oleh Cheng Xiaonong
Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengandalkan serangkaian kebohongan-kebohongan ekonomi untuk memengaruhi persepsi banyak orang mengenai situasi saat ini.
Dalam artikel ini, saya melihat beberapa kebohongan-kebohongan terbesar dan menunjukkan gambaran yang sebenarnya di balik kebohongan itu.
Kebohongan Ekonomi Pertama: Pengembangan Adalah Prinsip Mutlak
Dalam beberapa dekade terakhir, kebohongan terbesar dari kebijakan-kebijakan ekonomi Partai Komunis Tiongkok adalah “pengembangan adalah prinsip mutlak,” sebuah pernyataan yang dibuat oleh pemimpin PKT Deng Xiaoping selama tur ke daerah selatan Tiongkok pada tahun 1992.
Sejak itu, membenarkan hal-hal sebagai “pengembangan” telah menjadi alasan terbaik untuk menutupi kesalahan-kesalahan, yang menjadikan kesalahan-kesalahan tersebut dibenarkan dan tidak perlu dipertanyakan lagi.
Pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, kampanye “Lompatan Jauh ke Depan” Mao Zedong mengakibatkan kelaparan selama tiga tahun di Tiongkok, tetapi Mao Zedong lebih suka membiarkan puluhan juta petani mati kelaparan daripada menghentikan pengembangan bom-bom atom dan rudal-rudal yang mahal.
Agenda politik PKT benar-benar berbeda dari kebudayaan Konfusianisme tradisional, di mana “rakyat biasa adalah yang paling berharga” yang menghargai kebutuhan-rakyat sebagai kebutuhan utama negara, dan satu-satunya tujuan pengembang adalah untuk benar-benar melayani mayoritas rakyatnya.
Kebohongan Ekonomi Kedua: Para Pejabat adalah Curang, Bukan Sistem Partai Komunis Tiongkok adalah Curang
PKT berbohong kepada orang-orang Tiongkok, bahwa kecurangan hanyalah masalah perilaku pribadi pejabat-pejabat dan bahwa sistem PKT adalah selalu baik. Orang-orang gagal melihat bahwa kecurangan PKT dilembagakan.
Rezim komunis tersebut didirikan dengan kekuatan yang tidak tertandingi untuk pejabat-pejabat di semua tingkatan. Kecurangan Partai Komunis Tiongkok yang dilembagakan ada dan merasuki hampir semua kegiatan-kegiatan ekonomi Tiongkok sepanjang sejarah Partai Komunis Tiongkok.
Sebelum reformasi tahun 1978, kecurangan terjadi dalam berbagai bentuk, terutama terwujud dalam penyediaan makanan (terutama selama kelaparan besar selama tiga tahun), perumahan gratis, dan pelayanan-pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkatan para pejabat.
Hak-hak istimewa itu bahkan mencakup penggunaan kekuasaan untuk seks. Pejabat-pejabat Partai Komunis Tiongkok di semua tingkatan mengikuti jejak Mao Zedong dan pejabat-pejabat senior lainnya.
Pada tahun 1970-an, penulis dikirim ke daerah-daerah pedesaan di Provinsi Anhui untuk pendidikan ulang (Turun ke Gerakan Desa). Suatu kali, pada tahun 1973, saya pergi ke Kabupaten Chao untuk sebuah pertemuan dan menginap di sebuah wisma. Saya melihat komisaris politik sub-distrik militer Chaohu memangku seorang gadis muda dari wisma tersebut. Sang komisaris bahkan tidak peduli untuk menutup pintu karena kekuasaan yang dimilikinya.
Setelah reformasi, sistem birokrasi rezim Tiongkok tidak pernah berubah. Tujuannya adalah untuk menghasilkan pendapatan atau keuntungan-keuntungan pribadi saat melakukan tugas-tugas resminya. Menggunakan kekuasaan untuk menghasilkan uang menjadi norma, dan sedikit pejabat yang baik menjauhi praktik tersebut, akan menjadi sebuah duri di pihak pejabat-pejabat lainnya akan menyingkirkan sedikit pejabat yang baik itu.
