Naveen Athrappully
Ilmuwan Afrika Selatan menemukan sebuah varian COVID-19 yang baru yang mereka katakan mungkin berada di balik lonjakan infeksi baru-baru ini di Afrika Selatan, yang mengakibatkan kepanikan di seluruh dunia. Pasalnya, negara-negara takut terhadap penyebaran internasional dari variasi yang sangat bermutasi itu.
Afrika Selatan pernah memiliki 200 kasus baru yang dipastikan setiap hari, sampai baru-baru ini ketika angka tersebut secara tiba-tiba melonjak menjadi 2.465 pada hari Kamis 25 November. Ilmuwan mempelajari sampel-sampel virus dari wabah tersebut –— sebagian besar ditemukan terkonsentrasi di Gauteng, provinsi terpadat di Afrika Selatan dan Johannesburg adalah ibukotanya –—dan ditemukan varian baru tersebut, bernama B.1.1.529.
“Ini adalah sebuah varian mutasi yang menjadi perhatian serius,” kata Menteri Kesehatan Joe Phaahla pada sebuah konferensi pers pada hari Kamis 25 November.
Joe Phaahla mengatakan bahwa varian terbaru tersebut berada di balik “kenaikan eksponensial” banyak kasus, tetapi para ahli masih berupaya untuk memastikannya, karena membangun sebuah koneksi yang sebenarnya membutuhkan waktu.
Saat ini, tidak ada indikasi bahwa varian tersebut sudah tiba di Amerika Serikat. Sebagian besar kasus masih terkonsentrasi di Afrika Selatan dengan kasus-kasus lainnya dilaporkan di Botswana, Israel, dan Hong Kong, di mana infeksi itu diidentifikasi pada wisatawan-wisatawan yang datang dari Afrika Selatan. Belgia melaporkan kasus yang pertamanya untuk varian tersebut pada hari Jumat 26 November.
Ilmuwan Afrika Selatan Tulio de Oliveira mengatakan dalam konferensi pers hari Kamis 25 November, bahwa B.1.1.529 telah ditemukan memiliki sebuah “konstelasi unik” yang lebih banyak dari 30 mutasi pada protein lonjakannya, yang secara signifikan lebih tinggi daripada varian delta. Karena protein lonjakan mengikat sel-sel yang terinfeksi, sejumlah besar mutasi dapat mempengaruhi seberapa mudah varian tersebut menyebar di antara populasi.
Varian B.1.1.529 mengandung total 50 mutasi. Varian B.1.1.529 memiliki 10 mutasi pada reseptor ACE2, yang memungkinkan virus tersebut menginfeksi sel-sel manusia, dibandingkan dengan tiga mutasi pada varian Beta, dan dua mutasi pada varian Delta, menurut Tulio de Oliveira.
Kepala Konsorsium Genomik COVID-19 Inggris, Profesor Sharon Peacock mengatakan kepada Reuters bahwa “varian B.1.1.529 adalah sebuah varian yang lebih menular,” tetapi “sejumlah mutasi yang signifikan terdeteksi benar-benar tidak diketahui.” Ia menambahkan bahwa penelitian dilakukan dengan cepat di Afrika Selatan tetapi penelitian tersebut akan memakan waktu beberapa minggu untuk diselesaikan.
Lawrence Young, seorang ahli virologi di Universitas Warwick, mengatakan kepada The Associated Press bahwa varian tersebut “sepertinya menyebar dengan cepat,” meskipun saat ini hanya ditemukan di beberapa bagian Afrika Selatan.
Menurut Prof. Richard Lessells, dari Universitas KwaZulu-Natal di Afrika Selatan, varian terbaru itu membawa kesamaan dengan varian Beta dan varian Lambda, karena varian terbaru itu rentan untuk menghindari kekebalan.
“Semua hal inilah yang membuat kami khawatir bahwa varian ini mungkin tidak hanya meningkatkan daya penularannya — sehingga lebih efisien penyebarannya —– tetapi mungkin juga dapat mengatasi bagian sistem kekebalan dan perlindungan yang kita miliki dalam sistem kekebalan kita,” kata Prof. Richard Lessells.
Kasus yang terinfeksi sebagian besar ditemukan pada orang-orang muda. Berdasarkan Joe Phaahla, hanya sekitar 25 persen dalam kategori usia 18-34 yang saat ini divaksinasi di Afrika Selatan.
Mirip dengan varian Alpha, pengulangan terakhir dapat berasal dari satu orang dengan kekebalan tunggal yang dikompromikan secara genetik, dapat memodifikasi virus tersebut ketika tubuh orang tersebut tidak dapat menyingkirkannya tepat waktu.
Pejabat Amerika Serikat, di bawah bimbingan Dr. Anthony Fauci, sedang dalam pembicaraan dengan rekan-rekannya di Afrika Selatan untuk mengukur tingkat keparahan situasi tersebut dan menemukan lebih banyak rincian mengenai varian tersebut. Apakah Amerika Serikat akan memaksakan pembatasan perjalanan adalah belum jelas.
Bahkan jika pembatasan perjalanan itu diberlakukan, virus memiliki sebuah cara penyebaran dan hanyalah masalah waktu sebelum mencapai pantai Amerika Serikat, kata Dr. Michael Osterholm, seorang ahli penyakit menular di Universitas Minnesota, kepada The Associated Press.
“Kami telah menunjukkan berkali-kali bahwa jika varian tersebut muncul di mana pun di dunia, anda dapat melihat varian tersebut hampir di semua tempat di dunia,” menurut Dr. Michael Osterholm.
Wisatawan dari Afrika Selatan, Botswana, Namibia, Zimbabwe, Lesotho, dan Eswatini (sebelumnya Swaziland) harus mengisolasi diri selama 10 hari saat mereka tiba di Inggris. Uni Eropa sedang mempertimbangkan untuk melarang semua penerbangan dari bagian selatan Afrika.
India memerintahkan pengujian dan penyaringan terperinci terhadap orang-orang yang datang dari Afrika Selatan, Botswana, dan Hong Kong. Jepang juga telah membatasi perjalanan dari negara-negara bagian selatan Afrika.
WHO mengadakan sebuah pertemuan para ahli untuk mengetahui tingkat keparahan wabah tersebut.
“Kami belum tahu banyak mengenai hal ini. Yang kami ketahui adalah varian ini memiliki sejumlah besar mutasi, dan kekhawatiran tersebut adalah ketika anda memiliki begitu banyak mutasi sehingga dapat mengakibatkan sebuah dampak terhadap bagaimana virus tersebut berperilaku,” kata Maria Van Kerkhove, pimpinan teknis WHO mengenai COVID-19, di sebuah obrolan media sosial pada Kamis, seperti yang dilaporkan ABC News.
Karena hanya ada kurang dari 100 urutan genom yang lengkap dari varian tersebut, efek dari vaksin yang ada tidak dapat ditentukan.
“Hal ini akan memakan waktu beberapa minggu bagi kami untuk memahami dampak varian ini terhadap vaksin-vaksin yang potensial, misalnya,” kata Maria Van Kerkhove. (Vv)