Iswahyudi
“Ketangkap satu tumbuh seribu.” Itu mungkin ungkapan yang tepat menggambarkan gurita korupsi di Indonesia. Koruptor tak pernah habis. Dulu orang mencuri secara sembunyi-sembunyi, sekarang trennya mencuri secara bersama-sama. Tiga Pilar kekuasaan Montessque (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) tidak luput dari “hama” dan “tikus” korupsi. Tidak ada lembaga negara yang steril dari kasus korupsi.
“KPK bisa melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) tiap hari, jika jumlah personelnya cukup.” Ungkap Ketua KPK Agus Raharjo, pada diskusi Publik Review Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) (7/2018). “Para pejabat bisa habis ditangkap KPK jika tidak ada perbaikan”.
Data Tindak Pidana Korupsi Menurut Profesi 2004-2018 yang dirilis KPK baru-baru ini membuka mata publik bahwa budaya korupsi alias kleptomania merambah di berbagai profesi tak pandang bulu.
Ranking tertinggi “diraih” oleh lembaga legislative /DPR-DPRD dengan 247 orang, Swasta 199, lainnya 109, bupati/wakil bupati 101, Pimpinan lembaga dan kementerian 26, hakim 22, gubernur 20, komisioner 7, jaksa 7, duta besar 4, korporasi 5, dan polisi 2. Dan dipastikan akan terus bertambah di tahun-tahun mendatang, apalagi KPK membuka layanan call center 198 yang memberi ruang bagi masyarakat untuk melaporkan tindak pidana korupsi yang mereka temukan.
Posisi puncak yang menjadi sarang koruptor ditempati oleh lembaga legislatif yaitu DPR dan DPRD. Ini disebabkan karena high cost democracy yang terjadi di Indonesia. Money politik dalam kontestasi demokrasi di Indonesia dianggap sebagai hal yang jamak. Jual beli suara sudah dianggap kunci untuk memenangkan kontestasi.
Bahkan tokoh masyarakat setingkat ketua RT pun ketika didatangi oleh para caleg yang menawarkan money politik menawarkan semacam lelang, mana yang memberi uang paling banyak yang akan dicoblos. Peneliti Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan hasil risetnya bahwa sepertiga pemilih Indonesia (sekitar 62 juta orang) terima suap saat pemilu. Muncul istilah pleseten “NPWP” (Nomer Piro Wani Piro) dan “Golput” (Golongan Penerima Uang Tunai).
Praktik-praktik money politik inilah yang membuat biaya demokrasi mahal, kualitas demokrasi menurun, integritas pejabat terpilih menjadi buruk, dan budaya korupsi semakin menggurita. Para koruptor akan membentuk kaukus melawan komisi anti rasuah (KPK).
Pada saat itu tugas membrantas korupsi dari KPK beserta kaukus anti korupsi akan menjadi mission impossible. Bila sebagian besar pejabat terlibat dan terlibat korupsi maka pemberantasan korupsi yang digaungkan hanya sekedar drama, tebang pilih, “tajam ke lawan politik, tumpul ke teman sendiri”. Dan menghabisi budaya korupsi dan koruptor hanya sekedar propaganda dan sinetron yang berjilid-jilid. Pemberantasan korupsi hanya mengenai kelas teri. Mega korupsi yang merampok dana negara super jumbo tak akan terungkap. Karena semua punya kartu untuk saling mengunci. Semua punya dosa. BLBI, Bank Century, dan kasus-kasus mega korupsi lainnya hanya jadi dongeng sebelum tidur. Sang dalang bebas melengang. Dan virus korupsi akan menginfeksi seluruh tubuh kebangsaan Indonesia. Tanpa terasa “mutasi genetik” pada karakter orang Indonesia terjadi, “DNA kleptomania” menginfeksi seluruh elemen bangsa.
Perlawanan terhadap korupsi sudah dimulai sejak tumbangnya Orde Baru 1998, mengamati data Transparansi Internasional tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) mulai 2002-2018 menunjukkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya mengalami kemajuan.
Terbukti skor IPK terus meningkat. Pada tahun 2002 skor Indonesia di posisi 19 dan tahun 2018 di posisi 38. Namun sialnya Indonesia belum menyentuh skor di atas 50. Skor di bawah 50 masuk dalam zona negara yang terpapar berat korupsi. Ini menunjukkan model dan upaya pemberantasan korupsi belum dikatakan memuaskan. Perlu terobosan extraordinary untuk membuat perubahan yang besar dan mendasar. IPK yang dirilis oleh transparansi intenasional menggunakan skor 0 sampai 100, dimana 0 sangat korup dan 100 sangat bersih.
