Epochtimes.id– Beberapa tahun yang lalu, pemerintah Ekuador mengirim sekelompok orang dengan pesawat mengunjungi suku Waorani di hutan hujan Amazon di provinsi Pastaza. Orang-orang tersebut ingin bernegosiasi dengan suku Waorani. Mereka melakukan beberapa percakapan dan juga merekam serta pergi dengan tergesa-gesa setelah beberapa jam tinggal disana.
Namun, orang-orang Waorani itu pada dasarnya tidak mengetahui tujuan orang-orang itu kesana dan juga tidak menyadari bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi ketika mereka bertukar pendapat: mereka baru saja menandatangani dokumen yang menyatakan penyerahan tanah mereka. Kisah ini terdengar mengerikan, ternyata akhirnya memiliki happy ending.
Setelah orang-orang Waorani itu memahami apa yang terjadi, mereka tidak tinggal diam dan pasrah pada nasib, melainkan melangkah maju serta mengajukan gugatan terhadap tindakan penipuan oleh pemerintah.
Pada bulan April tahun ini, suku tersebut menuntut pemerintah dan perusahaan minyak raksasa dan telah memenangkan tuntutan hukum tersebut. Kemenangan ini telah menjadi preseden yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk hak-hak tanah suku asli di daerah aliran sungai Amazon.
Orang-orang Waorani adalah orang-orang yang tinggal di hutan hujan Amazon selama beberapa generasi, disitulah kampung halaman mereka. Tetapi ketika perusahaan minyak internasional besar ingin mengeksploitasi minyak bawah tanah di wilayah itu, hak-hak mereka terancam yang diikuti oleh perselisihan hukum jangka panjang.
Pada bulan April tahun ini, Kolegial Tribunal yang terdiri dari 3 orang hakim dari Pengadilan Provinsi Pastaza memutuskan bahwa orang-orang Waorani telah memenangkan kasus gugatan ini dan membatalkan proses konsultasi yang diprakarsai oleh pemerintah Ekuador pada tahun 2012, yang pada gilirannya telah membatalkan transaksi penjualan tanah tersebut.
Suku ini menuduh pemerintah terlibat dalam penipuan, dan mereka melangkahi batas limit yang mereka tetapkan sendiri, secara berat sebelah mendukung perusahaan minyak dan melanggar hak-hak hukum penghuni di daerah itu.
Bahkan sejumlah orang percaya bahwa (walaupun tidak dilampiri bukti) oknum pejabat pemerintah telah menerima suap secara pribadi, dan tindakan korup pemerintahan telah memainkan peran penting dalam transaksi ini.
Hakim memerintahkan pemerintah untuk bernegosiasi ulang dan sebelum menjual transaksi apa pun yang terkait dengan eksploitasi sumber daya bawah tanah ini, hendaknya menerapkan standar yang ditetapkan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika.
Ini berarti bahwa semua tindakan eksploitasi harus mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi pada lingkungan dan budaya suku.
Preseden hukum semacam itu tidak hanya sangat penting bagi masyarakat adat lainnya di hutan hujan Ekuador, bahkan juga teramat penting bagi suku-suku di luar Ekuador.
Putusan ini tidak hanya melindungi hak penambangan atau pengeboran dari tanah seluas 2.000 Km² (200.000 hektar) yang dihuni oleh orang-orang Waorani secara turun temurun, tetapi juga telah memblokir 16 daerah penghasil minyak lainnya, dengan luas tanah total 28.000 Km² kemungkinan mengalami potensi krisis dalam prosedur pelelangan.
Putusan ini menggemakan hak konstitusi Ekuador untuk menjamin tanah leluhur masyarakat adat dari perampasan, penyitaan dan pencaplokan, bersamaan itu juga telah menjamin hak mereka untuk memperoleh putusan independensi dari pengadilan.
“Pemerintah berusaha menjual tanah kami kepada perusahaan minyak tanpa seizin dari kami. Hutan hujan tropis adalah jiwa/kehidupan kami”, kata Nemonte Nenquimo, sebagai penggugat dan ketua “Organisasi Waorani di Provinsi Pastaza.
“Kami berhak sepenuhnya atas tanah milik kami. Kami selamanya tidak akan pernah menjual hutan hujan kami kepada perusahaan-perusahaan minyak. Hari ini, pengadilan mengakui hak-hak kepemilikan suku Waorani dan semua masyarakat adat atas tanah mereka yang harus dihormati. Kepentingan pemerintah atas minyak, tidak lebih berharga dari hak, hutan dan kehidupan kami,” katanya. (HUI/WHS/asr)
Pada April 2019, suku Waorani bersuka-ria di Sungai Kuraray pasca memenangi gugatan terhadap perusahaan minyak yang hendak mengangkangi hutan hujan mereka. (RODRIGO BUENDIA / AFP / Getty Images)