Polisi Hong Kong Disebut Ingin Membobol Telegram, Sarana Kunci Perpesanan Terkait Aksi Protes

Annie Wu – The Epochtimes

Gerakan Aksi protes Hong Kong adalah gerakan yang digerakkan berdasarkan pengorganisasian secara online. Kini polisi bekerja keras untuk membongkar identitas orang-orang yang menggunakan aplikasi media sosial, yang mana menyebarkan informasi mengenai aksi protes. Lebih jauh aparat bermaksud menciduk mereka. Langkah itu berat sebelah dengan tindakan kelompok lainnya yang justru bertujuan membongkar identitas demonstran untuk diserahkan kepada aparat keamanan Komunis Tiongkok. 

Sejak aksi protes massal dimulai pada Juni lalu terkait penolakan RUU ekstradisi yang sekarang ditarik, pengunjuk rasa telah menggunakan aplikasi pesan terenkripsi  yakni Telegram. Aplikasi perpesanan online itu digunakan untuk merencanakan demonstrasi dan menyebarkan informasi tentang polisi yang dalam aksi selama protes.

Aplikasi tersebut juga telah digunakan sebagai landasan pengungkapan lebih jauh, di mana pengguna memposting informasi yang dapat mengidentifikasi polisi diyakini telah menindak demonstran.

Satu channel Telegram bernama, “dadfindboy,” telah mengungkap identitas petugas polisi dengan mengumpulkan, merilis foto dan informasi pribadi mereka. Identitas tersebut yakni nama, nomor lencana, alamat rumah, latar belakang sekolah mereka, dan panduan media sosial. Channel itu memiliki lebih dari 202.000 pengguna.

Akun lainnya bernama, “tanakayotsuba,” menggambarkan diri sebagai “hotline untuk sendok,” telah dituduh membongkar informasi pribadi tentang petugas polisi dan kerabat mereka.

Membobol Telegram

Kepolisian Hong Kong telah berusaha membongkar identitas orang-orang yang menjalankan kedua akun Telegram tersebut, termasuk dengan mencari bantuan dari para ahli siber di luar Hong Kong.

Seorang pakar dunia maya, yang ingin dengan identitas anonim karena takut akan pembalasan dari aparat, mengatakan bahwa selama beberapa bulan terakhir, ia berulang kali didekati oleh inspektur senior Polisi untuk menggunakan “segala cara yang diperlukan” untuk mengungkap identitas demonstran.

Dalam satu panggilan telepon dari inspektur senior, petugas bertanya kepada sumber itu apakah mungkin untuk melanggar protokol enkripsi Telegram. Tujuannya untuk membongkar siapa saja admin di belakang “dadfindboy” dan “tanakayotsuba.’ 

Aparat juga ingin mengetahui di mana mereka tinggal, dengan maksud menangkap mereka, sebagaimana dikatakan oleh sumber itu yang dikutip oleh The Epochtimes.

Sumber itu mengatakan, aparat sangat putus asa. Seraya menambahkan bahwa kepolisian mencari akses tingkat “setengah dewa” untuk membobol Telegram.

Sumber itu menjelaskan, dirinya tidak mau melakukannya dikarenakan dia percaya itu adalah cara diktator “Orwellian” bagi polisi untuk melacak dan menghukum warga terkait kebebasan berbicara secara online. Akan tetapi, tugas itu sendiri juga hampir tidak mungkin dilakukan secara teknis. 

Sumber itu menjelaskan, Anda akan membutuhkan NSA bekerja dengan CIA” untuk dapat melakukannya.

Telegram menyediakan enkripsi end to end, yang berarti hanya pengirim dan penerima yang dapat membaca pesan. Perusahaan juga mengatakan di situs webnya, bahwa semua data yang dikirim dan diterima di Telegram tidak dapat diuraikan bahkan jika dicegat oleh penyedia layanan internet, pemilik router Wi-Fi yang terhubung dengan perangkat, atau pihak ketiga lainnya.

Telegram tidak menanggapi permintaan untuk mengomentari tindakan keamanannya.

Dalam dua pesan WhatsApp yang diberikan kepada The Epoch Times, inspektur polisi senior lainnya juga meminta sumber itu untuk menemukan identitas dari dua channel admin, selain mencocokkan penanganan Telegram “dengan nomor telepon terdaftar masing-masing.”

