Osamu Minoru
Banyak bidang atau industri di Jepang yang berakhiran kata “Dō (道)”, seperti Chadō (atau Sado, seni teh), Kadō (atau Ikebana, seni merangkai bunga), Kōdō (seni aromatik), Shodō (seni kaligrafi), Budō (seni bela diri), Kyūdō (seni memanah), Kendō (seni pedang), Judō (seni gulat) dan lain-lain.
Di sini kata “Dō” selain bisa menjelaskan suatu bidang seni atau profesi, juga bermakna mengasah seni dan ketrampilan, bermanfaat bagi jiwa-raga, dan satu lajur jalan (Dō) yang bisa dilalui untuk memahami kehidupan, serta semacam cara pelaksanaan kultivasi. Di antranya adalah Judo, yang berlandaskan pertarungan, berasal dari perguruan bela diri, dengan sendirinya sarat akan nuansa seni bela diri yang kental. Namun, sama sekali bukanlah seni bela diri yang telah menumbuhkan Judo, bukan pula karena pertarungan yang membuat Judo terkenal di Jepang bahkan seluruh dunia, dan masih diwarisi hingga kini.
Lebih Dulu Ada Dō Baru Ada Teknik
Yang dimaksud dengan Judo, adalah ilmu bela diri Jujitsu yang mengandung makna kebenaran Dō. Sejak zaman dulu kala, ada sejumlah seni bela diri yang diwariskan kalangan berbeda di Jepang, setelah abad ke-12, seni bela diri resmi dijadikan sebagai teknik bertarung pada keluarga samurai. Dikabarkan, para kesatria menguasai 18 jenis seni bela diri. Usai masa Sengoku, memasuki periode Edo, Jujitsu sebagai semacam seni bela diri telah lahir di Jepang, dan menjadi sebuah aliran tersendiri. Tetapi Jujitsu bukanlah Judo.
Pencipta Judo adalah Jigorō Kanō (1860~1938, terkadang di literatur disebut terbalik: Jigoro Kano, redaksi), sejak kecil ia bertubuh lemah, maka demi menguatkan tubuh ia mulai berlatih Jujitsu. Pada 1877 (tahun ke-10 era Meiji), Kanō Jigorō berlatih Jujitsu di perguruan Hachinosuke Fukuda aliran Tenjin Shinyōryū. Selain itu, ia juga mempelajari aliran Kitō-ryū secara mendalam. Setelah itu, dengan berlandaskan pada teknik dan postur tubuh kedua aliran, ia meneliti sejumlah prinsip yang diilhami dari Kitō-ryū, lalu ditambahkan metode latihan berupa metode kultivasi raga, metode melatih tubuh, metode menang-kalah dan lain sebagainya. Ia mendalami keunggulan setiap aliran, lantas memperbaikinya, setelah itu menciptakan aliran teknik Jujitsu yang baru berikut panduannya, dan digunakannya untuk menyebarkan dan mengajarkannya.
Pada 1882 (tahun ke-15 era Meiji), Kanō Jigorō membuka sebuah Dojo yang diberi nama “Kōdōkan” di sebuah Shoin di Kuil Eisho-ji yang terletak di Shitayakitainaricho (sekarang Taitō-ku) Tokyo, serta mulai melatih dan mengajarkan Judo, maka dianggap disinilah lahirnya Judo, juga sebagai asal usul pendidikan Budō [Jalan (Dō) bela diri] modern Jepang. Ia mengembangkan prinsip “lembut dapat mengalahkan keras” dalam Jujitsu tradisional menjadi “memanfaatkan tenaga tubuh dan pikiran dengan cara paling efektif”, dengan prinsip lebih dulu ada Dō baru ada teknik, ia menamainya “Judo”. Juga atas dasar ini pula ia menamakan tempat untuk berlatih Judo dengan sebutan “Kōdōkan (Aula Pembabaran Dō)”.
Sejarah Singkat Judo
Lewat pengajaran di “Kōdōkan”, Judo tersebar dengan cepat di Jepang, ketenaran dan pengaruhnya juga terus meningkat. Pada 1895 (tahun ke-28 era Meiji), dibentuklah Dai Nippon Butoku Kai di Kyoto, tujuannya untuk mendorong perkembangan Budō (ilmu bela diri), mengoptimalkan pendidikan, dan meningkatkan jiwa kesatria rakyat. Dai Nippon Butoku Kai dibentuk dari Kyūdō (seni memanah), Kendō (seni pedang), dan juga Jujitsu, masyarakat dapat saling lintas aliran dan berinisiatif ambil bagian. Pada 1898 (tahun ke-31 era Meiji), Judo masuk ke dalam kurikulum sekolah menengah, dan menjadi mata pelajaran wajib.
