oleh Li Zhaoxi
Baru-baru ini, melalui studi prospektif kohor para peneliti Afrika Selatan menemukan, virus komunis Tiongkok (COVID-19) varian Beta (B.1.351) tampak lebih mematikan jika dibandingkan dengan versi asli dari virus tersebut. Varian Beta ini membuat pasien terpapar yang perlu dirawat inap di rumah sakit jumlahnya meningkat serta angka kematian karenanya
Varian Beta pertama kali ditemukan di Afrika Selatan pada September 2020 dan menyebabkan gelombang kedua wabah di Afrika Selatan.
Dr. Waasila Jassat dan rekan-rekannya dari National Institute for Communicable Diseases, telah melakukan analisis perbandingan terhadap karakteristik pasien terpapar antara gelombang pertama yakni Juli 2020 dan gelombang kedua Januari 2021. Hasil penelitian tersebut telah diterbitkan pada hari Jumat 9 Juli dalam jurnal medis Inggris ‘The Lancet Global Health’.
Penelitian tersebut berlangsung dari Maret 2020 hingga Maret 2021. Saat itu varian Beta mendominasi paparan virus komunis Tiongkok (COVID-19) di Afrika Selatan.
Peneliti meninjau data penerimaan pasien dari 644 rumah sakit nasional dengan berfokus pada variabel faktor risiko kematian yang disesuaikan, seperti provinsi, usia, komplikasi, departemen kesehatan, ras, jenis kelamin, dan keluhan pasien ketika masuk rumah sakit.
Hasil penelitian Dr. Waasila Jassat dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa, varian Beta yang berasal dari mutasi menyediakan lebih banyak penutup dalam domain pengikatan reseptornya, dan memainkan peran yang lebih besar dalam mengikat reseptor sel manusia ACE2, sehingga daya penyebarannya lebih kuat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari jumlah 219.265 orang pasien yang rawat inap di rumah sakit karena terpapar virus komunis Tiongkok, 51.037 orang meninggal dunia, dan risiko kematian dalam kasus rawat inap adalah 23,28%.
Risiko kematian pada periode puncak gelombang pertama adalah 21,80% (95% CI 21,39-22,22), jauh lebih rendah dari 29,34% (95% CI 28,95-29,74) pada periode puncak gelombang kedua.
Selama gelombang pertama, rata-rata tingkat rawat inap mingguan meningkat sebesar 20%, tetapi selama gelombang kedua meningkat menjadi 43% (rasio tingkat pertumbuhan adalah 1,19, 95% CI 1,18-1,20).
Dibandingkan dengan gelombang pertama, jumlah kasus pada gelombang kedua epidemi telah meningkat secara signifikan (masing-masing 240,4 kasus per 100.000 orang dan 136 kasus per 100.000 orang), dan rawat inap (27,9 kasus per 100.000 orang dan 16,1 kasus per 100.000 orang). Dan, jumlah kematian (8,3 kasus per 100.000 orang dan 3,6 kasus per 100.000 orang).
Selain itu, dengan menggunakan analisis multivariat terhadap gelombang kedua epidemi, ditemukan bahwa risiko kematian pasien COVID-19 di rumah sakit meningkat sebesar 31%.
Inggris telah melaporkan bahwa karena prevalensi varian Alpha (B.1.1.7), tingkat rawat inap dan kematian menjadi lebih tinggi. Tetapi, banyak orang yang belum mengetahui tentang toksisitas dari varian Beta yang lebih baru ini.
Meskipun kasus paparan oleh virus komunis Tiongkok di banyak negara saat ini, lebih banyak disebabkan oleh varian Delta. Sedangkan varian yang masih terus menyebar dengan varian mutasinya ini, juga membuat kemampuan penularannya terus menguat. Sehingga semakin sulit dicegah atau diobati daripada versi virus aslinya.
Hasil penelitian laboratorium menunjukkan bahwa antibodi yang dihasilkan oleh vaksin Pfizer kurang efektif terhadap varian Beta. Melalui sebuah penelitian berskop kecil terhadap 2.000 orang di Afrika Selatan, menunjukkan bahwa vaksin AstraZeneca juga memberikan perlindungan minimal terhadap kasus ringan paparan varian Beta, tetapi vaksin tersebut masih dapat membantu menurunkan jumlah kasus parah serta angka kematiannya.
Kedua perusahaan vaksin di atas sedang mengembangkan vaksin yang disempurnakan dengan menyasar varian Beta.
Perusahaan Moderna telah memiliki vaksin dengan sasaran virus varian Beta, dan vaksin tersebut saat ini sedang menjalani uji klinis tahap pertama di Amerika Serikat. (sin)