Pelajaran Berharga dari Rilis IPK 2018 oleh Transparancy International
Awal tahun ini Transparansi Internasional merilis laporan Indeks Persepsi Korupsi 2018. Laporan ini kalau dicermati dengan teliti bisa mengilhamkan banyak hal.
Pertama, Pada level Global kejahatan korupsi adalah masalah bersama dunia saat ini. Lebih dari dua pertiga negara di dunia mempunyai skor IPK di bawah 50 dengan rata-rata skor 43. Patricia Moreira, Managing Director Transparency International mengungkapkan bahwa korupsi merusak demokrasi dan melahirkan lingkaran setan korupsi. Negara-negara yang skornya di bawah 50 kebanyakan punya masalah dengan demokrasi, kalaupun ada demokrasinya patut dipertanyakan.
Skor terbaik diraih oleh Denmark, New Zealand, Finlandia, Singapura, Swedia dan Swiss, dengan skor antara 88 sd 85. Sementara skor terburuk menimpa Korea Utara, Yaman, Sudan Selatan, Suriah dan Somalia, dengan skor 14 sampai 10. Bila seluruh didunia dipetakan dan diberi warna, skor diatas 50 di kasih warna kuning dan skor di bawah 50 di beri warna merah, maka secara visual dunia sekarang ini cenderung memerah yang berarti mempunyai masalah korupsi yang berarti mempunyai masalah dengan demokrasi.
Economist Inteligent Unit membuat 4 kategori kualitas demokrasi negara-negara di dunia berdasarkan skor IPK tahun 2018 yaitu Full democracy dengan rerata skor 75, Flawed Democracy (demokrasi cacat) dengan rata-rata skor 49, Hybrid Regime dengan skor rata-rata 34, dan Autocratic Ragime.
Kedua, Posisi Indonesia berada pada zona merah, skor pada IPK 2018 Indonesia berada di skor 38. Walaupun ada tren kenaikan dari tahun ke tahun, tapi belum keluar dari zona merah. Ini menunjukkan bahwa kualitas demokrasi Indonesia belum sehat dan cenderung memburuk. Demokrasi berbiaya tinggi yang melahirkan lingkaran setan korupsi yang semakin menggurita. Seharusnya ini memicu bangsa Indonesai untuk melakukan terobosan tak biasa, revolusioner dan sampai ke akarnya (radikal).
Ketiga, Dengan adanya laporan IPK ini Indonesia bisa melakukan benchmark kepada negara yang skornya tinggi dan pantas dicontoh. Dengan mengguritanya praktik korupsi di Indonesia, banyak tokoh negeri ini karena begitu mengebu-gebunya memberantas korupsi sampai salah memilih model atau panutan. Semisal tidak sedikit tokoh Indonesia yang meniru Tiongkok dalam memberantas korupsi dengan mengutip slogan salah satu Perdana Menteri Tiongkok Zhu Rongji (1998-2003) “Siapkan aku 100 peti mati, 99 peti mati untuk para koruptor dan satu peti mati buat diri saya sendiri”. Padahal kalau kita lihat IPK RRT di posisi 39 terpaut satu skor dengan Indonesia. Artinya RRT pun belum selesai dengan dirinya sendiri. Masih menghadapi lingkaran setan korupsi. Yang ada hanyalah “Tajam ke lawan politik, tumpul ke golongan sendiri dan diri sendiri”. Mencontoh negara-negara yang IPK-nya tinggi seperti the best five barulah keputusan yang waras. Jangan hanya termakan propaganda kosong dari rejim hybrid dan autokratik.
Ratu Shima Way: Sebuah Solusi
Segala upaya untuk memutus mata rantai budaya korupsi sudah banyak dilakukan oleh KPK dan segenap elemen bangsa yang peduli, mulai cara yuridis formal dengan banyak melakukan OTT, maupun upaya yang bersifat kebudayaan dan edukasi sejak dini. Rupanya budaya korupsi itu terbentuk lewat waktu yang panjang dan menyejarah, bahkan sebelum bangsa Indonesia itu lahir.
Budaya korupsi bagaikan es di kutub yang sangat tebal, panas sehari tidak akan bisa mencairkan salju dalam semalam. Budaya korupsi sudah menjadi bawaan orok alias genetik. Mutasi genetik menuju “gen anti korupsi“ butuh “radiasi nuklir” yang sangat kuat.
Segala resep dari manca negara untuk memutasi gen korupsi sudah dilakukan, namun budaya korupsi kian marak. Ibarat virus penyakit yang sudah resisten terhadap segala macam bentuk anti-biotik. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah benar-benar sudah tidak ada solusi?
