He Qinglian
Pada 11 Oktober 2019 lalu, Amerika Serikat dengan Tiongkok mengumumkan telah mencapai “kesepakatan tahap pertama yang realistis”, akan menyelesaikan masalah hak kekayaan intelektual dan layanan finansial.
Dari pihak Beijing menyatakan akan membeli produk pertanian Amerika Serikat senilai USD 40 hingga 50 milyar atau 708 triliun rupiah, dengan syarat bagi Washington adalah menghentikan sementara kenaikan tarif.
Walaupun Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan, masih akan melangsungkan lebih banyak perundingan. Namun bagi pihak Amerika Serikat dan Tiongkok, kesepakatan tahap pertama itu sangat membantu meredakan kesulitan.
Berikut berita selengkapnya.
Dilihat dari sikap Trump, kesepakatan itu membantunya menstabilkan lumbung suara dari negara bagian yang mayoritasnya adalah petani. Sesegera mungkin menarik diri dari perang dagang, kesepakatan bersifat bertahap itu akan semakin menguntungkan.
Sedangkan bagi Beijing, ajang “pengorbanan” itu sepertinya hanya melukai diri sendiri. Lalu, apa yang menyebabkan Beijing bersedia menandatangani kesepakatan bertahap itu?
Tiongkok memang sedang menghadapi berbagai masalah. Yang terlihat jelas oleh dunia adalah aksi anti-ekstradisi di Hongkong masih terus berlanjut. Walaupun Beijing telah memberikan tekanan memaksa empat keluarga taipan properti Hong Kong menyerahkan sebagian lahannya, namun aksi unjuk rasa secepat kilat di jalanan oleh kaum pemberani masih terus berlangsung,
Kongres Amerika Serikat meloloskan “Resolusi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia – HAM untuk Hong Kong” yang tengah dalam persiapan diluncurkan. Setelah Beijing menyetujui untuk menandatangani kesepakatan bertahap itu, terlontar pernyataan dari penguasa Gedung Putih bahwa “masalah Hong Kong akan selesai dengan sendirinya” (take care of itself).
Pernyataan itu diinterpretasikan bahwa untuk sementara Amerika Serikat tidak akan mengintervensi “urusan dalam negeri Hong Kong” dari Tiongkok. Untuk sementara Beijing telah berhasil menyingkirkan tekanan luar negeri atas masalah Hong Kong.
Bertambah besarnya tekanan ekonomi dalam negeri Tiongkok, berasal dari beberapa aspek:
Pertama. Wabah flu babi Afrika yang melanda Tiongkok saat ini, adalah akibat kebijakan embargo daging babi dari Amerika Serikat dan strategi melemahkan kacang kedelai produk pertanian yang merupakan lumbung suara bagi Trump. Akibatnya justru telah berubah menjadi tragedi yang melukai diri sendiri. Hal itu berdampak serius terhadap kepercayaan warga Tiongkok terhadap cara pemerintah merespon masalah.
Kedua. Investasi asing terus hengkang dari Tiongkok, restrukturisasi rantai industri seluruh dunia menjadi tren yang tak terelakkan.
Ketiga. Merosotnya ekonomi Tiongkok telah mutlak terjadi. Biro Statistik Nasional Tiongkok baru-baru ini merilis data statistik teranyar yang menunjukkan, dari Januari hingga Agustus tahun ini, di seluruh negeri rasio profit perusahaan industri di atas skala telah turun 1,7%. Hanya pada bulan Agustus 2019 saja rasio profit industri di atas skala telah turun 2%.
Keuntungan atau profit perusahaan industri di wilayah ekonomi makmur Tiongkok merosot drastic. Di Beijing telah turun 14,4%; di Hebei turun 11,2%; di Shandong telah turun 13%, dan sebagai pusat finansial, dagang dan pusat logistik Tiongkok, Shanghai telah turun 19,6%.
Pada September 2019 lalu indeks PMI (Purchase Management Index) hanya 49,8% (di bawah batas aman. Kedua kumpulan data itu telah menunjukkan bahwa perekonomian Tiongkok tengah terperosok ke dalam kemerosotan besar yang belum pernah terjadi selama 30 tahun terakhir.
Dengan berbagai faktor di atas, telah diperkirakan dalam “pukulan pengorbanan” yang dilakukan Beijing untuk mengulur waktu menantikan perubahan.
Faktor krusial yang mendorong Beijing mengubah pendiriannya adalah perubahan politik di dalam negeri Amerika. Beijing melihat harapan mengulur waktu menantikan perubahan itu tengah pupus.
Produk Turunan “Phone Gate” Ukraina: Rumor Keluarga Biden Memanas
Bintang baru maupun senior dari Partai Demokrat Amerika Serikat yang mencalonkan diri mencapai lebih dari 20 orang. Akan tapi yang pada akhirnya mencapai peringkat tiga besar adalah Joe Biden, Elizabeth Warren dan Bernie Sanders.
Baik Warren maupun Sanders berinisiatif mengenakan pajak tinggi terhadap orang kaya. Itu sebabnya para pemilik uang di Wall Street yang selama ini mendukung Partai Demokrat ramai-ramai menyatakan, jika kedua orang itu menjadi capres, mereka tidak akan mendukung Partai Demokrat lagi.
Ditinggalkan oleh para pemilik uang, bagi Partai Demokrat bukan pukulan paling keras, yang paling serius adalah digerogoti dari dalam. Para calon pada dasarnya adalah kaum radikal ekstrim kiri, hak penentuan capres pada Perwakilan Khusus Partai Demokrat telah dibatalkan oleh Rapat Besar Perwakilan Nasional Partai Demokrat Chicago pada 2018. Kaum pendiri tidak mampu lagi mengendalikan kaum radikal. Calon dari kaum radikal ditakdirkan akan kehilangan warga pemilih tengah (median voter).
