaan Jerman, tapi perlakuan RRT terhadap perusahaan Eropa yang langsung berinvestasi di Tiongkok justru mewajibkan tuntutan yang bersifat diskriminatif, ini membentuk persaingan yang tidak adil antara kedua belah pihak.
PKT ingin mendapatkan teknologi canggih dengan cara menukar pasar (RRT) dan akuisisi (Perusaan di Luar Negeri), tapi selain mendapat halangan di Jerman, di Amerika bahkan mendapat halangan terbesar.
AS tidak hanya mencegah RRT melakukan merger. Bahkan menetapkan sanksi bagi ZTE dan Fujian Jinhua, serta menerbitkan serangkaian larangan ekspor teknologi, tidak mengijinkan produk berteknologi tinggi dijual ke RRT, juga tidak mengeluarkan visa bagi pelajar fakultas teknik dan ilmiah asal RRT yang studi di AS, khususnya profesional yang terkait dengan program 2025, pelajar berprestasi dari Tsinghua University dan Beijing University pun tidak diberi visa, sekarang mereka hanya bisa menempuh studi di Eropa.
Menilik hingga ke akarnya, pola pikir mendasar “Made in China 2025” adalah menuntut cepat jadi, berharap mencapai negara industri kuat dengan jalan pintas yang kilat, impian seperti ini jelas terlalu optimis.
Inti dari “Made in China 2025” adalah inovasi teknologi, ini harus ditopang oleh riset dasar yang sangat mendalam, namun hal ini sekaligus merupakan kelemahan terbesar RRT.
Walaupun PKT terus menekankan riset dasar sangat penting bagi RRT untuk mencapai negara industri kuat, namun porsi anggaran untuk riset dasar di RRT sangat rendah dibandingkan riset keseluruhan.
Menurut penjelasan akademisi Taiwan Lu Junwei, sejak dikeluarkannya “Made in China 2025” di tahun 2015, anggaran itu selalu bertahan di angka 5% (dari tahun 2015 hingga 2017 masing-masing adalah 5,1%, 5,2% dan 5,3%).
Angka ini hanya sekitar ¼ sampai 1/3 dari negara maju seperti Amerika (di tahun 2015 di AS 16,9%), bahkan lebih rendah daripada di RRT sendiri selama 2001 hingga 2005 (sekitar 5,33%~5,96%).
Jika mengamati rasio anggaran riset dasar terhadap PDB setiap negara, di tahun 2016 dan 2017 adalah sekitar 0,11% atau masih mendekati angka 0,1% di tahun 2015, ketertinggalannya dibandingkan negara industri besar atau industri kuat hampir tidak berubah.
Walaupun anggaran keseluruhan investasi R & D di RRT bertumbuh pesat belakangan ini, namun proporsi anggaran riset dasar tidak begitu banyak meningkat maka bisa dilihat titik berat riset seluruh negeri ini masih pada pengembangan aplikasi dan teknik.
Kebijakan R & D negara seperti ini sebenarnya hanya terus mengukuhkan posisi sebagai “negara industri besar”, dan bukan melangkah menuju “negara industri kuat”. (SUD/WHS/asr)
Sumber : EpochWeekly