Pasti ada jalan, walaupun sangat sempit. Kalau budaya korupsi memang genetik alias turunan leluhur yang karena melakukan dosa kolektif secara terus-menerus sehingga terekam dalam setiap sel bangsa ini dari waktu ke waktu sehingga membentuk semacam kutukan atau medan substansi buruk yang sangat kuat sehingga susah terbebas darinya.
Maka dari itu perlu melihat Genealogi (silsilah genetika bangsa ini) agar menelusuri sejak kapan terbentuk gen yang buruk dan menemukan genetika leluhur yang unggul yang kemudian disemaikan (dikultivasikan) dalam relung hati, pikiran dan jiwa bangsa ini lewat pendidikan, keteladanan dan bukti nyata dalam jangka panjang dan terus-menerus dengan intensitas yang tinggi.
Dalam lembaran sejarah bangsa di nusantara banyak ditemukan karakter-karakter yang ungul dalam diri para raja, ratu, resi suci dan panglima yang gagah berani. Untuk anti korupsi ini sebenarnya leluhur bangsa Indonesia/nusantara mempunyai gen yang unggul untuk anti-korupsi ini.
Adalah ratu Shima istri Raja Kalingga Kartikeyasinga, yang karena Sang Raja wafat, maka Ratu Shima naik tahta Kalingga (674-695 M), karena kedua putranya sebagai penerus kerajaan masih belia. Sang Ratu bukanlah keturunan raja melainkan putri seorang pendeta di wilayah Sriwijaya.
Sebagai seorang ibu dari dua penerusnya, naik tahtanya sebagai seorang ratu diduga memberikan pengajaran, contoh tauladan dan pondasi pemerintahan yang kuat demi keberhasilan penerusnya di masa mendatang. Keadilan, kejujuran dan toleransi menjadi karakter utama dari Ratu Shima dan itu menjadi jalan dan kebijaksanaan dalam menjalankan pemerintahannya.
Sehingga reputasi kerajaan Kalingga terkenal di Nusantara dan negeri seberang dengan keadilan ratunya, kejujuran penduduknya, rasa aman dan toleransi antar keyakinan yang berbeda.
Reputasi keadilan Ratu Shima, menurut catatan Pendeta I-Tsing dari negeri Tiongkok, membuat seorang raja dari negeri seberang bernama Ta-Shih melakukan pembuktian untuk menguji kejujuran penduduknya dan keadilan ratunya.
Alkisah, ditaruhnya pundi-pundi emas di perbatasan kerajaan. Dalam kurun waktu 3 tahun tidak ada yang mengambil. Suatu hari tanpa disengaja kaki Putra Mahkota Pangeran Narayana tanpa sengaja menyentuh pundi-pundi emas. Sang Ratu murka, dan berencana menghukum mati putranya, namun dicegah para menterinya agar Sang Pangeran dihukum potong jempol kakinya.
Integritas tanpa kompromi dari sang ratu inilah yang mentahbiskannya sebagai Dewi Keadilan Nusantara. Demi tegaknya nilai keadilan, kejujuran dan anti korupsi di masa mendatang, bila perlu mengorbankan orang terdekat dan penerus tahta pun harus ditempuh. Mengorbankan perasaan kasih sayang seorang ibu terhadap putranya demi visi yang lebih besar di masa mendatang.
Pengorbanan Sang Ratu membawa kebajikan besar di masa mendatang kepada penerusnya. Dari cicitnya terlahirlah Rakai Panakaran yang melahirkan raja-raja besar di tanah Nusantara. Jalan keadilan yang ditempuh Ratu Shima menghantarkan dia sebagai “ibu para raja Jawa”
Di tengah lingkaran setan korupsi yang melanda Indonesia, spirit keadilan dan kejujuran tanpa kompromi Ratu Shima, bisa mengetuk para pemimpin negeri melakukan pengorbanan besar seperti jalan yang ditempuh oleh ratu keadilan ini.
Memberantas korupsi tanpa pandang bulu, tidak tebang pilih, bukan hanya untuk dicitrakan bersih atau demi elektabilitas, tapi demi pondasi moralitas bangsa di masa mendatang. Pengorbanan besar yang akan melumerkan dan memutasikan gen kleptokrasi menjadi gen anti korupsi dan kejujuran.
Membangun tembok besar keadilan, jalan tol kejujuran dan bendungan toleransi adalah jalan satu-satunya terhindar dari kepunahan. Ratu Shima, semoga roh keadilan dan kejujuranmu terlahir kembali di bumi nusantara ini. (Isw/WHS)