Xia Yu
The Nikkei Asian Review melaporkan pada (13/3/2021), Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Korea Utara, Tomas Ojea-Quintana, menyatakan bahwa perintah penembakan perbatasan disebabkan oleh blokade besar-besaran dilakukan oleh rezim Korea Utara kepada rakyatnya.
Ojea-Quintana percaya bahwa pembatasan ketat COVID-19 pemerintah Korea Utara, telah menyebabkan meluasnya kerawanan pangan. Dia juga menambahkan bahwa menurut laporan, fasilitas penahanan baru telah didirikan bagi mereka yang melanggar lockdown COVID-19 di wilayah utara Laut Kuning antara Pyongyang dan perbatasan selatan.
Banyak kejahatan yang dilakukan oleh rezim Korea Utara telah dikonfirmasi. Menurut laporan Daily NK, sebuah organisasi media Korea Selatan dengan sumber di Korea Utara, blokade telah memengaruhi seluruh kota dan kawasan. Parahnya, mencegah banyak orang meninggalkan rumah mereka untuk mendapatkan makanan. Banyak orang yang melarikan diri ditangkap.
Laporan “Daily Korea” dan Radio Free Asia meyebutkan, eksekusi dilakukan kepada mereka yang melanggar aturan karantina. “Daily Korea” juga mengkonfirmasi pada bulan lalu, bahwa pihak berwenang Korea Utara telah memerintahkan perluasan kamp penjara politik.
Ojea-Quintana mengatakan bahwa, selama lima tahun di PBB, dia telah menerima banyak konfirmasi pelanggaran HAM serius oleh otoritas Korea Utara.
Dia mengatakan bahwa, kini adalah saatnya ketika Dewan Keamanan memutuskan untuk mengalihkan situasi Republik Demokratik Rakyat Korea ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Greg Scarlatoiu, direktur eksekutif Komisi Hak Asasi Manusia Korea Utara (HRNK), setuju dengan pandangan Ojea-Quintana bahwa penting untuk menyerahkan pelanggaran hak asasi manusia Korea Utara ke Pengadilan Kriminal Internasional. Akan tetapi, menunjukkan bahwa ada “hambatan yang signifikan”. .
Scaratoiu menjelaskan: “Karena Korea Utara bukan merupakan pihak dalam Statuta Roma 2002, Dewan Keamanan PBB perlu menyerahkannya ke Pengadilan Kriminal Internasional.” Kemudian, masalahnya bermuara pada lima anggota tetap Dewan Keamanan, “terutama Komunis Tiongkok atau Federasi Rusia yang dapat memvetonya. “
Ramon Pacheco Pardo, seorang profesor di King’s College London dan Korea Chair di Vrije Universiteit Brussel mengatakan, dikarenakan Pengadilan Kriminal Internasional tidak memiliki yurisdiksi atas Korea Utara, soal rujukan ke Pengadilan Kriminal Internasional “bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan situasi hak asasi manusia di Korea Utara.”
Selain Pengadilan Kriminal Internasional, Ramon Pacheco Pardo mengatakan bahwa pilihannya terbatas. Akan tetapi, dia menambahkan bahwa Uni Eropa akan menjatuhkan sanksi hak asasi manusia pada Korea Utara sesuai dengan EU Human Rights Global Sanction Regime.
Nikkei melaporkan bahwa rezim sanksi ini, diluncurkan pada Desember tahun lalu dan diperkirakan akan merilis daftar pejabat yang terkena sanksi terhadap Tiongkok, Rusia, Korea Utara, dan Afrika akhir bulan ini.
Asisten Profesor Youngsoo Yu dari University of North Korean Studies, juga menekankan pentingnya tidak bergantung sepenuhnya pada ICC. Ia berkata: “Korea Selatan dan Amerika Serikat harus secara jelas mengungkapkan komitmen mereka, terhadap norma-norma hak asasi manusia dan menyampaikan pesan yang konsisten tentang pelanggaran hak asasi manusia ke Korea Utara.”
Selain itu, Amerika Serikat dan Korea Selatan harus mengirimkan sinyal bahwa hak asasi manusia adalah prinsip dan nilai universal yang mereka kejar. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah membuat Korea Utara menyadari hal ini. Ini yang belum tercapai sejauh ini yang bisa dilakukan. (hui)