Sejak pertengahan tahun 1980-an, keturunan pejabat-pejabat Partai Komunis Tiongkok yang kuat mengambil keuntungan dari intervensi birokrasi ini. Mereka menjual sertifikat kuota bahan-bahan produksi dan sumber daya yang dikendalikan oleh Partai Komunis Tiongkok, mendapat untung dari selisih harga, dan mereka menjual kuota impor untuk mobil atau peralatan-peralatan listrik rumah tangga.
Pada awal tahun 1990-an, mereka mengambil keuntungan dari memperoleh tanah melalui penyuapan dan real estat, dan pada akhir tahun 1990-an, para pangeran itu memperoleh ketenaran dan kekayaan dengan bekerja sebagai agen-agen untuk sektor-sektor keuangan luar negeri.
Pada abad ini, penyuapan dan penjualan jabatan dan gelar resmi, juga menjadi sebuah cara untuk mendapatkan rezeki dengan mudah. Guo Boxiong dan Xu Caihou, dua jenderal militer yang dijatuhi hukuman penjara karena kecurangannya, ini baru dua contoh.
Kebohongan Ekonomi Ketiga: ‘Biarkan Beberapa Orang Menjadi Kaya Lebih Dulu”
Kebohongan ketiga Partai Komunis Tiongkok adalah reformasi ketika Deng Xiaoping menggembar-gemborkan “biarkan beberapa orang menjadi kaya lebih dulu” pada pertengahan tahun 1980-an, dan orang-orang Tiongkok yang biasa mengira mereka termasuk di antara “beberapa orang” untuk menjadi kaya.
Faktanya, mayoritas orang Tiongkok adalah penduduk pedesaan. Sejak apa yang disebut praktik pendaftaran rumah tangga diperkenalkan di era Mao Zedong, orang-orang pedesaan Tiongkok semuanya berubah menjadi warganegara yang lebih rendah derajatnya.
Di bawah pemerintahan Partai Komunis Tiongkok, apa yang disebut “pekerja migran” lahir. Istilah tersebut mengacu pada pekerja kota dari daerah pedesaan. Mereka itu tidak akan diberikan sebuah status penduduk kota kecuali mereka mampu membeli sebuah rumah yang sangat mahal di kota.
Pekerja migran, tidak memiliki asuransi kesehatan atau jaminan sosial jangka-panjang, dan anak-anak mereka tidak dapat bersekolah atau menempuh ujian masuk perguruan tinggi nasional, bersama dengan rekan-rekan mereka di daerah-daerah perkotaan.
Pekerja migran menghabiskan setengah dari hidupnya bekerja di lokasi konstruksi dan jalur-jalur perakitan pabrik, tetapi pada akhirnya, pekerja migran tersebut masih harus kembali ke pedesaan untuk pensiun.
Sebagian besar penduduk pedesaan tetap relatif miskin, meskipun ekonomi Tiongkok adalah salah satu ekonomi top dunia. Bahkan dengan kontribusi dari pekerja-pekerja migran, pengeluaran konsumsi tahunan per kapita tahun 2019 untuk orang-orang Tiongkok di pedesaan, kira-kira sebesar USD 2.000, dengan konsumsi harian per kapita sebesar sekitar USD 5,60.
Menurut data yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada tahun 2018, garis standar kemiskinan adalah USD 5,50 per hari di negara-negara berpenghasilan menengah ke atas. Dengan kata lain, setelah beberapa dekade reformasi dan keterbukaan, ratusan juta penduduk di pedesaan Tiongkok masih hidup dekat dengan garis kemiskinan.
