Tang Hao
Komunis Tiongkok secara tak terduga mengumumkan pada 17 Juni bahwa pemimpin Tiongkok Xi Jinping pergi ke Korea Utara pada 20 Juni. Kunjungan kenegaraan ini adalah yang pertama ke Korea Utara bagi seorang kepala negara Tiongkok dalam waktu 14 tahun.
Pertanyaannya adalah, ada apa di balik kunjungan berprofil tinggi ke Korea Utara yang terjadi dengan sangat terburu-buru?
Mengalihkan Perhatian Dari Hong Kong
Kunjungan itu sehari setelah parade besar kedua Hong Kong, ketika Beijing membuat pengumuman ini. Setelah aksi protes 12 Juni menentang RUU ekstradisi yang kontroversial dan ditindas secara brutal oleh polisi Hong Kong, hampir 2 juta orang Hong Kong kembali turun ke jalan-jalan pada 16 Juni. Aksi ini menecahkan rekor kehadiran pada gerakan massa Hong Kong dan menarik perhatian masyarakat dunia.
Banyak negara mengutuk Komunis Tiongkok karena mencoba melanggar kebebasan dan hak asasi manusia di Hong Kong. Para pemimpin penting Komunis Tiongkok sangat meremehkan keberanian dan kemarahan rakyat Hong Kong. Kehadiran massa secara besar-besaran yang tidak terduga di Hong Kong menjadi memalukan untuk ditangani oleh Komunis Tiongkok.
Mereka harus dengan cepat mengerem penumpasan, dan mencoba memisahkan diri dari para pemimpin Hong Kong.
Pengumuman kunjungan Xi ke Korea Utara tidak diragukan lagi dimaksudkan untuk mengalihkan fokus perhatian publik, baik di dalam maupun luar negeri, dari apa yang terjadi di Hong Kong.
Korea Utara sebagai Bargaining
Jika semuanya berjalan seperti yang diharapkan, Presiden AS Donald Trump dan Xi Jinping akan bertemu selama KTT G-20 di Osaka, Jepang, menjelang akhir Juni. Pertemuan ini akan memiliki dampak besar pada masa depan perang dagang AS-Tiongkok dan perang teknologi.
Beijing telah sering berpidato keras melalui corong dan pejabat Komunis Tiongkok, untuk menunjukkan kekuatannya dan mengumpulkan tawaran sebagai persiapan untuk pertemuan mendatang dengan Trump, seorang ahli yang dikenal dalam negosiasi. Tanpa diduga, protes besar dan demonstrasi di Hong Kong pecah. Di tengah kecaman internasional atas penggunaan kekuatan polisi untuk membubarkan pengunjuk rasa pada 12 Juni, Komunis Tiongkok menghadapi pergolakan lain dengan Amerika Serikat — AS.
Para pejabat mengkritik hak asasi manusia Tiongkok dan mengumumkan rencana untuk menjatuhkan sanksi keuangan. Anggota parlemen AS mengusulkan undang-undang yang akan mencabut status ekonomi dan perdagangan khusus Hong Kong jika kota tersebut dianggap tidak cukup otonom dari daratan Tiongkok.
Kelompok-kelompok istimewa dan pejabat korup di internal Komunis Tiongkok ketakutan dan sangat khawatir. Akibatnya, Komunis Tiongkok kehilangan kepercayaa dirinya dalam mengelola pembicaraan perdagangan dengan sukses.
Komunis Tiongkok kembali memainkan kartu Korea Utara, berusaha memanfaatkan ancaman dari senjata nuklir Korea Utara untuk meningkatkan posisi Komunis Tiongkok sebagai pemain penting dalam tatanan internasional dan meningkatkan pengaruhnya dalam negosiasi perdagangan mendatang.
Meskipun skema basi ini berhasil menipu dan menyesatkan mantan pemerintahan AS, ia tidak akan membodohi Trump, yang telah lama menyadari bagian Beijing dalam “pembicaraan enam pihak” yang gagal berupaya mengakhiri program nuklir Korea Utara.
Trump belum jatuh cinta pada pola rezim Komunis Tiongkok sejak ia menjabat pada Januari 2017.
Menggunakan trik lama ini tidak hanya menunjukkan bahwa Komunis Tiongkok kehabisan strategi untuk menghadapi berbagai krisis, tetapi juga mengungkapkan bahwa Komunis Tiongkok tidak memiliki ketulusan atau niat baik yang diperlukan untuk mencapai kesepakatan dalam pembicaraan perdagangan dengan Amerika Serikat.
Otoritas Komunis Tiongkok berusaha bertahan, berharap bahwa pemilihan presiden AS tahun depan akan membawa perubahan yang menguntungkan.
Mengunjungi Iran untuk Mengalihkan Perhatian
Meskipun demikian, Komunis Tiongkok dapat menyadari bahwa drama “Tiongkok dan Korea Utara” mungkin tidak menipu Amerika Serikat, jadi itu membawa Iran untuk membantu.
