Annie Wu – Frank Fang – The Epochtimes
Lautan manusia berbaris melalui pusat kota Hong Kong pada Minggu (8/12/2019). Ratusan ribu orang tersebut untuk mengukuhkan tekad mereka membentengi identitas Hong Kong dari meluasnya pengaruh Komunis Tiongkok.
Mereka juga mendorong demokrasi yang lebih besar di Hong Kong. Aksi tersebut bersamaan dengan perayaan hak asasi manusia Internasional pada 10 Desember 2019.
Tema pawai akbar pada hari itu adalah “Stand With Hong Kong, Walk With You All.” Pawai tersebut diselenggarakan oleh kelompok aktivis pro-demokrasi lokal, Front Hak Asasi Manusia Sipil atau Civil Human Rights Front -CHRF.
Kali ini Civil Human Rights Front memperoleh persetujuan polisi untuk mengorganisir acara tersebut. Persetujuan tersebut menandai kemenangan langka dalam upaya berkelanjutan Civil Human Rights Front untuk mendorong gerakan demokrasi lokal.
Civil Human Rights Front memperkirakan sebanyak 800.000 warga berpartisipasi dalam pawai hari Minggu itu. Sedangkan, polisi setempat mengklaim perkiraan yang jauh lebih rendah. Polisi mengatakan hanya ada 183.000 orang pada puncak kegiatan.
Awalnya rapat umum singkat diadakan di kawasan Victoria Park sebelum pemrotes berbaris sekitar pukul 3 sore hari waktu setempat ke kawasan Charter Road.
Pengunjuk rasa terlihat mengibarkan bendera dengan tulisan yang berarti “Bebaskan Hong Kong,” serta bendera dari berbagai negara dan wilayah yang telah menyuarakan dukungan bagi gerakan pro Demokrasi Hong Kong, termasuk Amerika Serikat, Jepang, dan Taiwan.
Para pengunjuk rasa juga terdengar meneriakkan slogan-slogan dengan artinya “lima tuntutan, bukan kurang satu,” “Bela kebebasan Berbicara,” “Selidiki kekerasan polisi dan Hentikan kebohongan polisi.”
Massa juga meneriakkan “Bubarkan Pasukan Polisi, Jangan Tunda lagi.” Lainnya meneriakkan “721” yang berarti insiden 21 Juli 2019.
Slogan lainnya berbunyi di manapun polisi tak terlihat. Tak hanya itu, Slogan 831 juga diteriakkan. Istilah ini terkait insiden 31 Agustus 2019. Massa juga meneriakkan slogan berbunyi : orang-orang dipukuli sampai mati.
Insiden 21 Juli 2019 adalah ketika orang-orang dengan kaos putih-putih dengan latar belakang gangster, menyerbu stasiun metro Yuen Long. Mereka menyerang penumpang dengan tongkat, pentungan, dan besi. Anehnya, Polisi tidak tiba di tempat kejadian hingga 45 menit kemudian.
Sedangkan insiden pada 31 Agustus 2019, polisi anti huru hara menyerbu stasiun metro Prince Edward. Polisi menyerang penumpang tanpa pandang bulu. Sejak itu, ada sejumlah klaim yang beredar seputar dugaan bahwa kekerasan polisi telah mengakibatkan kematian para pemrotes.
Dalam sebuah deklarasi online, Civil Human Rights Front menyatakan, “Pelanggaran hak asasi manusia dan krisis kemanusiaan di Hong Kong dan Komunis TIongkok sedang mencapai titik kritis sekarang.”
“Pemerintah Hong Kong harus mewujudkan lima tuntutan kami untuk memenuhi tugas perlindungan hak asasi manusia internasional, dan membela kemanusiaan dan martabat manusia,” tambah deklarasi itu.
Protes yang sedang berlangsung di Hong Kong, sekarang memasuki 6 bulan, dipicu oleh kekhawatiran publik tentang RUU ekstradisi yang sekarang sudah sepenuhnya ditarik. Sebelumnya memicu kekhawatiran banyak orang akan mengikis independensi peradilan Hong Kong.
Sekarang, pengunjuk rasa menuntut agar pemerintah hong Kong menjawab lima tuntutan mereka, termasuk untuk hak pilih universal dan penyelidikan independen terhadap kasus-kasus kekerasan aparat kepolisian.
Pengaruh Komunis Tiongkok
Seorang pemrotes yang bermarga Mak, berusia 73 tahun kepada The Epoch Times mengatakan bahwa ia tidak puas dengan pemerintah Hong Kong dan kepolisian setempat.
