Zhang Ting
Negara-negara kepulauan di Pasifik Selatan dikenal sebagai negara pariwisata daripada sumber daya alam yang menguntungkan. Sepintas, mungkin tidak tampak seperti wilayah yang penting secara geopolitik. Akan tetapi, kini negara-negara kepulauan tersebut telah menjadi medan pertempuran terbaru dalam persaingan Tiongkok-Amerika.
Beberapa hari terakhir, ketika Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi menyelesaikan kunjungan 10 hari ke delapan negara di kawasan pasifik, signifikansi strategis negara-negara kepulauan Pasifik sekali lagi menarik perhatian.
Meskipun Wang Yi gagal membujuk negara-negara kepulauan untuk menandatangani perjanjian regional yang mencakup kerja sama kepolisian, keamanan dan komunikasi data pada pertemuan puncak di Fiji dengan perwakilan 10 negara Pasifik, langkah tersebut mengkhawatirkan Amerika Serikat dan sekutunya yakni Australia dan Selandia Baru.
AS berjanji pada pekan lalu untuk meningkatkan dukungan bagi kawasan tersebut. Sementara Australia mengirim menteri luar negerinya ke negara-negara kepulauan Pasifik untuk melawan kunjungan diplomatik Wang Yi.
Selain itu, Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken mengunjungi Fiji pada Februari, sebagaikunjungan pertama oleh Menteri Luar Negeri AS yang menjabat dalam kurun waktu hampir 40 tahun. Kurt Campbell, Koordinator Dewan Keamanan Nasional untuk Urusan Indo-Pasifik juga mengunjungi Fiji pada bulan April lalu. Kunjungan diplomatik tersebut menggarisbawahi pentingnya kepulauan pasifik bagi Amerika Serikat.
Mengapa AS dan Australia Ingin Membendung Pengaruh Tiongkok di Negara-negara Kepulauan Pasifik?
Dari sudut pandang Washington dan Canberra, Beijing berusaha membangun pijakan militer di kawasan itu dengan memperkuat hubungan dengan negara-negara di Pasifik Selatan.
Hal ini akan berdampak pada kehadiran militer AS-Australia di Pasifik Selatan. Amerika Serikat memiliki pangkalan militer di Pasifik Selatan dan telah menandatangani Compact of Free Association dengan Negara Federasi Mikronesia, Republik Kepulauan Marshall, dan Republik Palau, memberikan Amerika Serikat akses ke hak aksi Militer di wilayah udara dan perairan negara-negara tersebut.
Australia juga mengoperasikan angkatan lautnya sendiri di kawasan tersebut dan memelihara hubungan pertahanan dan keamanan yang sudah berlangsung lama dengan pemerintah pulau di sekitarnya, termasuk dalam pemeliharaan perdamaian dan pelatihan militer. Baik Australia dan Selandia Baru adalah bagian dari perjanjian keamanan regional dan bilateral di kawasan Pasifik.
Pekan lalu, Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern mengeluarkan pernyataan bersama ketika mereka bertemu di Gedung Putih. Kedua kepala negara itu menekankan kekhawatirannya yakni perlunya “kehadiran militer berkelanjutan di Pasifik dari negara yang tidak menganut nilai-nilai kami.” .
Dalam pertemuannya dengan Ardern, Biden mengatakan bahwa Washington tidak berniat mendikte kawasan, melainkan untuk bekerja sama dengan negara-negara ini.
Biden berkata : “Kami memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan di pulau-pulau Pasifik ini.”
Bagi Amerika Serikat dan Australia, ancaman terhadap status quo di kawasan pasifik saat ini mirip dengan Perang Dunia II. Pada saat itu pulau-pulau tersebut digunakan oleh Kekaisaran Jepang untuk mengancam Australia dan kemudian menjadi bagian dari serangan “lompatan pulau” AS. Taktik itu oada akhirnya membalikkan keadaan di Pasifik.
Timothy Heath, peneliti pertahanan internasional senior di RAND Corporation, mengatakan pulau-pulau itu terletak di jalur penting bagi kapal angkatan laut dan komersial AS dan Australia. Jika Tiongkok (Komunis Tiongkok) memiliki hak untuk mendirikan pangkalan militer, maka ia dapat mengerahkan kapal perang dan pesawat tempur untuk sementara waktu di pulau-pulau itu.
Apalagi, Kapal perang dan pesawat Tiongkok dapat mengancam kapal perang dan pesawat AS dan Australia yang melintas. Timothy Heath menambahkan, bahkan jika Tiongkok tidak memiliki kehadiran militer di kawasan itu, melainkan memperkuat kehadirannya di kawasan pasifik. Maka ini dapat membantu Tiongkok “mengumpulkan laporan informasi intelijen sensitif tentang operasi militer AS dan Australia”.
Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru Memperkuat Partisipasi regional untuk mencegah Komunis Tiongkok menang
Ketika AS mengalihkan perhatiannya ke Timur Tengah pada awal 2000-an, Komunis Tiongkok mengambil keuntungan darinya, meningkatkan aktivitasnya di Pasifik, dan membujuk Kepulauan Solomon dan Kiribati untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan pada 2019 dan menjalin hubungan diplomatik dengan Beijing.
Dalam beberapa tahun terakhir, Komunis Tiongkok juga telah meningkatkan dukungannya untuk beberapa proyek infrastruktur di negara-negara kepulauan Pasifik.
Perilaku agresif Beijing di Laut China Selatan dan ekspansi angkatan lautnya, telah mengubah persepsi Washington tentang diplomasi dan penjangkauan Komunis Tiongkok, termasuk di Pasifik Selatan.
Pada April lalu, Komunis Tiongkok dan Kepulauan Solomon menandatangani pakta keamanan, yang meningkatkan kewaspadaan di Amerika Serikat dan Australia. Mereka khawatir Tiongkok dapat mendirikan pangkalan militer di kawasan itu, yang kemudian dibantah partai Komunis Tiongkok.
Menanggapi pengaruh partai Komunis Tiongkok yang semakin besar, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru bergegas untuk memperkuat partisipasi mereka di kawasan Pasifik sejak 2018 lalu, ketika Australia mengusulkan kebijakan “meningkatkan keterlibatan Pasifik” dan kebijakan “Reset Pasifik” Selandia Baru. Hingga setahun kemudian, Washington mengajukan “Komitmen Pasifik” .
Seorang profesor Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial University of the South Pacific di Suva, Fiji, Sandra Tarte kepada CNN mengatakan mereka semua telah mengembangkan inisiatif baru ini untuk Pasifik… pada dasarnya melakukan hal yang sama. Ia yakin bahwa mereka tetap menjadi mitra pilihan di kawasan dan Tiongkok tidak berada di atas angin.” (hui)