Petugas itu bertanya apakah narasumber itu memiliki “kemampuan untuk memetakan semua nomor telepon Hong Kong” – total sekitar 20 juta kombinasi – ” ke ID Telegram mereka, jika ada akun seperti itu.” Cara itu dinilai  menjadi taktik yang digunakan polisi Hong Kong melacak pengunjuk rasa. 

Musim panas ini, sekelompok insyinyur Hong Kong memperingatkan dalam unggahan media sosial yang beredar luas, bahwa pihak berwenang dapat menambahkan sejumlah besar nomor telepon ke kontak telepon. 

Telepon itu kemudian dapat terhubung ke saluran Telegram di mana aksi protes sedang dibahas, di mana Telegram akan menyinkronkan kontak telepon dengan aplikasi. Dengan demikian, pihak berwenang dapat mengetahui nomor telepon mana yang aktif dalam kelompok obrolan aksi protes.

Pihak berwenang kemudian dapat memaksa perusahaan telekomunikasi lokal, untuk mengungkapkan identitas orang-orang di belakang nomor telepon, sebagaimana disinyalir sejumlah enginer.

Setelah celah ini dipublikasikan, Telegram mengeluarkan pembaruan pada bulan Agustus lalu, di mana pengguna dapat menyembunyikan nomor telepon mereka di dalam aplikasi.

Pakar dunia maya itu juga memperlihatkan kepada The Epoch Times sebuah email, yang dikirim setelah aksi protes dimulai. Isinya di mana polisi meminta bantuannya untuk melacak akun dan pesan percakapan Telegram.

Di antara layanan yang mereka cari adalah: “pemantauan dan pengumpulan data intelijen untuk nama, grup, dan Channel Telegram” dan “koleksi pesan teks, gambar, file multi-media yang relevan, dan informasi berbasis akun.”

Dalam salah satu pesan WhatsApp yang disebutkan sebelumnya, polisi juga meminta “platform secara langsung untuk memantau daftar pesan Telegram dengan URL, dan mencatat status pesan masing-masing.”

Simon Young, seorang pengacara dan profesor di sekolah hukum  Hong Kong Universitas, mengatakan bahwa sementara itu legal bagi polisi untuk memantau platform media sosial sambil melakukan penyelidikan. Dikarenakan channel Telegram dapat diakses secara publik. Sedangkan meminta seorang pakar  untuk terlibat dalam peretasan akan menjadi masalah. Dikarenakan praktek peretasan bisa menjadi tindak pidana.

Penumpasan Pengungkapan Identitas Pribadi yang Berat Sebelah

Polisi Hong Kong baru-baru ini meningkatkan taktiknya untuk melarang praktek doxing atau penyebaran informasi pribadi melalui perintah pengadilan sementara.

Pertama kali disetujui oleh Pengadilan Tinggi Hong Kong pada 25 Oktober.  Kemudian diubah untuk mempersempitnya pada 28 Oktober lalu. 

Perintah tersebut melarang individu dari “menggunakan, menerbitkan, berkomunikasi, atau mengungkapkan” data pribadi milik petugas polisi dan anggota keluarga mereka. Yang mana “dimaksudkan atau mungkin untuk mengintimidasi, menganiaya, melecehkan, mengancam, atau mengganggu” mereka.

Data pribadi termasuk nama, alamat rumah, tanggal lahir, nomor telepon, pegangan media sosial, nomor ID Hong Kong, dan foto-foto. Mereka yang melanggar perintah itu dapat dianggap “menghina pengadilan” dan didenda atau dikirim ke penjara.

Dalam sebuah pernyataan pada 25 Oktober, pemerintah Hong Kong mengklaim bahwa sejak Juni lalu, merujuk pada ketika protes massa dimulai, petugas diklaim telah ditargetkan untuk melakukan pencabulan dan menerima berbagai bentuk pelecehan dan intimidasi. 

Cara itu seperti melalui “panggilan telepon, identitas yang disalahgunakan untuk mengajukan permohonan untuk pinjaman dan untuk melakukan pembelian online, menekan anggota keluarga Petugas Polisi dengan mengunjungi tempat kerja mereka. “

Simon Young mengatakan, perintah tersebut menyangkut kebebasan berekspresi, tindakan itu “bukan hak mutlak” dan dapat dibatasi oleh perintah pengadilan. 

