Chen Ting
Para analis mengatakan bahwa respon keras Presiden baru Korea Selatan Yoon Suk-yeol terhadap provokasi Korea Utara akan membantu Jepang meningkatkan kemampuan militernya. Jika Jepang dan Korea Selatan dapat meredakan perselisihan sejarah yang telah berlangsung lama, maka akan membentuk kembali peta diplomatik Asia Timur yang lebih kuat untuk membendung partai Komunis Tiongkok.
Korea Selatan dan Amerika Serikat menembakkan rudal pada minggu ini. Langkah tersebut menunjukkan kekuatan udara bersama sebagai respon atas rentetan rudal balistik jarak pendek yang ditembakkan oleh Korea Utara pada Minggu 5 Juni.
Ini adalah kedua kalinya Presiden Korea Selatan Yoon Seok-yeol merespon dengan tegas demonstrasi bersenjata Korea Utara sejak ia menjabat pada bulan Mei lalu. Dia menjanjikan respon yang lebih kuat jika pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengabaikan peringatan tersebut.
“Meningkatnya ketegangan di semenanjung Korea, termasuk tindakan Korea Utara, dan tanggapan kami terhadapnya, akan membuat Jepang tersenyum,” kata Kim Dong-yub, pakar militer di Universitas Kyungnam di Seoul, mengatakan kepada Reuters.
Mantan perwira angkatan laut Korea Selatan tersebut mengatakan tanda-tanda bahwa Korea Utara sedang mempersiapkan uji coba nuklir lainnya, ditambah dengan dimulainya kembali latihan militer bersama antara Korea Selatan dan Amerika Serikat. Hal demikian memberikan Jepang lebih banyak alasan untuk berubah menjadi negara dengan kemampuan militer normal.
Selama beberapa dekade, Jepang bersikeras untuk menjaga pengeluaran pertahanan di bawah angka 1 persen dari produk domestik bruto (PDB) untuk melawan militerisme yang menyebabkan Perang Dunia II.
Namun demikian, selama kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Tokyo bulan lalu, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menekankan bahwa Tokyo siap untuk mengambil sikap defensif yang lebih kuat terhadap rezim Tiongkok yang semakin berani.
Pihak berwenang Jepang mengatakan ingin secara signifikan meningkatkan pengeluaran pertahanan “selama lima tahun ke depan”.
Pada 23 Mei 2022, Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida meninjau penjaga kehormatan pada upacara penyambutan di Akasaka State Guest House di Tokyo, Jepang. (Eugene Hoshiko – Pool/Getty Images)
Leif-Eric Easley, seorang pakar hubungan internasional di Universitas Ewha di Seoul, mengatakan tanggapan yang lebih kuat dari pemerintah Yoon Seok-yeol terhadap provokasi Korea Utara, akan mendapatkan dukungan Jepang, tidak hanya untuk menghalangi rezim Kim, tetapi juga untuk bertahan di bawah tekanan dari Tiongkok, yang mana merupakan bagian dari tatanan regional.
Yoon Suk-yeol mengatakan dia berharap untuk segera bertemu Perdana Menteri Kishida dan bekerja sama dengannya untuk meningkatkan hubungan antara kedua negara.
Salah satunya pertemuan terpenting pada KTT NATO di Madrid bulan ini, mungkin adalah pertemuan antara Kishida dan Yoon Suk-yeol, yang akan memberikan dua sekutu kunci AS di Asia Timur sebuah kesempatan untuk secara bertahap mengesampingkan perselisihan sejarah mereka.
Jeon In-beom, mantan komandan pasukan khusus Korea Selatan, kepada Financial Times mengatakan bahwa Seoul dan Tokyo perlu memisahkan perselisihan sejarah dan gesekan ekonomi dari kepentingan keamanan bersama.
“Tanpa Jepang, kita tidak bisa memenangkan perang di semenanjung Korea.” Jeon In-beom menunjukkan bahwa dukungan militer dari bandara dan pelabuhan Jepang ke AS dan Korea Selatan sangat penting. “Ini seperti kapal induk yang tidak akan pernah tenggelam dan sangat penting untuk keamanan Korea Selatan. “
Namun demikian, tidak akan mudah untuk sepenuhnya menyelesaikan perbedaan lama antara kedua negara. Financial Times mencatat bahwa selama perjalanan Presiden Biden ke Asia bulan lalu, para pejabat AS berharap Kishida bertemu dengan Yoon Suk-yeol , tetapi para pejabat Jepang tampaknya menolak gagasan itu.
Upaya diplomatik kini telah beralih dengan mengatur pembicaraan tatap muka antara keduanya pada pertemuan puncak NATO pada 28 dan 29 Juni, menurut orang-orang yang mengetahui masalah tersebut.
Pejabat Jepang lebih didorong oleh kemenangan telak partai Yoon Suk-yeol dalam pemilihan lokal pekan lalu, kata laporan itu, yang mana memperkuat posisi politik presiden baru.
Konflik antara Jepang dan Korea Selatan memiliki sejarah panjang, selain sengketa kedaulatan atas Dokdo, dan masalah ekonomi yang terkait. Dalam sejarahnya, Jepang telah beberapa kali menginvasi Korea. Dari tahun 1910 hingga 1945, Jepang menginvasi dan menduduki semenanjung Korea, dan pernah memberlakukan kerja paksa, perekrutan paksa, dan perbudakan seksual pada orang Korea.
Meskipun pada tahun 1965, kedua negara menandatangani “Perjanjian Dasar Korea Selatan-Jepang” untuk menormalkan hubungan kedua negara. Pada saat itu, Jepang memberi Korea Selatan dana sebesar US$500 juta, di mana US$300 juta merupakan hibah tunai gratis dan US$200 juta merupakan pinjaman jangka panjang berbunga rendah. Namun demikian, banyak orang Korea Selatan masih menolak Jepang, dan banyak orang Jepang tidak percaya bahwa Korea Selatan akan menghormati kesepakatan baru untuk menyelesaikan masalah sejarah.
Akan tetapi, hasil jajak pendapat yang dirilis oleh National Economic Association of Korea pada bulan April, 74,9% responden percaya bahwa perlu bagi pemerintah Korea Selatan dan Jepang untuk melakukan upaya untuk meningkatkan hubungan antara kedua negara.
Corey Wallace, seorang ahli urusan militer dan keamanan di Universitas Kanagawa, mengatakan Fumio Kishida telah memenangkan dukungan publik dengan kebijakan pertahanan yang lebih kuat, dan peningkatan hubungan dengan Seoul.
Corey Wallace menegaskan, situasi di Ukraina telah memicu dukungan publik untuk pembelanjaan pertahanan dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh ancaman Tiongkok sebelumnya. Tokyo melihat peluang untuk membuka pintu yang tertutup di masa lalu.”
“Meningkatkan hubungan dengan Seoul adalah lapisan gula pada kue,” katanya.
Ia percaya bahwa postur pertahanan bersama yang lebih kuat dari Korea Selatan dan Amerika Serikat terhadap Korea Utara, juga akan membantu Jepang untuk lebih memperhatikan ancaman dari TIongkok.
“Secara teori, Jepang dapat mencurahkan lebih banyak sumber daya militer dan pengeluaran baru untuk memperkuat kehadiran militernya di Laut Barat Daya,” kata Wallace. (hui)