Keberadaan populasi berpenghasilan-rendah yang begitu besar menunjukkan bahwa, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang tinggi hanya menciptakan masyarakat relatif miskin terbesar di dunia. Pada saat yang sama, hal tersebut telah menciptakan sebuah kelas elit kroni yang merupakan minoritas kecil dari populasi, tetapi yang kekayaan rumah tangganya adalah jauh lebih besar daripada rata-rata kelas menengah ke atas di negara-negara Barat.
Kebohongan Ekonomi Keempat: Restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara
Komunis Tiongkok mulai memprivatisasi perusahaan milik negara (BUMN) pada tahun 1997, tetapi sampai hari ini, Komunis Tiongkok masih menolak untuk mengakui bahwa privatisasi itu diselesaikan lebih dari 20 tahun yang lalu.
Alasan di balik privatisasi tersebut adalah bahwa kepemilikan publik Komunis Tiongkok atas perusahaan-perusahaan telah benar-benar gagal dan BUMN telah menjadi sebuah beban ekonomi yang berat bagi pemerintah Tiongkok, yang menyebabkan hampir runtuhnya sistem perbankan.
Lebih dari 20 persen pinjaman BUMN diberikan oleh empat bank besar milik negara pada awal tahun 1990-an adalah kredit-kredit macet.
Pada tahun 1996, kredit-kredit macet dari BUMN di sistem perbankan dan tunggakan pinjaman BUMN mencapai sekitar 70 persen dari total pinjaman. Untuk menyelamatkan sistem perbankan dari kehancuran, Partai Komunis Tiongkok meluncurkan privatisasi komprehensif BUMN pada paruh kedua tahun 1997.
Kunci privatisasi adalah siapa yang akan membeli BUMN. Rata-rata gaji bulanan manajer BUMN tidak akan mampu membeli BUMN, dan modal asing berperan minimal dalam proses-proses privatisasi BUMN.
Penulis menganalisis 130 kasus privatisasi BUMN di 29 provinsi dan kota, hasilnya menemukan metode-metode utama yang digunakan Partai Komunis Tiongkok untuk memprivatisasi BUMN. Karena rahasia gelap ini, Partai Komunis Tiongkok tidak mengizinkan studi-studi domestik terhadap proses privatisasi, dan media pemerintah pada dasarnya tidak memberitakan kebenaran mengenai privatisasi BUMN.
Salah satu metodenya adalah Partai Komunis Tiongkok mengizinkan manajer-manajer dari hampir 1 juta BUMN untuk mendapatkan pinjaman-pinjaman dari bank-bank dengan jaminan atas nama perusahaan. Kemudian manajer-manajer itu membeli barang milik negara dengan pinjaman tersebut dan manajer-manajer itu diizinkan untuk mendaftarkan perusahaan yang mereka kelola atas nama mereka sendiri atau atas nama anggota-anggota keluarganya.
Setelah itu, para manajer menggunakan dana-dana bisnis publik dalam kapasitas mereka itu sebagai pemilik bisnis, untuk mengembalikan pinjaman bank di mana mereka telah membeli bisnis tersebut secara pribadi.
Cara lainnya adalah para manajer BUMN memaksa karyawan mereka untuk membeli sebagian saham perusahaan-perusahaan.
Para Karyawan harus menggunakan tabungan keluarganya untuk membeli saham perusahaan, tak lain untuk mempertahankan pekerjaannya, tetapi mereka tidak diperbolehkan untuk menyelidiki operasi perusahaan itu atau pemindahan aset. Para Karyawan juga dipaksa menyumbangkan uang, tujuannya membantu manajemen BUMN untuk mengakuisisi kepemilikan BUMN.
Metode ketiga adalah bahwa pihak berwenang berkomplot dengan pasangan dan anak-anak keluarga merah ini yang berkuasa, menggunakan jaringan mereka untuk membantu BUMN yang besar agar terdaftar, di mana mereka diberikan saham gratis dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar. Kemudian mereka mendapat untung besar dari saham tersebut dengan menaikkan harga saham tersebut.