Situasi itu membuat kaum pendiri Partai Demokrat terpaksa harus menumpukan harapan kemenangan Pilpres 2020 pada Biden yang memiliki daya tarik tertentu bagi warga tengah (median tengah) itu.
Karena pertimbangan di atas, Partai Demokrat mengerahkan berbagai cara mengalahkan Trump, berharap ia akan kehilangan kualifikasi pencalonan dirinya pada Pilpres 2020 mendatang. Setelah gagal memakzulkan Trump dengan “Russia Gate” Robert Mueller, kembali dilakukan pemakzulan dengan kasus “Phone Gate” Ukraina. Dasarnya adalah seorang pejabat intelijen yang tidak ingin diungkap identitasnya mengatakan, mereka menyadap dialog Trump dengan Presiden Ukraina Zelensky.
Dalam pembicaraan telepon itu, Trump sendiri memanfaaatkan bantuan militer sebagai kartu kunci, yakni menuntut agar Zelensky mengerahkan badan intelijen dan mata-mata Ukraina, menyelidiki tindakan ilegal Hunter Biden putra capres dari Partai Demokrat Joe Biden.
Kasus pemakzulan “Russia Gate” kali ini berbeda dengan investigasi Mueller, bahkan Nancy Pelosi saat diwawancara oleh media massa juga menyatakan, hasilnya mungkin ada dua macam.
Pertama, jika ada bukti yang kuat, Trump akan dimakzulkan dengan berbagai tuduhan berat antara lain mengkhianati negaranya, sehingga akan mengakhiri lebih awal karirnya sebagai presiden.
Kedua, jika bukti tidak cukup kuat, sebaliknya akan membantu Trump terpilih kembali.
Tapi pemakzulan itu seyogyanya memang ditujukan sebagai perang opini, sasarannya adalah membentuk pergelutan politik yang tidak menguntungkan bagi Trump. Pada awal terungkapnya “Russia Gate”, memang menimbulkan dampak yang signifikan. Riset terbaru oleh Reuters dan Ipsos menunjukkan, seiring akan semakin banyaknya informasi dalam yang terus terungkap seiring kasus “Russia Gate”, warga Amerika Serikat yang diwawancarai yang merasa Presiden Trump seharusnya dimakzulkan semakin banyak.
Survei itu digelar antara tanggal 26 hingga 30 September 2019. Sebanyak 45% warga dewasa Amerika Serikat percaya Trump “harus dimakzulkan”. Angka itu, naik sebesar 8% dibandingkan minggu sebelumnya yakni 37%, melebihi kelompok masyarakat yang merasa tidak harus dimakzulkan sebesar 41%. Bahkan warga pemilih Partai Republik pun sebanyak 13% mendukung agar Trump dimakzulkan, atau naik 3% dibandingkan minggu sebelumnya.
Tapi sebuah dialog terbuka oleh Jaksa Agung Ukraina pada 4 Oktober 2019, telah menyebabkan terjadi perubahan drastis 180 derajat terhadap situasi itu. Pada hari itu, Jaksa Agung Ukraina yakni Ruslan Ryaboshapka secara terbuka mengungkap kepada media massa dalam suatu konferensi pers, bahwa putra Joe Biden yakni Hunter Biden mungkin terlibat setidaknya dalam 15 kasus pidana pembunuhan yang melibatkan perusahaan gas alam Ukraina yakni Burisma. Angka itu bahkan bukan angka final, karena investigasi masih terus berlanjut.
Walaupun beberapa media massa arus utama Amerika Serikat yang pro pada Partai Demokrat sementara belum memuat berita itu, namun berita oleh Sputnik Radio Network ini justru telah mematahkan niat Tiongkok. Paham jalan Biden ke Gedung Putih telah terputus, karena walau seorang warga Amerika Serikat membenci Trump sekalipun, mungkin juga tak akan bisa menerima seseorang yang melindungi tindakan kriminal putranya menjadi presiden.
“Strategi kacang kedelai” Tiongkok dalam perang dagang Amerika Serikat dengan Tiongkok untuk menyerang lumbung suara Trump dalam pilpres, serta strategi “mengulur waktu menantikan perubahan”, pada akhirnya menambatkan harapan pada Joe Biden yang secara terbuka mengaku bukan musuh Tiongkok, menjadi presiden Amerika Serikat.
Kini, angan Biden menjadi presiden Amerika Serikat telah sirna. “Pukulan pengorbanan” yang terus diulur pun menjadi kehilangan maknanya. Oleh karena itu Tiongkok memutuskan melupakan “strategi kacang kedelai” yang membuatnya membayar berbagai pengorbanan. Selain itu, Tiongkok juga bersedia menandatangani kesepakatan tahap pertama yang sesuai dengan selera Trump, yakni menaikkan order produk pertanian yang semula USD 20 milyar meningkat sampai mencapai USD 40-50 milyar.
Segala sesuatu yang terjadi di era globalisasi, juga secara tragis memiliki makna global. Kupu-kupu dari negara kecil seperti Ukraina mengepakkan sayapnya perlahan saja, cukup menimbulkan gejolak di dua negara besar Amerika Serikat dan Tiongkok.
Bahkan seorang pelopor pemakzulan yang cerdik dan senior, yang merupakan sesepuh Partai Demokrat, juga sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat pun tidak pernah terpikir bahwa niatnya menyerang Trump dengan “Phone Gate” Ukraina, tak disangka malah menghancurkan masa depan menjadi presiden seorang rekan seperjuangannya, Biden.
SUD/whs