Michael Washburn
Undang-Undang Sensor film yang disahkan oleh legislatif Hong Kong minggu lalu, seolah-olah ditujukan untuk mempromosikan keamanan nasional, para pengamat mengatakan di tengah memburuknya kebebasan intelektual dan kreatif di Hong Kong, undang-undang sensor film tersebut sebagai salah satu upaya terang-terangan untuk menindas Hong Kong lebih dekat dengan mesin pemerintahan otoriter di Beijing.
Secara teoritis Undang-Undang Sensor film Hong Kong, ditujukan kepada konten film yang dapat membahayakan keamanan negara serta mengancam para pelanggar dengan denda dan hukuman kurungan hingga tiga tahun.
Undang-Undang sensor film tersebut adalah sebuah bagian pendekatan tangan-besi Beijing yang lebih umum, seperti yang dicontohkan oleh Undang-Undang Keamanan Nasional yang diberlakukan di Hong Kong pada tahun 2020.
Langkah baru-baru ini adalah bagian upaya Beijing dalam mengantisipasi tahun 2046—–akhir periode 50 tahun di mana Beijing mempertahankan kebebasan dan otonomi Hong Kong yang tidak ditemukan di Daratan Tiongkok.
“Dari sudut pandang Beijing, undang-undang baru ini adalah bagian proses menyelaraskan standar, nilai, dan praktik Hong Kong dengan pedoman di seluruh Republik Rakyat Tiongkok,” kata Chris Berry, seorang profesor studi film di King’s College London yang telah banyak menulis mengenai bioskop Tiongkok dan menyunting dua seri buku untuk Hong Kong University Press.
“Saat kita berjalan hingga tahun 2046 … keselarasan yang semakin dekat adalah tujuannya. Tetapi dari sudut pandang penduduk setempat di Hong Kong yang menghargai sistem keberadaan mereka, hal itu adalah bukti lebih lanjut dari kemunduran,” tambahnya.
Penindasan yang Ditingkatkan
Undang-undang baru tersebut adalah tidak mengejutkan, mengingat penolakan pemimpin Tiongkok Xi Jinping secara eksplisit terhadap nilai-nilai “Barat” seperti kebebasan berbicara adalah tidak sesuai dengan sebuah masyarakat yang harmonis, kata Chris Berry.
Hal ini mewakili sebuah ekspansi, dalam kedok yang tidak meyakinkan untuk mempromosikan keamanan nasional, dari banyak tindakan otoriter dan represif yang sama oleh Beijing telah berlaku di Tiongkok dan di Hong Kong selama bertahun-tahun.
Namun, undang-undang tersebut kemungkinan akan memengaruhi beberapa pembuat film dan genre film lebih dari yang lain. Untuk semua nilai yang banyak di Hong Kong menempatkan kemerdekaan politik dan artistik, tidak semua pembuat film di Hong Kong berupaya mengikuti sebuah jalan yang benar-benar independen dari Beijing, mengingat potensi pasar yang sangat menguntungkan untuk film di Tiongkok, di mana pengembalian box office melebihi pasar lain di dunia.
Produksi bersama Tiongkok–Hong Kong seperti “Project Gutenberg,” “Operasi Laut Merah” dan “L Storm” telah melakukan dengan sangat baik secara komersial, dan sutradara terkemuka Hong Kong seperti Tsui Hark mempertahankan sebuah kantor di Tiongkok.
Chris Berry melihat industri film Hong Kong mengalami penurunan sebuah jalur bercabang setelah pelaksanaan sebuah perjanjian perdagangan bebas antara Tiongkok Daratan dengan Hong Kong pada 1 Januari 2004. Di bawah perjanjian tersebut, produksi bersama Hong Kong–Tiongkok menikmati status film domestik dan tidak tunduk pada kuota ketat Tiongkok untuk film asing. Para pembuat film Hong Kong yang berpikiran komersial telah memanfaatkan peluang tersebut dan memasukkan proyek mereka ke dalam kebudayaan Daratan Tiongkok, sangat banyak termasuk sensor yang berlaku di sana, kata Chris Berry.
Oleh karena itu, Undang-Undang baru ini tidak banyak berubah bagi para Filmmaker bersama Hong Kong–Tiongkok. Di mana hal itu mungkin memiliki sebuah efek yang jauh lebih besar, dan menjadi lebih mengikis sedikit kebebasan politik dan kreatif yang tersisa di Hong Kong, berada dalam domain para pembuat film lokal yang mengejar proyek film independen.
“Para pembuat film Hong Kong yang ingin fokus pada kebudayaan dan isu-isu di Hong Kong, dan terus-menerus menggunakan kebebasan berbicara membangun sebuah kebudayaan yang hidup dari film beranggaran kecil, mulai dari dokumenter, Film pendek hingga fitur dramatis,” kata Chris Berry.
“Sebuah industri distributor setempat dan bioskop mengedarkan film mereka. Kelangsungan hidup industri setempat ini adalah diragukan di bawah kondisi-kondisi undang-undang yang baru itu,” ujarnya.
Siapa yang Paling Dalam Bahaya?
