oleh Xu Jian
Pengadilan Jepang memanggil pemimpin Korea Utara Kim Jong-un untuk hadir di pengadilan bulan depan untuk dimintai keterangan. Itu sebagai akibat beberapa warga Jepang asal Korea Utara menggugat penipuan yang dilakukan pemerintah Korea Utara, yang mana dalam propagandanya menciptakan gambaran seakan Korea Utara yang menganut sosialisme adalah “surga di bumi”. Kim juga mengimbau orang-orang Korea Utara yang tinggal di Jepang untuk kembali hidup di Korea Utara. Namun kenyataannya, yang mereka temui bukanlah kebahagiaan ala sosialisme, tetapi perlakuan seperti budak dan kengerian hidup.
Pada Selasa 7 September, 5 orang penggugat mengajukan kompensasi di pengadilan Jepang, menuntut agar Korea Utara membayar 100 juta Yen atau setara 900.000 dolar AS, kepada setiap penggugat atas pelanggaran hak asasi manusia dalam “rencana pulang kampung halaman”. Untuk itu, Pengadilan Jepang telah memanggil pemimpin Korea Utara Kim Jong-un untuk hadir di pengadilan pada 14 Oktober.
Dari tahun 1959 hingga 1984, Korea Utara meluncurkan “rencana pulang kampung halaman” berskala besar bagi orang Korea Utara yang tinggal di Jepang maupun negara lainnya, yang mana tujuan pemerintah adalah untuk menutupi kekurangan tenaga kerja karena tewasnya sejumlah pekerja di medan perang.
Rencana tersebut digambarkan oleh pemerintah Korea Utara sebagai “surga di bumi” dan memberikan janji-janji kehidupan yang lebih baik, seperti pengobatan gratis, perawatan kesehatan gratis, pendidikan gratis, kepastian bekerja, dan tunjangan lainnya.
Dengan demikian, Korea Utara berhasil menarik sekitar 93.000 orang Korea perantauan yang tidak mengetahui kebenaran untuk balik ke kampung halaman, tentunya mereka mendambakan kehidupan yang lebih baik di Korea Utara.
Media Inggris ‘Guardian’ melaporkan bahwa Kenji Fukuda, seorang pengacara yang mewakili 5 orang penggugat mengatakan bahwa meskipun Kim Jong-un diperkirakan tidak akan hadir di pengadilan pada 14 Oktober, tetapi hakim Jepang tidak mengabaikan panggilan Kim Jong-un karena di Jepang tidak berlaku kekebalan hukum bagi orang asing.
Eiko Kawasaki yang berusia 79 tahun adalah salah satu penggugat. Sebagai seorang wanita Korea Utara yang lahir dan besar di Jepang, dia meninggalkan Jepang lantaran terpikat oleh propaganda pemulangan ketika dirinya baru berusia 17 tahun (tahun 1960). Pada saat itu, banyak juga orang Korea Utara yang tinggal di Korea Selatan juga pulang ke kampung halaman dengan ikut program tersebut.
Saat itu warga Korea Utara yang tinggal di Jepang belum menyatu dengan masyarakat Jepang, Pemerintah Jepang pun menyambut baik rencana tersebut dan membantu mengatur transportasi bagi warga yang mau mudik ke Korea Utara.
Eiko Kawasaki mengatakan bahwa begitu tiba di Korea Utara, dia “ditahan” oleh pemerintah Korea Utara selama 43 tahun. Dan. baru menemukan kesempatan untuk melarikan diri pada tahun 2003, tetapi anak-anaknya yang sudah dewasa terpaksa tinggal di Korea Utara. Dia mengatakan bahwa Korea Utara berjanji untuk memberikan perawatan medis gratis, pendidikan gratis dan manfaat lainnya, tetapi tidak ada satupun yang terealisasi. Sebagian besar migran yang pulang kampung halaman tersebut, ditugaskan untuk melakukan pekerjaan kasar seperti di pertambangan, kehutanan atau pertanian.
Eiko mengatakan dalam konferensi pers pada hari Selasa : “Jika kita mengetahui kebenaran tentang Korea Utara (lebih awal), siapa pun tidak mau pergi ke sana”.
Eiko Kawasaki dan empat pembelot lainnya menggugat pemerintah Korea Utara di Pengadilan Distrik Tokyo pada bulan Agustus 2018. Pengacara mereka Kenji Fukuda mengatakan bahwa, setelah tiga tahun diskusi pra-persidangan, pengadilan setuju untuk memanggil Kim Jong-un agar dihadirkan di persidangan pertama pada bulan Oktober.
Fukuda berharap kasus ini dapat menjadi preseden bagi Jepang dan Korea Utara untuk mengejar tanggung jawab Korea Utara di masa depan dan untuk negosiasi setelah normalisasi hubungan diplomatik.
Kawasaki percaya bahwa pemerintah Jepang juga harus bertanggung jawab atas pemulangan orang-orang Korea Utara ini. Jepang menjajah Semenanjung Korea dari tahun 1910 hingga 1945. Ayah Eiko Kawasaki adalah salah satu dari ratusan ribu orang Korea Utara yang dibawa pergi oleh Jepang.
Karena keterbatasan waktu gugatan, penggugat tidak dapat secara hukum meminta pertanggungjawaban pemerintah Jepang atas rencana pemulangan itu, tetapi Kawasaki berharap gugatan terhadap kasus ini paling tidak bisa membantu ribuan peserta program “surga di bumi” yang masih tinggal di Korea Utara.
“Mereka masih menunggu untuk diselamatkan dari Korea Utara, Kita telah sampai ke titik ini dengan menghabiskan banyak waktu. Akhirnya tibalah saatnya untuk kita mendapatkan keadilan”, kata Eiko Kawasaki. (sin)