Kanō Jigorō juga mendirikan Asosiasi Olahraga Jepang (JSPO), dan mengadakan pula jurusan senam di Tokyo Higher Normal School, seumur hidupnya dikontribusikannya untuk menyebarkan Judo, sehingga ia dijuluki sebagai bapak olahraga Jepang. Selama masa itu, ia secara aktif mempromosikan Judo ke seluruh dunia. Kini, sebanyak 204 negara di dunia telah tergabung di dalam International Judo Federation (IJF), orang yang mempelajari Judo juga sudah sangat banyak.
Pada 1909 (tahun ke-42 era Meiji), Kano menerima undangan dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) untuk menjadi anggota Komite Olimpiade, ia adalah anggota komisi olimpiade pertama dari Asia Timur. Pasca menjadi anggota komite, Kano memperkenalkan Judo lebih lanjut kepada dunia, sehingga Judo pun berkembang semakin pesat. Sejak Olimpiade 1964, Judo resmi dijadikan sebagai cabang olahraga yang dipertandingkan di ajang Olimpiade, pengaruh internasionalnya pun terus meningkat.
Teori yang melandasi, pemikiran yang dijunjung, dan aturan yang ditetapkan dalam Judo, telah meletakkan pondasi bagi olahraga bela diri modern. Karena pengaruh besarnya, menempatkannya di posisi teratas dalam sembilan Budō (seni bela diri) utama di Jepang (sembilan organisasi Budō yang tergabung dan diakui oleh Dai Nippon Butoku Kai).
Menurut pengelompokan “Kōdōkan” Judo, teknik gulat dalam Judo terbagi menjadi dua jenis yaitu “teknik melempar” dan “teknik mengunci”. Teknik melempar, yaitu cara melempar lawan, ada 68 jenis, termasuk teknik lemparan menggunakan sendi dan lemparan menggunakan penjatuhan diri, serta dibagi lagi menjadi dua kategori aplikasi dalam pergulatan riil dan latihan. Teknik mengunci, adalah teknik mengunci lawan dalam pertarungan, ada 32 jenis, mayoritas dalam teknik berbaring juga digunakan untuk menyerang titik lemah lawan. Dalam kompetisi internasional dewasa ini, hampir semuanya mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh “Kōdōkan” Judo.
Bangkit dari Kubur
Pasca PD-II, Budō (seni bela diri) sempat dilarang oleh militer AS yang menduduki Jepang, sekolah dilarang mengajarkan Judo. Pada 1956 Jepang berhasil mengadakan kompetisi Judo sedunia yang pertama, apalagi dengan prestasi gemilang tim Judo Jepang pada Olimpiade Tokyo, telah mendorong Judo memasuki masa yang paling berjaya. Pada 1989, kurikulum pendidikan baru dipublikasikan, istilah “Budō” diaktifkan lagi.
Sejak April 2012, “Budō” menjadi pelajaran wajib bagi pelajar sekolah menengah, pelajar laki-laki maupun perempuan wajib memilih salah satu dari pelajaran Judo, Kendo, atau Sumo. Judo menyebar luas di dunia akademisi di Jepang, hampir setiap sekolah menengah dan banyak perguruan tinggi mempunyai klub Judo (UKM).
Penyebarannya juga tidak sebatas di lingkungan sekolah, ketika pelajar terjun ke masyarakat, ada pula metode lain untuk ikut dalam kegiatan latihan Judo. Bisa dikatakan, Judo hampir meliputi seluruh masyarakat Jepang. Oleh sebab itu, di berbagai kawasan penduduk, selalu ada organisasi terkait, dan dibangun klub Judo, lengkap dengan pendidikan dan latihannya. Perusahaan juga merupakan pendorong utama penyebaran Judo, mulai dari dukungan sumber daya manusia sampai ekonomi, kontribusinya sangat besar, kinerja yang jelas, konsisten dan layak dipuji.
Menariknya adalah, polisi di Jepang harus menguasai Judo. Menurut tulisan Kanō Jigorō berjudul “My Life & Judo” (1928), tahun ke-21 era Meiji (1888), dalam kompetisi seni bela diri polisi, peserta dari Kōdōkan yang ikut lomba memenangkan hampir semua pertandingan. Karena salut, seusai kompetisi, Inspektur Polisi pada masa itu yakni Mishima Michitsune memutuskan untuk menjadikan Judo dari aliran “Kōdōkan” sebagai pelajaran wajib bagi kepolisian, dan disebarkan ke seluruh negeri. Hingga kini, polisi Jepang masih menjadikan Judo dan Kendo (polisi wanita boleh memilih Aikido) sebagai pelajaran wajib, saat memasuki sekolah polisi, bagi yang belum meraih tingkatan pada masa pendidikan harus sudah memiliki tingkatan awal yakni Sabuk Hitam Dan 1.
