Frank Fang – The Epochtimes
Tiongkok yang dikuasai oleh Otoritas Komunis Tiongkok kembali menduduki peringkat terburuk di antara pemerintahan di dunia. Dikarenakan meningkatnya eksploitasi internet untuk kontrol sosial dan tujuan politik.
Hal demikian menurut laporan yang dirilis oleh Freedom House pada Senin 4 November lalu.
Freedom House adalah yang lembaga pemikir berbasis di AS yang melakukan penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia. Freedom House didirikan pada Oktober 1941.
“Tiongkok adalah pelaku pelanggaran kebebasan internet terburuk di dunia selama empat tahun berturut-turut,” demikian pernyataan kelompok hak asasi manusia itu dalam laporan tahunan terbarunya tentang kebebasan internet.
Laporan tersebut mensurvei sebanyak 65 negara dan menyimpulkan bahwa sebanyak 33 dari mereka mengalami penurunan skor kebebasan internet, secara keseluruhan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Skor tersebut dinilai berdasarkan faktor-faktor termasuk hambatan untuk akses internet di negara itu, batasan yang ditetapkan pada konten, dan pelanggaran hak pengguna.
Laporan itu juga mencatat bahwa setidaknya 40 negara memiliki program pengawasan media sosial yang canggih, termasuk Tiongkok.
Penyensoran Secara Ekstrim
Menurut laporan Freedom House, penyensoran mencapai tingkat ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya di Tiongkok, ketika pemerintah meningkatkan kontrol informasinya menjelang peringatan 30 tahun Pembantaian Lapangan Tiananmen dan menghadapi protes anti-pemerintah yang gigih di Hong Kong.
Tiongkok menerima skor total 10 dari 100, 2 poin lebih rendah dari tahun lalu.
Pada tanggal 4 Juni 1989, tentara Komunis Tiongkok menembaki warga sipil yang tidak bersenjata di Lapangan Tiananmen untuk membinasakan pemerotes pro-demokrasi, menewaskan ratusan, atau dengan perkiraan, ribuan orang tewas.
Rezim Komunis Tiongkok menyangkal telah melakukan tindakan kekerasan. Sedangkan setiap diskusi tentang gerakan protes dianggap tabu di Tiongkok.
Freedom House, mengutip laporan Epoch Times sebelumnya, menjelaskan, bagaimana pemerintah Komunis Tiongkok untuk sementara waktu mematikan jaringan internet regional, termasuk di Shanghai dan Provinsi Guangdong, sebagai kemungkinan tindakan sensor preemptive menjelang 4 Juni tahun ini.
Laporan tersebut mencatat bahwa Komunis Tiongkok telah membatalkan postingan media sosial terkait dengan protes Hong Kong di situs microblogging populer seperti Weibo, berdasarkan kata kunci seperti “polisi” dan “keadilan.”
Aksi protes massa di Hong Kong, telah berlangsung pada bulan kelima setelah jutaan orang turun ke jalan pada Juni lalu. Massa dalam tuntutannya menyerukan penyelidikan independen terhadap contoh-contoh kekerasan polisi terhadap demonstran, di samping tuntutan lainnya seperti hak pilih universal dalam pemilu di Hong Kong.
Sementara itu, otoritas Komunis Tiongkok telah menahan netizen Tiongkok karena menyuarakan dukungan untuk protes Hong Kong secara online.
Pihak berwenang juga menutup akun Weibo individu untuk setiap perilaku “menyimpang”, seperti mengomentari bencana lingkungan.”
Lanskap informasi online di Tiongkok secara signifikan kurang beragam daripada lima tahun yang lalu. Dikarenakan meningkatnya penyensoran, terutama konten yang dihasilkan oleh aktivis masyarakat sipil, jurnalis investigasi, dan ‘media independen,” demikian bunyi laporan itu, yang mengacu pada akun media sosial yang menyediakan berita dan komentar.
Misalnya, di Xinjiang, etnis Uighur dan minoritas Muslim lainnya sedang ditekan dan ditahan di kamp konsentrasi. Adapun konten berbahasa Uighur dan pelaporan berita yang relevan sangat disensor.
Sementara itu, unggahan Islamofobia dan xenofobia diizinkan beredar di internet Tiongkok. Minoritas agama lain, seperti penganut spiritual Falun Gong, juga telah dipenjara dalam beberapa tahun terakhir karena kegiatan online, termasuk mengakses situs web yang dilarang di Tiongkok. Selain itu, memposting pesan tentang pelanggaran hak asasi manusia di media sosial Tiongkok.
Falun Gong, juga dikenal sebagai Falun Dafa, adalah latihan spiritual kuno dengan ajaran moral dan latihan meditasi. Penganiayaan berkelanjutan Tiongkok terhadap kelompok itu, yang dimulai pada tahun 1999 silam. Akibatnya ratusan ribu orang ditahan di penjara, kamp kerja paksa, dan pusat pencucian otak, menurut laporan Pusat Informasi Falun Dafa.
Pengawasan Secara Ketat
Selain itu, Komunis Tiongkok secara aktif mengembangkan dan mengekspor alat pengawasan media sosial.
Laporan itu mengidentifikasi perusahaan swasta Tiongkok Semptian, yang berbasis di kota Shenzhen, Tiongkok, yang memasarkan sistem pengawasan Aegis, di samping produk “firewall nasional” yang meniru Great Firewall Komunis Tiongkok yang memblokir situs web asing.
Menurut situs web pemerintah Shenzhen, Semptian menerima setidaknya 300.000 yuan dalam subsidi pemerintah daerah pada tahun 2018.
Beberapa pemerintah provinsi di Tiongkok juga dilaporkan mengembangkan sistem “Cloud Polisi” untuk mengumpulkan data: akun media sosial orang-orang, catatan telekomunikasi mereka, kegiatan e-commerce, data biometrik, dan rekaman pengawasan.
Data-data itu kemudian dapat digunakan menargetkan individu-individu tertentu untuk berinteraksi dengan “orang yang peduli” atau untuk menjadi bagian dari “etnis tertentu,” eufemisme untuk etnis Uighur.
Adrian Shahbaz, direktur penelitian Freedom House untuk teknologi dan demokrasi, mengangkat kekhawatiran tentang penyebaran teknologi ini di seluruh dunia.
Adrian Shahbaz mengatakan, Alat mata-mata Big Data sedang berlangsung di seluruh dunia. Sedangkan kemajuan dalam Kecerdasan buatan mendorong pasar booming, tak teratur untuk pengawasan pasar media sosial. (asr)
FOTO : Seorang pria menggunakan komputer di warnet di Beijing pada 1 Juni 2017. (GREG BAKER / AFP / Getty Images)