Ia mengatakan “Penggunaan kekuatan telah melampaui batas.” Ia menambahkan bahwa dirinya telah melihat banyak video polisi memukuli demonstran muda setelah mereka dibekuk, dengan tangan dipelintir di belakang mereka. Dirinya sudah beberapa dekade di Hong Kong. Ia membandingkan dengan polisi yang dulunya tak bertindak seperti itu. Kehidupan di Hong Kong juga menjadi semakin “seperti daratan Tiongkok.” Yang mana sangat berbeda dengan kehidupan Hong Kong sebelumnya.
Pemrotes lain yang bermarga Cheung, mengatakan: “Kami menentang Komunis Tiongkok karena menghapus kebebasan kami.” Misalnya, bahwa kandidat pro demokrasi termasuk Agnes Chow telah didiskualifikasi dari pemilu 2014. Ia menuturkan, warga harus memberikan dukungan karena berkurangnya penghargaan hak asasi manusia di Hong Kong.
Cheung mengatakan bahwa ia menaruh harapan pada gerakan demokrasi, meskipun Komunis Tiongkok sudah sangat jelas menyatakan, bahwa mereka tidak akan memberikan pemilihan yang benar-benar bebas. Walaupun jika Komunis Tiongkok tidak menyerah, warga akan terus turun ke jalan. Para pemuda sudah banyak berkorban. Oleh karena itu, dirinya harus turun ke jalan.
Cheng, seorang ibu dari putra berusia 2 dan 10 tahun berkata, dirinya menghadiri pawai karena dia ingin anak-anaknya memiliki “kebebasan berbicara.”
Ibu itu mengatakan optimis tentang gerakan demokrasi, walaupun setelah pengepungan polisi baru-baru ini terhadap Chinese University of Hong Kong dan Universitas Politeknik.
Dia menambahkan bahwa dirinya tidak akan hidup dalam ketakutan terhadap polisi, meskipun mereka menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Menurut dia : “Yang terutama adalah jangan takut, Ada banyak orang dari kita, sedangkan polisi hanya sekitar 30.000 orang. Apa yang harus kita takuti?
Pemrotes lain yang bermarga Kei menuturkan bahwa dunia perlu berbuat lebih banyak untuk memerangi ancaman komunis Tiongkok.
Menurut dia, Hong Kong pada hari ini akan menjadi dunia esoknya.Ia memperingatkan tanah air Anda akan menjadi korban selanjutnya dari Komunis Tiongkok.
Dia menunjukkan tentang infiltrasi Komunis Tiongkok yang telah merusak bisnis dan menyebarkan propaganda media kee negara-negara lainnya. Pemerintah AS diserukan untuk menegakkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong, yang mana bakal diberlakukan terhadap para pejabat Komunis Tiongkok daratan. PBB juga diserukan untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Hong Kong untuk membantu krisis di Hong Kong.
Penangkapan Sebelum Pawai Digelar
Hanya beberapa jam sebelum rapat umum, media Hong Kong melaporkan bahwa polisi setempat telah menangkap sebelas yang disebut “tersangka” berusia antara 20 dan 63 tahun. Polisi mengklaim telah menyita pistol semi-otomatis dengan 105 peluru dalam operasi di Pulau Hong Kong.
Polisi mengklaim bahwa para tersangka ingin menggunakan senjata kepada polisi selama pawai. Apa benar yang diklaim oleh aparat kepolisian Hong Kong tersebut?
Civil Human Rights Front di halaman Facebook-nya mempertanyakan pengumuman kepolisian Hong Kong. Civil Human Rights Front mengatakan, apakah polisi sengaja membuat kepanikan tepat sebelum pawai berlangsung.
Joshua Wong, aktivis dan tokoh ikon dari Gerakan Payung 2014, termasuk di antara mereka yang ikut serta dalam pawai tersebut.
Menurut media lokal RTHK, Wong juga mempertanyakan waktu operasi polisi yang mana berspekulasi bisa saja menjadi “manuver politik.”
Pada 6 Desember 2019, Lembaga Penelitian Opini Publik Hong Kong merilis jajak pendapat terbaru. Dari 1.062 orang yang disurvei antara 21 November dan 26 November 2019. Hasilnya menunjukkan bahwa 65,1 persen tidak puas dengan kinerja polisi. Angka tersebut mengalami peningkatan dari 28,1 persen dalam jajak pendapat pada bulan Juni sebelumnya.
Menjelang malam, polisi setempat membuat garis pertahanan di Paterson dan Kingston Streets. Kawasan tersebut terletak sekitar satu blok dari Victoria Park setelah pemrotes mendirikan barikade payung. Pada satu titik, polisi memasang bendera hitam memperingatkan pengunjuk rasa bahwa gas air mata telah dikerahkan. (asr)