Eva Fu
Fang Siyi tidak ingat berapa kali ia ditangkap sebelum ia melarikan diri dari Komunis Tiongkok.
Seorang praktisi Falun Gong berusia 51 tahun, sebuah latihan spiritual yang terkenal dengan prinsip inti “Sejati, Baik, dan Sabar,” ia kehilangan dua saudara kandung karena penargetan penganiayaan yang menyeluruh oleh Komunis Tiongkok terhadap keyakinannya sejak tahun 1999. Seorang praktisi Falun Gong dipukuli sampai mati, praktisi Falun Gong yang lain dipaksa meninggalkan rumahnya dan meninggal beberapa tahun kemudian setelah tekanan tindakan keras yang merugikan kesehatannya.
Fang Siyi, dirinya sendiri, terus-menerus diintimidasi dan ditahan oleh polisi di kampung halamannya di Jilin, sebuah kota di timur laut Tiongkok.
Pada tahun 2001, ia ditangkap karena memberikan perlindungan kepada dua rekan praktisi Falun Gong, yang berada di militer Tiongkok.
Saat ditahan, Fang Siyi secara teratur disuntik dengan sebuah obat beracun selama jangka waktu dua bulan. Obat-obatan itu menyebabkan perutnya membengkak. Setelah itu, mulai dari jari-jari kakinya, kulitnya mulai berwarna seperti terong: warna hitam-ungu.
Fang Siyi kehilangan lebih dari 25 kg selama periode penahanan itu.
Di sebuah kamp kerja paksa yang diperuntukkan bagi wanita praktisi Falun Gong, Fang Siyi dilarang tidur dan disetrum dengan tongkat listrik di bagian-bagian intimnya. Praktisi Falun Gong yang lain, seorang wanita yang belum menikah berusia 20-an, juga mengalami sengatan listrik seperti itu. Wanita itu kehilangan akal sehat di tempat kejadian dan tidak pernah kembali normal, demikian dikatakan Fang Siyi kepada The Epoch Times.
Fang Siyi, yang melarikan diri ke Thailand pada tahun 2006 dan kemudian datang ke Amerika Serikat, adalah salah satu dari sekitar 70 juta hingga 100 juta praktisi Falun Gong yang ditangkap di bawah kampanye pemberantasan nasional, diprakarsai oleh Komunis Tiongkok yang menganggap popularitas Falun Gong adalah sebuah ancaman bagi kekuasaannya.
Sakit dan Duka
Pada pawai 16 Juli 2201 di Capitol Hill yang menandai tahun ke-22 sejak peluncuran penganiayaan tersebut, Fang Siyi, bersama dengan sekitar 1.500 praktisi Falun Gong, berkumpul dengan mengenakan kemeja warna kuning yang menjadi ciri khas mereka, memegang spanduk-spanduk yang menyerukan diakhirinya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia.
Ke arah deretan-deretan depan terdapat pajangan berlapis karangan bunga, masing-masing menampilkan wajah kehidupan yang hilang.
Minghui.org, sebuah situs web yang didirikan di Amerika Serikat untuk mendokumentasikan penganiayaan tersebut, telah melacak rincian-rincian lebih dari 4.500 korban, tetapi mencatat bahwa jumlah kematian yang sebenarnya kemungkinan jauh lebih besar karena kesulitan memperoleh informasi dari Tiongkok.
Komisi Eksekutif-Kongres mengenai Tiongkok, sebuah badan yang dipimpin oleh bipartisan anggota parlemen Amerika Serikat, pada hari Jumat, menyoroti “pelanggaran-pelanggaran yang mengerikan” yang diderita praktisi Falun Gong. Komisi ini untuk “mengakhiri dengan segera penindasan ini” dan dilakukan sebuah penyelidikan oleh Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Database tahanan politik Komisi Eksekutif-Kongres mengenai Tiongkok berisi 484 praktisi Falun Gong saat ini ditahan di Tiongkok, beberapa dari praktisi Falun Gong itu dijatuhi hukuman lebih dari satu dekade di penjara.