Metode Hati Dalam Judo
Dalam dunia olahraga tradisional Jepang, acapkali disinggung soal “hati”, “teknik”, dan “raga”. “Hati”, meliputi tekad, semangat, fokus, dan persiapan mental; “teknik”, meliputi pengerahan tenaga, teknik, dan keterampilan; “raga”, meliputi kemampuan fisik, postur tubuh, respon dan lain-lain. Atlet dituntut meraih keseimbangan antara “hati”, “teknik”, dan “raga”, serta menggabungkannya dengan sempurna. Namun, hubungan ketiganya bukanlah sesimpel cara penambahan, melainkan cara perkalian. Inilah taraf dasar “hati”, “teknik”, dan “raga” yang harus dicapai.
Dalam berbagai bidang seni tradisional Jepang, selain “hati”, “teknik”, dan “raga”, juga ditekankan “jaga”, “dobrak”, dan “tinggalkan”. Ketiga prinsip ini juga menandakan tiga tahapan yang harus dilalui setelah berguru, juga menandakan perjalanan yang harus ditempuh dalam mendewasakan diri seseorang. Dimulai dari awal mula berguru, harus menaati perintah guru, dan mematuhi ajaran guru dalam pelaksanaan, ini disebut “jaga”. Dalam proses pelaksanaan, akan ditemukan metode berlatih yang baru atau lebih cocok bagi diri sendiri, tapi cara ini telah melampaui aturan guru, dan telah mendobrak sistem yang telah ada, ini disebut “dobrak”. Seiring dengan semakin dalamnya pelaksanaan, pada akhirnya memiliki pemahaman yang lebih mendalam terhadap seni dan teknik maupun diri sendiri, dari sini lalu meninggalkan metode lama, dan melangkah serta menempuh jalannya sendiri, inilah yang disebut “tinggalkan”.
Pada 1882, Kanō Jigorō mendirikan “Kōdōkan” di Bunkyō ku, Tokyo, sebagai Dojo tempat ia mengajarkan teori dan penerapan Judo. Setelah itu, gedung tersebut pun menjadi markas besar Judo. Di “Kōdōkan” Judo, terdapat dua kalimat panutan: “Efisiensi Maksimum dengan Usaha Minimum”, dan “Saling Menguntungkan dan Kesejahteraan”. Yang bermakna: kemampuan yang diperoleh lewat berlatih Judo, harus pandai-pandai dimanfaatkan dengan efisien bagi lingkungan, untuk mendorong perkembangan dan kemajuan peradaban masyarakat; lewat asah kemampuan, mencapai saling percaya dan saling membantu, membuat diri sendiri dan orang lain meningkat bersamaan.
Ada satu lagi motto yang diwariskan Kanō Jigorō: “Judo adalah seni yang paling efektif untuk memanfaatkan energi jiwa dan raga. Pelaksanaannya adalah berlatih menyerang dan bertahan untuk menggembleng tubuh, melatih mental, memahami esensi Tao (jalan/cara). Sehingga dapat menyempurnakan diri sendiri, dan bermanfaat bagi masyarakat. Ini adalah tujuan akhir dari latihan Judo.” Sepertinya, tujuan mulia dari Judo, bukan mengalahkan orang lain dengan teknik, melainkan menyatukannya dengan Tao.
Memang, seiring dengan berubahnya zaman, moralitas kita telah rapuh, dalam berbagai kompetisi tradisional, masyarakat sekarang sepertinya lebih mengutamakan teknik, ketrampilan, dan menang – kalah dan lain sebagainya perwujudan materi secara permukaan, serta telah mengabaikan bahkan melupakan unsur spiritual yang lebih esensi dalam prinsip beladiri, moralitas dan kultivasi. Tidak efektifnya metode hati, adalah pantangan dalam berbagai tindakan, juga merupakan penyebab perubahan tidak normal dan kegagalannya. Oleh sebab itu, mengembalikan tradisi, mengedepankan moralitas, dan menjaga metode hati, adalah jalan kebenaran yang harus ditempuh oleh berbagai bidang seni. (Sud/Whs)