ETIndonesia- PT PLN (Persero) akhirnya membatalkan program pengalihan kompor LPG 3 kg ke kompor listrik pada Selasa (27/9/2022). Langkah ini dilakukan guna menjaga kenyamanan masyarakat dalam pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Sebelumnya, sempat menuai kritik dari sejumlah kalangan.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulan Jameela mengatakan sebagai kapasitas dirinya sebagai anggota dewan dan ibu-ibu, penggunaan kompor listrik justru tidak cocok dengan masakan Indonesia.
“Kami di rumah aja punya kompor listrik tetap tak bisa lepas dari gas, karena masakan Indonesia ya beda bukan masakan orang bule,” katanya di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (21/9/2022)
Ia juga menyoroti kapasitas listrik rumah tangga yang dimilik masyarakat. Apalagi yang memiliki kekurangan daya listriknya hanya 450 VA. Pasalnya, penggunaan kompor listrik membutuhkan sekitar 1.200-1.800 watt.
Berdasarkan pengalaman yang ia miliki, Mulan menuturkan aliran listrik yang tidak stabil di rumahnya yang berada di Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
“Saya punya kompor listrik di sana, karena listrik nggak stabil kayak di kota itu kompornya rusak,” kisahnya.
Dia juga mengutarakan soal harga kompor induksi yang dijual dengan harga tinggi. Tak hanya sebatas kompor, peralatan masak yang dibutuhkan seperti wajan dan panci juga mahal.
Sementara itu, Presiden Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) Mirah Sumirat menyerukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk mengeluarkan kebijakan yang lebih berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
“Jangan malah membebani rakyat dengan biaya hidup yang semakin berat. Jangan eksploitasi rakyat karena tugas Pemerintah seharusnya adalah untuk mensejahterakan rakyat,” katanya.
Sikap ASPEK Indonesia ini untuk menyikapi rencana Badan Anggaran DPR bersama Pemerintah yang sepakat menghapus daya listrik 450 volt ampere (VA) untuk kelompok rumah tangga miskin, dan dinaikkan menjadi 900 VA. Juga terkait rencana Pemerintah yang bakal mengurangi konsumsi gas LPG tiga kilogram dan menggantinya dengan kompor listrik secara bertahap.
Mirah Sumirat mempertanyakan, mengapa Pemerintah dan DPR saat ini seperti kehilangan empati kepada nasib rakyatnya sendiri? Setelah memaksakan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja yang lebih berpihak pada kepentingan pemodal atau investor. Dilanjutkan dengan keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sangat membebani rakyat.
“Masih ditambah lagi dengan rencana menghapus daya listrik 450 VA untuk kelompok rumah tangga miskin. Serta kebijakan mengurangi konsumsi gas LPG tiga kilogram dan menggantinya dengan kompor listrik,” tambahnya.
Ia menegaskan, pemerintah jangan terus membebani rakyat! Saat ini rakyat dipaksa untuk membeli BBM dengan harga tinggi. Rakyat akan dipaksa juga untuk menaikkan daya listrik menjadi 900 VA. Masih akan ditambah lagi bebannya dengan dipaksa beralih ke kompor listrik?
Mirah Sumirat mengingatkan Pemerintah dan DPR bahwa berbagai kebijakan yang tidak pro kepada rakyat dan cenderung eksploitatif, selain akan membebani ekonomi rakyat juga berpotensi memicu kemarahan rakyat.
Pemerintah dan DPR, kata dia, agar jangan memaksakan rakyat miskin untuk bermigrasi dari listrik 450 VA ke 900 VA. Pemerintah juga jangan mengurangi konsumsi gas LPG tiga kilogram untuk kemudian diganti dengan kompor listrik.
Ia menegaskan, pemaksaan penggunaan kompor listrik sama saja memaksakan masyarakat untuk menaikkan daya listrik menjadi 900 VA. Karena daya listrik 450 VA yang selama ini banyak digunakan oleh masyarakat, pasti tidak akan kuat jika harus dipaksakan dengan tambahan penggunaan kompor listrik. Apalagi masih banyak daerah di Indonesia yang kondisi listriknya masih memprihatinkan karena sering mati listrik.
“Biarlah rakyat memutuskan sendiri penggunaan listriknya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya masing-masing,” tegas Mirah Sumirat.
“ASPEK Indonesia menuntut Pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga BBM dan tidak menghapus daya listrik 450 VA serta tidak memaksakan konversi LPG tiga kilogram dengan kompor gas. Dalam tuntutannya, ASPEK Indonesia juga tetap meminta pembatalan Omnibus Law UU Cipta Kerja,” pungkas Mirah Sumirat. (asr)