Selama bertahun-tahun, Komunis Tiongkok telah memberi rezim Iran sejumlah besar senjata dan teknologi militer. Iran telah menjadi rezim jahat lain yang mengancam seluruh Timur Tengah dan agen utama Komunis Tiongkok di Timur Tengah dan Asia Selatan.
Selain itu, Iran adalah pusat utama prakarsa “One Belt, One Road” atau OBOR sebuah strategi ambisius bagi Komunis Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya di komunitas internasional.
Pada hari yang sama Komunis Tiongkok mengumumkan kunjungan Xi ke Korea Utara, Iran mengumumkan bahwa dalam 10 hari ke depan itu akan melanggar batasan pengayaan uranium yang diberlakukan oleh Joint Comprehensive Plan of Action -JCPOA – dan akan mempercepat produksi pengayaan uranium. Dengan kata lain, mirip dengan Korea Utara, Iran juga menggunakan “mempercepat pengembangan senjata nuklir” untuk mengancam negara-negara Eropa dan Amerika.
Ada tiga alasan mengapa Iran memilih untuk melakukan ini saat ini.
Pertama, Komunis Tiongkok berharap bahwa kekacauan di Timur Tengah akan berfungsi untuk meringankan krisisnya sendiri. Komunis Tiongkok telah dihantam keras oleh perang dagang AS-Tiongkok dan protes besar Hong Kong. Bukan dalam posisi untuk menghadapi Amerika Serikat saja. Oleh karena itu, Iran telah menciptakan medan perang baru di Timur Tengah, dan menimbulkan ancaman kekacauan untuk mengalihkan “serangan” AS ke Beijing ke Timur Tengah. Ini juga membantu Komunis Tiongkok mendapatkan lebih banyak pengaruh dalam pembicaraan G-20.
Kedua, Menekan Uni Eropa dan Menabur Perselisihan Antara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Iran sangat menyadari bahwa ancaman tidak dapat mempengaruhi sikap tegas pemerintahan Trump. Oleh karena itu, Iran secara khusus menargetkan negara-negara Eropa dengan intimidasi dan menuntut agar mereka memulihkan manfaat ekonomi Iran sesegera mungkin atau akan mempercepat pengembangan senjata nuklir, yang mengancam Timur Tengah dan Eropa. Komunis Tiongkok dan Iran memahami bahwa Uni Eropa tidak sekuat Amerika Serikat. Selain itu, langkah Iran juga berupaya menabur perselisihan antara Uni Eropa dan Amerika Serikat, dan akhirnya memisahkan hubungan sekutu yang mereka miliki.
Ketiga, Intimidasi dan Pemerasan Uni Eropa untuk Pertumbuhan Ekonomi Iran.
Ekonomi Iran telah sangat menderita sebagai akibat dari sanksi ekonomi dan embargo minyak yang diberlakukan oleh Amerika Serikat. Iran memutuskan untuk meniru Korea Utara dan menggunakan kartu “senjata nuklir”.
Selain mendukung Komunis Tiongkok, Iran tampaknya menggunakan kesempatan untuk memulihkan perkembangan ekonominya dengan mengintimidasi negara-negara Eropa.
Iran Dapat Mengalami Kekalahan Serius
Setelah dua juta warga menentang upaya Komunis Tiongkok untuk mengikis kebebasan Hong Kong, alih-alih meminta maaf kepada warga Hong Kong, Komunis Tiongkok memimpin dua saudara lelakinya, Korea Utara dan Iran, untuk mengancam membangun persenjataan senjata nuklir mereka. Sungguh pertaruhan yang berbahaya.
Perhitungan Komunis Tiongkok bisa jadi salah penilaian lain; terlebih lagi, Iran mungkin akan dikalahkan pada akhirnya. Trump telah lama menyatakan bahwa Iran adalah musuh utama dunia beradab, dan telah mengambil tindakan untuk membatasi pertumbuhan ekonominya.
Tetap saja, Komunis Tiongkok meminta bantuan Iran, yang tidak diragukan lagi telah menempatkan Iran dalam situasi yang sangat berbahaya. Jika, dalam waktu dekat, ada konflik militer antara Amerika Serikat dan Iran, di bawah strategi garis keras Trump dan Bolton, Iran kemungkinan akan menghadapi perubahan mendasar dalam kekuatan politik.
Dampaknya pada Komunis Tiongkok
Jika Komunis Tiongkok hanya berharap untuk bernegosiasi dan tidak berencana untuk mencapai kesepakatan perdagangan sama sekali, maka harus menghadapi 300 miliar dolar AS tambahan tarif untuk barang-barang Tiongkok, yang akan menjadi beban bagi bisnis Tiongkok dan orang-orang Tiongkok.
Selain itu, perang teknologi yang meningkat, sanksi keuangan, dan bahkan perang mata uang dapat terjadi satu demi satu. Pada saat itu, situasi di Beijing akan semakin parah dan menyeret orang-orang  Tiongkok dan ekonomi ke posisi yang lebih sulit. (asr)
Presiden Donald Trump dan pemimpin Tiongkok Xi Jinping berjabat tangan sebelum pertemuan di sela-sela KTT G20 di Hamburg, Jerman, pada 8 Juli 2017. (Saul Loeb / AFP / Getty Images)