Ada total 110.000 BUMN industri nasional pada tahun 1996, dan per akhir tahun 2008, hanya tersisa 9.700 BUMN, termasuk BUMN yang besar yang telah diprivatisasi sebagian.
Menurut dua survei sampel nasional yang didanai oleh Bank Dunia dan lainnya, sekitar 50 hingga 60 persen perusahaan dimiliki secara pribadi oleh manajemen, dan sekitar seperempat dari perusahaan tersebut dibeli oleh investor dari luar perusahaan itu. Investor ini berasal dari industri-industri lainnya di dalam negeri, di mana kurang dari 2 persen adalah investor-investor asing. Hanya 10 persen perusahaan diprivatisasi bersama oleh manajemen dan karyawan.
Restrukturisasi BUMN semacam ini, hampir seperti sebuah pembagian terbuka dan perampasan aset-aset nasional oleh manajemen, bersama-sama dengan atasan-atasan mereka (pejabat-pejabat pemerintah daerah) dan generasi merah kedua.
Dari tahun 1998 hingga 2003, ketika elit merah secara ekstensif mengambil alih aset BUMN yang kecil dan BUMN yang menengah melalui privatisasi, rezim komunis secara khusus menutup Administrasi Aset-Aset Negara, yang bertanggung jawab untuk mengawasi BUMN, menciptakan sebuah periode jendela di mana pengawasan BUMN tidak hadir selama enam tahun kritis privatisasi.
Hal ini memudahkan penggelapan aset BUMN oleh elit merah.
Saat itu, Partai Komunis Tiongkok mempropagandakan bahwa PHK pekerja BUMN adalah sebuah pengorbanan yang diperlukan untuk reformasi, tetapi rezim Tiongkok tidak mau memberi sebuah tunjangan pengangguran terpadu untuk pekerja-pekerja yang diberhentikan.
Rezim Tiongkok melempar tanggung jawab ini kepada bos-bos merah dari perusahaan yang diprivatisasi, dan jika pemilik yang baru tidak mau membayar tunjangan pengangguran, rezim komunis Tiongkok tidak peduli. Akibatnya, puluhan juta mantan pekerja BUMN itu diturunkan statusnya menjadi warga kota yang miskin, yang berjuang untuk kelangsungan hidupnya.
PKT Sedang Membuat Rakyat Tiongkok Membayar Utangnya
Kini Partai Komunis Tiongkok membanggakan bahwa ekonominya akan melampaui Amerika Serikat. Masyarakat yang kurang informasi mudah dibingungkan oleh kemakmuran yang dangkal dari konstruksi perkotaan dan infrastruktur seperti kereta api berkecepatan tinggi.
Masyarakat salah mengira itu adalah pencapaian Partai Komunis Tiongkok, tetapi pada kenyataannya, itu adalah sebuah utang besar yang akan mengakibatkan kesulitan-kesulitan internal yang tidak ada habisnya.
Sejak awal abad ini, Partai Komunis Tiongkok telah berubah dari pernah mengandalkan pasar-pasar internasional dengan mengandalkan sepenuhnya pada real estat dan infrastruktur untuk menggerakkan perekonomian. Inflasi real estate yang berlebihan telah menciptakan sebuah gelembung ekonomi berbahaya yang telah meninggalkan sistem perbankan di bibir kebangkrutan. Pemerintah-pemerintah daerah telah lama mengandalkan pendapatan dari penjualan tanah untuk mempertahankan keuangan-keuangan setempat, sebuah jalan yang kini telah berakhir.
Dengan ketergantungannya pada ekspor, ekonomi Partai Komunis Tiongkok sangat bergantung pada pinjaman yang berlebihan oleh warganegara Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya.
