Pertemuan Para Murid Biksu Xu Yun Dengan Mahluk Dunia Lain

Song Baolan

Pada musim semi 1945, biksu senior Tiongkok, Xu Yun yang tersohor meninggalkan Kuil Yunmen dan pergi ke Kuil Nanhua untuk berkhotbah.

Terdapat dua biksu di Kuil Yunmen, bernama Gu Gen dan Chuan Zhen. Keduanya tinggal di kamar yang sama di kuil itu. Pada suatu hari, Gu Gen merasa tidak sehat, maka malam itu ia absen membaca sutera Buddha di Aula Malam.

Chuan Zhen melihat temannya tidak pergi, ia pun timbul rasa malasnya. Keduanya tertidur nyenyak, dan dengan segera telah memasuki alam mimpi.

Setelah beberapa saat, pintu kamar tiba-tiba terbuka, terlihat sebuah tangan raksasa menjulur masuk dan hampir memenuhi seluruh ruangan. Bayangan hitam itu mengangkat Chuan Zhen dan langsung melemparkannya ke tanah.

Bayangan hitam itu menegurnya: “Buddha membuka arena berkultivasi dan memberimu tempat untuk menempa diri. Sekarang kalian malah bermalas-malasan tidak mau mengikuti acara baca sutera di aula, kalian pembolos. Ternyata malah tidak menyesal. Benar-benar patut dihajar.” Setelah berkata demikian menjulurkan tangan raksasanya, dan memukul puluhan kali dengan keras ke pantat Chuan Zhen.

Dengan kegaduhan sebesar itu, Gu Gen segera terbangun, terkejut bukan main dan iapun menjerit ketakutan, dan ia menyaksikan bayangan hitam itu melayang pergi begitu saja.

Para biksu dari seluruh kuil berdatangan untuk menanyakan situasinya. Semua orang melihat pantat Chuan zhen dipukuli sampai  kulit dan dagingnya pecah merekah serta dipenuhi bilur hitam, setelah sebulan diobati baru sembuh.

Malam berikutnya setelah Chuan Zhen dipukuli, ada seorang biksu mantan prajurit, menguasai ilmu bela diri dan piawai dalam perkelahian. Maka ia yang merasa penasaran, hendak mencoba bertarung dengan hantu itu, mengambil sebatang tongkat besi dan berbaring di ranjangnya Chuan Zhen.

Tak berselang lama, bayangan hitam itu benar-benar datang menyatroni. Ketika sang bhiksu hendak bangkit bertarung, apa daya seluruh tubuhnya bagaikan diikat, dan sama sekali tidak bisa bergerak. Terdengar bayangan hitam itu berkata, “Niatanmu benar-benar jahat. Karena kamu telah menjadi biksu dan menjadi murid Buddha, maka seharusnya kamu melepaskan kebiasaan berkelahi ala tentara. Aku hari ini tidak akan memukulmu, menunggu niatmu bertobat. Jika masih tidak berubah, Tunggu saja hukumannya.” Begitu selesai berkata, bayangan hitam itu berkelebat menghilang. Biksu itu saking takutnya berlari sekencangnya dari kamar tersebut.

Empat bulan kemudian, biksu tua Xuyun kembali dari Kuil Nanhua dan mendengar ada sesuatu yang aneh terjadi di kuil itu. Pada suatu malam, ketika di malam yang sunyi, Xuyun sedang duduk bermeditasi, tiba-tiba melihat seorang lelaki tua berjanggut putih mengenakan jubah hijau muncul untuk memberikan penghormatan kepadanya, dan berkata: “Murid tinggal di gunung belakang, sudah ratusan tahun. Beberapa waktu lalu, Guru pergi ke Kuil Nanhua, kebetulan murid juga bepergian. Anak cucu saya tidak tertib dan mengganggu ketenangan pertapaan para biksu. Murid dengan tegas telah menghardik mereka dan dengan wanti-wanti berpesan agar tidak diulangi lagi. Hari ini murid secara khusus datang memohon maaf kepada Guru. “

Xu Yun berkata: “Meski dari dunia berbeda, kita saling menghormati dan tidak menimbulkan masalah, jangan pernah muncul lagi, agar tidak mengganggu lagi kultivasi (pertapaan) para biksu.” Sejak saat itu, di kuil itu tidak pernah lagi muncul fenomena supranataral.

