ETIndonesia – Sejumlah praktisi Falun Gong atau Falun Dafa dari Jakarta menggelar aksi damai peringatan berlangsungnya permohonan damai 25 April 1999 di Depan Kedubes Tiongkok, Jalan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (15/04/2023).
Pada 24 tahun lalu, aksi tersebut digelar para pengikut Falun Dafa di komplek pemerintahan pusat partai Komunis Tiongkok (Zhongnanhai) di Beijing.
Falun Gong atau Falun dafa adalah latihan jiwa dan raga berdasarkan prinsip-prinsip universal Sejati, Baik, dan Sabar, namun telah dianiaya di Tiongkok oleh Partai Komunis Tiongkok sejak tahun 1999. Latihan yang juga terdiri perangkat meditasi ini juga tersebar lebih dari 100 negara di dunia. Latihan ini pertama kali diperkenalkan di Tiongkok pada 1992 silam.
Para praktisi Falun Dafa menggelar aksi dengan menggelar perangkat latihan Falun Dafa. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan menunjukkan foto-foto praktisi Falun Dafa yang meninggal dunia karena kekejaman partai Komunis Tiongkok (PKT).
Selain itu, sejumlah warga yang melintas menerima dengan baik materi penjelasan tentang kebenaran Falun Gong. para warga mendengar dengan seksama penjelasan yang disampaikan. Bahkan, membubuhkan dukungan mereka dengan memberikan petisi tanda tangan.
Tak hanya warga lokal, ada warga negara asing (WNA) yang melintas di lokasi juga menyaksikan dengan seksama kegiatan pada hari itu. Mereka juga menyimak penjelasan tentang kebenaran Falun Dafa.
Sementara itu, atas digelarnya permohonan damai, Himpunan Falun Dafa Indonesia (HFDI) mendesak kepada rezim partai komunis Tiongkok agar segera menghentikan kejahatan mereka terhadap para praktisi Falun Gong, serta merehabilitasi nama baik pendirinya Master Li Hongzhi.
Selain itu, HFDI berharap pemerintah Indonesia dapat mengenali fakta yang sebenarnya di balik penindasan Falun Gong, serta mengambil sikap yang berpihak dan berlandaskan pada kemanusiaan dan hak asasi manusia.
“Jangan hanya alasan “menjaga hubungan baik” dengan rejim PKT dan bantuan utang-nya, pemerintah kita tunduk pada intervensi PKT dan melanggar politik luar negeri kita yang bebas aktif,” demikian bunyi pernyataannya.
Sedangkan, kepada komunitas atau lembaga internasional untuk memberikan sikap yang tegas terhadap rezim PKT yang telah menganiaya praktisi Falun Gong di Tiongkok. Penganiayaan ini sudah mencapai tahap yang tidak bisa ditolerir dan sangat mengancam perdamaian dunia.
“Melalui dukungan moril, solidaritas dan tekanan internasional, kami percaya penganiayaan ini akan dapat dikekang,” tegasnya.
Sedangkan Global Human Right Effort (GHURE) dalam pernyataannya mengatakan sangat prihatin dengan apa yang dialami oleh pengikut Falun Dafa, yang dari tahun 1999 hingga saat ini masih mengalami penindasan yang dilakukan oleh rezim PKT. Adapun jumlah korban dari penindasan ini juga terbilang besar. Berdasarkan data resmi, jumlah korban yang bisa diverifikasi sebanyak hampir 5.000 orang.
“Kami yakin jumlahnya bisa lebih besar lagi, karena banyaknya korban yang tidak diketahui indentitasnya, dan PKT sangat lihai menghilangkan barang bukti. Apalagi dalam banyak kasus, korban tiba-tiba diculik tanpa surat penahanan dan prosedur hukum lainnya, sehingga sangat sulit dilacak keberadaannya,” demikian bunyi pernyataan Ghure.
Lebih menyedihkan lagi, para pengikut Falun Dafa di Tiongkok tidak hanya disiksa di tahanan atau kamp konsentrasi, tapi mereka juga diambil organ-organ tubuhnya untuk kepentingan transplantasi medis.
Tak heran jika ada yang mengatakan perlakuan rejim PKT terhadap pengikut Falun Dafa itu bisa dikatagorikan sebagai kejahatan kemanusiaan– genosida. Genosida itu adalah salah satu bentuk kejahatan dengan memusnahkan kelompok masyarakat tertentu secara sistematis dan disengaja.
Selama ini para praktisi Falun Dafa di Tiongkok tidak bisa mencari atau mendapatkan keadilan atas perlakuan kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh rezim PKT. Para pengacara lokal juga ditekan tidak bisa memberi pembelaan terhadap para korban secara maksimal. Saat ini puluhan ribu praktisi Falun Dafa yang ditahan di penjara dan kamp konsentrasi sedang terancam jiwanya. Organ tubuhnya sewaktu-waktu bisa dirampas dalam keadaan hidup untuk kepentingan transplantasi.
Untuk itu, Global Human Right Effort (GHURE) menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Kami berharap agar peristiwa Zhongnanhai di Tiongkok pada 25 April 1999 menjadi pengingat bagi kita semua bahwa penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia tidak dapat dibiarkan dan harus dipertanggungjawabkan oleh pelakunya. Kita harus terus memperjuangkan keadilan dan perdamaian di seluruh dunia, termasuk di Tiongkok.