Dengan kata lain, semakin banyak uang yang bersedia dibelanjakan oleh orang-orang Barat, semakin ekonomi Tiongkok dapat menopang dirinya sendiri. Itulah mengapa Partai Komunis Tiongkok, di tengah-tengah hubungan-hubungan Tiongkok–Amerika Serikat saat ini, masih mengharapkan Amerika Serikat untuk menghilangkan tarif-tarif impor. Namun, Amerika Serikat tidak mau lagi mengorbankan masa depannya untuk kelangsungan hidup Partai Komunis Tiongkok.
Saat ini, Partai Komunis Tiongkok meminjam utang luar negeri dengan suku bunga yang tinggi untuk mengimpor makanan, minyak, bijih besi, dan chip-chip yang diperlukan untuk menopang perekonomiannya. Ini adalah sama dengan memajukan pengeluaran dalam hal pembiayaan internasional.
Di dalam negeri, Kementerian Keuangan Komunis Tiongkok mengakui belum lama ini bahwa “akumulasi utang pemerintah adalah 46,6 triliun yuan per akhir tahun 2020, yang menyumbang 46 persen dari Produk Domestik Bruto.” Ini tidak mencakup banyak obligasi konstruksi perkotaan yang diterbitkan oleh pemerintah-pemerintah daerah dan utang-utang yang dikeluarkan oleh tiga bank kebijakan sentral: China Development Bank, The Export-Import Bank of China dan The Agricultural Development Bank of China. Adalah aman untuk mengatakan bahwa, utang-utang di semua tingkat keuangan juga telah mencapai tepi kehancuran di semua tingkat keuangan.
Awalnya, tujuan pengeluaran pemerintah daerah dalam jumlah besar obligasi dan keterlibatan aktif dalam investasi infrastruktur adalah untuk menggunakan pendapatan dari penjualan tanah untuk membayar utang-utangnya. Cara pengeluaran defisit ini adalah tidak lagi tersedia karena pemerintah pusat bersaing dengan pemerintah-pemerintah daerah untuk sumber-sumber keuangan. Mulai 1 Juli tahun ini, pemerintah pusat mengumumkan bahwa pendapatan dari penjualan tanah di daerah akan ditransfer ke pemerintah pusat, dan kebijakan ini mulai dijalankan di kota Shanghai dan Provinsi Zhejiang, Hebei, Mongolia Dalam, Anhui, dan Yunnan. Mulai 1 Januari tahun depan, seluruh Tiongkok akan mengikuti aturan tersebut.
Ini merupakan sebuah pukulan fatal bagi pemerintah-pemerintah daerah, yang tidak akan mampu membayar kembali sejumlah besar obligasi yang diterbitkan oleh mereka untuk pengembangan infrastruktur dan real estate.
Untuk bertahan hidup, perbendaharaan daerah perlu mempercepat pengenalan pajak properti, yang akan memecahkan gelembung real estat, dan para pemilik rumah akan membayar sejumlah besar uang untuk melunasi utang pihak berwenang.
Kini pasar perumahan, keuangan, dan bank Tiongkok dalam keadaan tegang. Tidak hanya ledakan ekonomi tidak mungkin kembali, tetapi kesulitan-kesulitan ekonomi tercermin dalam pengangguran tinggi dan upah-upah yang rendah semakin memburuk dari hari ke hari, mengakhiri “masa lalu yang baik” untuk ekonomi Tiongkok.
Gaya hidup mendatar (yaitu, gaya hidup anak muda tidak mencari sebuah pekerjaan maupun pasangan, tidak menikah, dan hidup pada tingkat terendah dari uang pensiun orangtuanya), menjadi populer di kalangan beberapa anak muda sekarang, mencerminkan, sebagian besar, suasana pesimis generasi muda akan masa depan. (Vv)
Penulis adalah Cheng Xiaonong seorang pakar politik dan ekonomi Tiongkok yang berbasis di New Jersey. Cheng adalah seorang peneliti kebijakan dan ajudan mantan pemimpin Partai Komunis Tiongkok, Zhao Ziyang. Ia juga menjabat sebagai pemimpin redaksi Modern China Studies