Ia mengatakan, Pertanyaannya adalah apakah perintah pengadilan terlalu jauh? Atau apakah itu melampaui tujuan? .

Menurut dia, Pengadilan semestinya harus mempertimbangkan, misalnya, jika ada cara lain yang mana kepentingan polisi dapat dilindungi. 

Sidang dijadwalkan pada 8 November, ketika Departemen Kehakiman Hong Kong dan kepala polisi akan berargumentasi kasus mereka untuk perintah resmi. Anggota parlemen lokal, jurnalis, dan kelompok hak asasi telah menyatakan keprihatinan tentang ruang lingkup perintah tersebut.

Anggota parlemen Alvin Yeung kepada media pada 25 Oktober mengatakan, pada dasarnya tindakan itu hanya menghapus sistem check and balance atas kebrutalan polisi.  

Alvin Yeung mengungkapkan, ia telah melihat insiden yang tak terhitung jumlahnya selama empat bulan terakhir, tanpa adanya pengawasan publik dan tanpa fakta, bahwa warga dapat mengambil gambar dan mengungkapkan apa yang terjadi mengenai kebrutalan polisi. Ia mengatakan, tidak ada cara bagi mereka dapat melalukan check and balance dan  menyelidiki polisi.

Anggota parlemen pro-demokrasi lainnya mengatakan, perintah pengadilan itu secara tidak adil lebih memprioritaskan polis. Ketimbang terhadap orang-orang lainnya yang melakukan pengungkapan identitas demonstran.

Ada juga channel Telegram dengan nama doxx demonstran. Sebuah analisis digital yang dilakukan oleh lembaga think tank Atlantic Council pada bulan September menemukan bahwa sejumlah channel, termasuk “yeeseelostandfound,” mengungkapkan informasi pribadi para pengunjuk rasa dan kemudian menyerahkannya ke portal online Kementerian Keamanan Negara Komunis Tiongkok untuk melaporkan kejahatan keamanan nasional.

Keyboard Frontline, sebuah kelompok lokal yang mengadvokasi kebebasan internet, mengatakan dalam sebuah pernyataan pada 30 Oktober, bahwa perintah tersebut merupakan “bentuk penyensoran yang paling ekstrem.” Keyboard Frontline menyebutnya sebagai peraturan tidak konstitusional yang harus segera dibatalkan.

Sementara itu, Asosiasi Jurnalis Hong Kong dalam pernyataanya pada 5 November lalu menilai bahwa perintah tersebut dapat membatasi jurnalis untuk meliput aksi protes. Asosiasi Jurnalis juga Hong Kong telah mengajukan amandemen terhadap perintah “untuk melindungi kebebasan pers dan ekspresi pers Hong Kong yang dilindungi secara konstitusional.” 

Polisi telah menangkap dan mendakwa warga karena pelanggaran terkait internet dan terkait dengan protes. 

Media lokal melaporkan bahwa pada bulan September lalu, seorang pekerja telekomunikasi lokal, Chan King-hei, didakwa karena menggunakan komputer perusahaannya untuk mengakses dan mengungkapkan informasi pribadi anggota keluarga polisi. 

Polisi menuduhnya berkonspirasi dengan channel “tanakayotsuba” untuk mengungkapkan informasi di Telegram.

Chan didakwa dengan satu tuduhan mendapatkan akses ke komputer dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan yang tidak jujur. Ia juga dituduh berkonspirasi untuk mengungkapkan data pribadi yang diperoleh tanpa persetujuan, menurut laporan media setempat. Dia dibebaskan dengan jaminan. Sidang berikutnya digelar pada 20 November.

Pada bulan Juni lalu, The New York Times menceritakan kisah bagaimana Ivan Ip, administrator grup obrolan Telegram ditangkap di rumahnya.  Polisi mengklaim dia ditangkap atas dugaan persekongkolan menyebabkan gangguan publik.

Pada bulan Juli lalu, polisi mengumumkan bahwa sejauh ini telah menangkap 9 orang karena pelanggaran yang terkait dengan internet, termasuk mengungkapkan data pribadi tanpa mendapatkan persetujuan. (asr)

Lihat sumber aslinya : Hong Kong Police Seeks to Hack Telegram, Key Tool in Protests: Source