Para bhiksu dalam cerita tersebut, karena sekilas timbul kemalasan sesaat, atau berniat buruk, telah diberi pelajaran oleh mahluk dunia lain. Setelah kejadian penampakan hantu, para biksu ketakutan dan tidak berani tinggal di kamar itu lagi. Sebenarnya disebabkan oleh hawa/Qi (chi = energy vital) murni di dalam dirinya tidak mencukupi, barulah mengalami kejadian yang mengerikan seperti itu.

Bagaimanakah seharusnya baru dapat mempertahankan hawa murni yang memadai? Agar pertemuan dan gangguan dari intrusi jahat dapat dihindari. Eyang Yao, ayah dari Ji Xiaolan, adalah seorang intelektual dari zaman Dinasti Qing yang memiliki wawasan yang mendalam.

Pada Tahun 1794, Ji Xiaolan diperintahkan untuk pergi ke provinsi Fujian menginspeksi bidang Pendidikan, di mess pejabat sering muncul penampakan mahluk dari dunia lain di malam hari, yang membuat para penghuni ketakutan. eyang Yao, mendengar bahwa gedung mess tidak bersih, maka ia dengan sengaja memindahkan tempat tidurnya ke rumah berhantu.

Alhasil, malam tersebut sangat tenang dan tidak ada keanehan yang terjadi. Ji Xiaolan khawatir terhadap ayahnya dan menyarankan sang ayah pindah dari kamar tersebut agar tidak menggunakan tubuh berharganya untuk bertarung dengan hantu. Lalu ayah Ji Xiolan menjelaskan prinsip “Yin tidak akan menang dari Yang”.

Jika hantu sampai dapat menyerang/mengganggu seseorang, itu pasti dikarenakan energi Yang dari orang itu tidak mencukupi, tentu tidak dapat mengalahkan roh jahat yang berenergi Yin.

Di mata eyang Yao, orang dengan energi Yang yang kuat, tidak hanya berbekal keberanian didalam darahnya, atau temperamennya. Ia percaya: “Jika seseorang sering memiliki amal kasih di dalam hatinya, itulah energi Yang; jika didalam hatinya sering berniat jahat, itulah energi Yin. Hati yang tulus jujur adalah enegi Yang; hati jahat dan licik adalah energi Yin. Bersikap adil dan lurus adalah energi Yang, bersikap egois dan licik adalah energi Yin. “

Eyang Yao memberi tahu Ji Xiaolan: “Jika seseorang mempunyai toleransi besar, maka dapat memiliki Energi Yang yang murni. Orang yang berenergi Yang dikala ketemu dengan roh-roh jahat, seperti api tungku yang membara di ruangan terpencil yang dingin, dapat melelehkan es. Kamu telah banyak membaca, pernahkah membaca catatan warisan sejarah bahwa orang dengan karakter baik pernah mengalami gangguan oleh hantu? “

Ayah Yao menempati ruangan di mess pejabat Fuzhou, berbekal hawa murni di sekujur tubuhnya, yang terjadi justru telah menggentarkan para roh halus, yang tidak berani secara sengaja tampil membuat kegaduhan.

Orang-orang sering berkata: “Kehidupan adalah sebuah pertapaan/kultivasi.” Anda tidak harus menjadi bhiksu, tidak harus menjelajahi kedalaman gunung, maka di dalam gejolak keduniawian, orang arif bijaksana juga bisa memperoleh hikmah kebenaran, tidak takut akan hantu, malah akan mengagetkan hantu. (HUI/WHS)