Cui Fenglan, seorang pustakawan sekolah dari kota Harbin Provinsi Heilongjiang, provinsi paling utara di Tiongkok, dijatuhi hukuman penjara 15 tahun karena membeli sebuah ornamen dengan kata-kata “Sejati, Baik, dan Sabar,” Minghui melaporkan pada tahun 2017.
Jutaan praktisi Falun Gong mengalami berbagai bentuk penahanan, dan ratusan ribu praktisi Falun Gong disiksa selama dua dekade terakhir, menurut Pusat Informasi Falun Dafa.
Sementara itu, Partai Komunis Tiongkok juga menyebabkan jumlah kematian yang tidak terhitung melalui kejahatan panen organ hidup-hidup–—penyalahgunaan sanksi oleh negara yang menargetkan terutama para praktisi Falun Gong yang masih berlanjut hari ini.
Liu Xitong, seorang kaligrafer dari Provinsi Shandong, timur Tiongkok yang juga berulang kali ditahan, mengatakan seluruh tulang di sekujur tubuhnya dipukul dengan tongkat-tongkat kayu, sambil ditampar kepalanya dengan sol sepatu. Para penyiksa juga berdiri di atas kepala dan tubuhnya untuk mencegahnya bergerak, kata Liu Xitong.
Rasa sakitnya begitu menyiksa sehingga Liu Xitong ingin mati saat itu juga.
Liu Xitong mengatakan bahwa para tahanan juga berulang kali mencubit kulitnya dari ujung kepala sampai ujung kaki, sebuah siksaan yang disamakan dengan “menguliti” dan membuatnya berteriak sambil berguling-guling di tanah. Akibatnya, kulitnya mulai membusuk dan bernanah.
‘Memalukan Dunia’
Rezim Tiongkok telah mampu melakukan kampanye melawan Falun Gong dengan kebal hukum, karena Falun Gong tidak dikenal di luar Tiongkok ketika penganiayaan itu dimulai, kata Christine Lin, direktur kreatif untuk kelompok advokasi, Friends of Falun Gong.
Selama dua dekade terakhir, Partai Komunis Tiongkok mampu menyempurnakan model penganiayaan ini untuk digunakan pada kelompok korban, kata Christine Lin kepada The Epoch Times.
“Karena rentang waktu itu, Partai Komunis Tiongkok dapat menggunakan praktisi Falun Gong sebagai kelinci percobaan dengan metode-metode penyiksaan terbaik, cara-cara terbaik untuk menggunakan obat-obat psikiatri pada orang, cara-cara terbaik untuk melakukan kerja paksa dan panen organ secara paksa,” kata Christine Lin.
“Dengan pengalaman itu, kini Partai Komunis Tiongkok menemukan betapa menguntungkannya hal tersebut–—untuk mengambil organ-organ dari orang-orang, untuk memaksa mereka membuat produk tanpa bayaran.”
Kini, Christine Lin berkata, “adalah tugas kita untuk memastikan bahwa penganiayaan yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok tidak terjadi diekspor ke seluruh dunia.”
Christine Lin menambahkan bahwa memahami kampanye rezim Tiongkok melawan Falun Gong adalah penting untuk mengenali “psikologi Partai Komunis Tiongkok,” dan keinginan Partai Komunis Tiongkok untuk “mendiktekan segalanya sampai ke pikiran-pikiran kecil di dalam pikiran anda.”
Dede Laugesen, direktur eksekutif Save the Persecuted Christians, mengatakan kepada The Epoch Times, bahwa kegagalan komunitas global untuk menanggapi penindasan tersebut adalah “memalukan bagi dunia.”
Tetapi dengan “semakin banyak yang terungkap melalui pandemi tahun lalu, dunia sadar akan kejahatan Komunis Tiongkok,” kata Dede Laugesen. (Vv)