ERIC BESS
Selama musim liburan akhir tahun, banyak umat Nasrani mulai memasang pohon Natal. Kita menghiasinya dengan ornamen dan menempatkan bungkusan kado untuk orang-orang yang kita sayangi di bawah pohon Natal. Bagaimana asal- usul dan evolusi dari tradisi panjang ini?
Simbol Transenden
Pohon cemara — jenis yang sering digunakan untuk pohon Natal — telah digunakan secara simbolis di seluruh dunia. Misalnya budaya Mesir kuno, Tiongkok, dan Ibrani mengaitkan pohon cemara dengan kehidupan abadi.
Sebelum abad ke-16, Kekristenan mula-mula menggunakan kebiasaan ini dan awalnya menggunakan pohon Natal untuk mewakili Taman Firdaus dan untuk menakut-nakuti iblis di Tahun Baru. Apel, wafer, dan lilin ditambahkan ke pohon untuk melambangkan hari raya keagamaan Adam dan Hawa, tubuh Kristus, dan cahaya terang Kristus.
Setelah abad ke-16, pohon Natal menjadi tradisi budaya yang mendalam di Jerman Lutheran sebelum diadopsi di Inggris pada awal abad ke-19. Ini pertama kali didokumentasikan di Amerika pada tahun 1830-an oleh para pemukim Jerman.
Pada akhir 1800-an, Edward Hibberd Johnson rekan bisnis Thomas Edison, adalah orang pertama yang menyalakan lampu di pohon Natal, dan lahirlah pohon Natal modern.
Pohon Natal Museum Seni Metropolitan dan Neapolitan Baroque Crèche
Baru-baru ini, saya pergi melihat “Pohon Natal dan Crèche Barok Neapolitan” di Museum Seni Metropolitan, New York, yang dipamerkan untuk umum hingga 8 Januari 2023 mendatang. Ditempatkan di Aula Patung Abad Pertengahan Museum, pohon setinggi 6 meter ini menyediakan rumah bagi banyak malaikat dan kerub (malaikat kecil bersayap) yang melayang di atas Kandang Natal.
Crèche adalah diorama yang menggambarkan Kandang Natal, seni ini berasal paruh kedua abad ke-18 disediakan oleh donor Loretta Hines Howard. Diyakini berasal dari bengkel kerja master Italia Giuseppe Sanmartino, patung-patung ini tinggi antara 30,5 cm dan 38 cm, serta terdiri dari kayu dan terakota.
Para Malaikat dan Kerub tanpa layang dengan anggun di atas Kandang Natal, di mana lebih dari 70 patung mewakili semua bangsa datang untuk menyaksikan kelahiran Kristus. Pengunjung museum dapat berjalan 360 derajat mengelilingi pohon Natal ini sambil mendengarkan musik paduan suara yang mengatur sahdunya suasana musim Natal.
Saat saya berjalan mengelilingi seluruh museum, terlihat “Pohon Natal dan Crèche Barok Neapolitan” yang sepe menarik perhatian banyak orang. Pengunjung berdiri, melihat, dan merenung untuk waktu yang lama.
Bercermin pada Simbolisme Tradisi yang Panjang
Ketika tradisi berusia berabad-abad seperti ini, terkadang kita kehilangan jejak makna yang lebih dalam terkait dengannya. Sejarah pohon Natal yang kaya ini dapat membuat kita berhenti sejenak. Kita dapat berhenti dan merenungkan apa yang diwakilinya bagi kita sekarang.
Apakah kita kembali menganggapnya sebagai sebuah simbol surga tak bercela? Atau mungkin—sebagai lambang kebajikan Kristiani—kita merenungkan kegunaannya untuk mengusir setan, iblis, atau kesialan di awal tahun baru? Atau mungkin kehadirannya dapat membantu kita merenungkan keabadian atau makhluk surgawi yang mengawasi kita dari atas? Mungkin itu hanyalah simbol kebersamaan dan keramah-tamahan yang ditunjukkan kepada keluarga dan teman selama “musim berbagi” ini.
Apa pun yang kita putuskan sendiri, semoga kita terus mengasosiasikan makna yang positif dan benar dengan tradisi budaya yang panjang ini. (yud)
Eric Bess adalah seniman representasional yang berpraktik dan kandidat doktoral di Institute for Doctoral Studies in the Visual Arts (IDSVA).