Meskipun akan menyenangkan untuk membayangkan bahwa film diproduksi dan dirilis sebelumnya untuk pelaksanaan hukum tersebut dikecualikan. Chris Berry melihat hukum tersebut terjadi saat ini yang mempengaruhi masa lalu, dan di situlah bahayanya mungkin yang terhebat bagi para pembuat film independen.
Tentu saja, ketika para pembuat film independen membuat pekerjaannya, mereka tidak mengetahui bahwa konten dalam film mereka akan melanggar sebuah undang-undang yang belum ada di buku.
Chris Berry menilai mungkin atau bahkan cenderung seperti film antologi dystopia tahun 2015 “Ten Years,” yang memenangkan Best Picture di Penghargaan Film Hong Kong ke-35 dan menjadi target serangan ganas dari pers yang dikendalikan Partai Komunis Tiongkok, karena penggambaran “Ten Years” mengenai memburuknya represi politik dan pelecehan terhadap penduduk, mungkin sekarang berada di bawah pengawasan sensor.
“’Ten Years’ adalah sebuah koleksi film pendek yang membayangkan seorang distopia masa depan di Hongkong. Pada saat itu, “Ten Years” tampak histeris dan berlebihan bagi banyak orang. Sekarang, hanya enam tahun kemudian, komentator yang sama mengatakan “Ten Years” adalah tepat,” kata Chris Berry.
Dalam pandangan Chris Berry, komunitas kecil para pembuat film Tiongkok Daratan yang diasingkan ke Hong Kong dengan harapan menemukan sebuah lingkungan yang lebih bebas di mana untuk bekerja sekarang mungkin menemukan kebebasan itu dibatasi.
‘Penahanan’ dan Kebudayaan Setempat
Michael Berry (tidak berkaitan), Direktur Pusat UCLA untuk Studi Tiongkok, juga melihat integrasi yang semakin ketat dari sebagian besar industri film Hong Kong dengan Republik Rakyat Tiongkok, dan sebuah peran yang berkembang untuk banyak nama terkemuka di Hong Kong dalam film-film yang diproduksi di Daratan TIongkok.
Michael Berry mengatakan Peter Chan, Tsui Hark, Dante Lam, dan Stephen Chow adalah contoh talenta Hong Kong yang mengambil kesempatan untuk membuat film beranggaran besar di Tiongkok, dengan semakin berkurangnya minat pada kebudayaan setempat Hongkong. Kehidupan profesional mereka cenderung mengalami gangguan yang relatif sedikit akibat undang-undang baru tersebut.
“Penahanan yang tinggal di Hong Kong untuk membuat film berbahasa Kanton yang diisi dengan warna setempat dan diinformasikan oleh sebuah sikap politik yang lebih tegang adalah sudah cukup kecil jumlahnya dibandingkan dengan eksodus daftar-A ke Daratan Tiongkok,” kata Michael Berry.
Sekarang, hal-hal tersebut bahkan lebih sulit bagi penahanan, yang tidak hanya harus bergulat dengan kesulitan ekonomi membuat film-film dengan anggaran lebih kecil tetapi dengan apa yang disebut Michael Berry sebagai “sebuah ladang ranjau baru dari zona merah politik yang harus dihindari.”
Menurut Berry, Sebagai akibatnya, banyak pembuat film Hong Kong memilih untuk membuat film dengan nama samaran, menyensor pekerjaannya sendiri, pergi ke luar negeri, atau menyerah dan berhenti memproduksi film.
Michael Berry melihat apa yang terjadi di Hong Kong sebagai gejala “kebaikan kisah Tiongkok” bahwa Partai Komunis Tiongkok telah secara agresif didorong, yang membuat Hong Kong kesulitan, jika bukan tidak mungkin, bagi para pembangkang untuk mengklaim legitimasi dan membawa pesan mereka ke masyarakat.
Michael Berry menunjuk ke Denise Ho, Chapman To, dan Anthony Wong sebagai contoh para pembuat film dan seniman yang telah berbicara secara terbuka menentang penindasan Partai Komunis Tiongkok dan yang mungkin sekarang menemukan hidup mereka bahkan lebih sulit.
Tetapi efek dari undang-undang yang baru itu tidak berhenti sampai di situ.
“Selain aktivis-aktivis publik dan selebriti-selebriti, bahkan film dokumenter independen yang beranggaran kecil mengenai topik-topik seperti 4 Juni, Gerakan Payung, Hak Asasi LGBTQ, dan area lain yang dianggap ‘sensitif’ di Tiongkok Daratan mengalami risiko dihapus,” kata Chris Berry.
“Industri film Hong Kong selalu merupakan sebuah industri yang didorong lebih komersial daripada daerah lain dan perubahan baru ini akan lebih lanjut memastikan bahwa suara film seni ikonoklastik yang sudah terpinggirkan dan sinema politik yang tegang akan didorong lebih jauh dari pusat.” (Vv)
Michael Washburn adalah reporter lepas berbasis di New York yang meliput topik terkait Tiongkok. Ia memiliki latar belakang jurnalisme hukum dan keuangan, dan juga menulis tentang seni dan budaya. Selain itu, ia adalah pembawa acara podcast mingguan “Reading the Globe.” Buku-bukunya termasuk “The Uprooted and Other Stories,” “When We’re Grownups,” dan “Stranger, Stranger.”