2. Kami, sebagai warga negara Indonesia yang mencintai perdamaian dan keadilan, dengan tegas menyatakan keprihatinannya serta mengutuk keras atas kebiadaban penganiayaan terhadap pengikut Falun Dafa oleh rejim komunis Tiongkok yang masih berlangsung hingga sekarang dan telah menelan korban ribuan jiwa.
3. Kami juga mengajak masyarakat dunia dan bangsa Indonesia untuk menaruh perhatian dan turut mengakhiri kejahatan kemanusiaan dan genosida yang masih dilakukan oleh rejim PKT terhadap rakyatnya, khususnya praktisi Falun Dafa.
4. Kami mendesak rejim PKT untuk segera mengakhiri penganiayaan dan kejahatan genosida terhadap praktisi Falun Dafa di Tiongkok, serta merehabilitasi nama baiknya dan menindak para pelakunya.
Latar Belakang
Dikutip dari siaran pers HFDI, Permohonan 25 April merupakan tanggapan spontan terhadap artikel He Zuoxiu pada majalah Sains dan Teknologi untuk Pemuda. Dalam artikelnya, He Zuoxiu, saudara ipar dari Luo Gan (Menteri Keamanan Publik yang kemudian menjadi ujung tombak rezim komunis dalam menganiaya Falun Gong), mengarang cerita memfitnah Falun Gong.
Menanggapi hal ini, puluhan praktisi dari Tianjin dengan cara damai mengklarifikasi fakta ke redaksi kantor pusat majalah di Tianjin. Namun, Departemen Kepolisian setempat mengirim polisi anti huru-hara, memukul dan menahan 45 praktisi. Pemerintah Kota Tianjin menganjurkan mereka mengadu ke Kantor Negara Urusan Permohonan di Beijing.
Akhirnya pada 25 April 1999 pagi, lebih dari 10 ribu praktisi Falun Gong secara spontan pergi ke Kantor Negara Urusan Permohonan di Beijing, yang kebetulan berdekatan dengan Zhongnanhai, komplek pusat pemerintahan, untuk memohon keadilan bagi Falun Gong. Praktisi menyampaikan tiga permohonan yakni pembebasan para praktisi yang ditangkap di Tianjin, jaminan lingkungan berlatih bagi praktisi Falun Gong, dan diijinkannya kembali penerbitan buku-buku Falun Gong melalui saluran resmi.
Pada tengah hari, Perdana Menteri China saat itu, Zhu Rongji menemui perwakilan praktisi. Setelah membahas permasalahan,, beliau memerintahkan Departemen Kepolisian Tianjin melepaskan para praktisi yang tidak bersalah dan menegaskan kembali kebijakan negara yang tidak akan mengganggu latihan kultivasi ini.
Setelah mengetahui masalah telah diselesaikan, para praktisi dengan tenang membubarkan diri. Mereka membersihkan lingkungan dan bahkan memungut puntung rokok yang dibuang para petugas yang berjaga. Media internasional sangat terkesan dengan aksi ini.
Tetapi, Ketua PKT yang juga Presiden Tiongkok waktu itu, Jiang Zemin ternyata punya rencana lain. Tiga bulan kemudian, pada 20 Juli 1999, ia melancarkan kampanye penganiayaan skala nasional dan genosida sistematis untuk memusnahkan Falun Gong. Ketika media corong propaganda rezim komunis melansir kembali peristiwa ini, permohonan 25 April dengan cepat diputarbalikkan. Peristiwa itu tidak lagi digambarkan sebagai permohonan damai, tapi sebagai “pengepungan” terhadap kantor pemerintah pusat (Zhongnanhai). Rekayasa palsu digunakan untuk menggambarkan Falun Gong sebagai kelompok politik provokatif dan dijadikan pembenaran untuk menindasnya.
Buku-buku, video dan rekaman tape Falun Gong disita dan dihancurkan dalam skala besar. Sesi latihan di taman-taman umum mengalami gangguan serius. Puluhan ribu praktisi digiring ke stadion sebelum dipindahkan ke kamp-kamp kerja paksa. Tidak ada sidang resmi yang digelar; setiap kematian praktisi di dalam tahanan dinyatakan sebagai ‘bunuh diri’ dan tidak perlu dipertanggungjawabkan.
Taktik “menyalahkan korban” terus digunakan PKT dalam upaya untuk melanjutkan penganiayaan. Sebenarnya, penindasan terselubung terhadap Falun Gong sudah berlangsung sejak tahun 1996, dan namun penganiayaan skala besar yang dilancarkan rejim dimulai pada 20 Juli 1999.
Salah satu warisan jahat Jiang Zemin terhadap permohonan 25 April adalah momen yang terjadi pada bulan berikutnya yakni 10 Juni 1999 dengan pembentukan Kantor 610, sebuah satuan khusus bentukan PKT yang bertugas mengawasi, menjalankan upaya-upaya untuk membasmi Falun Gong.
Sejak itu, agen-agen dari Kantor 610 beroperasi di luar kerangka hukum atau dengan kekebalan hukum, telah menorehkan luka mendalam, bahkan melenyapkan sejumlah kehidupan yang tak terhitung banyaknya dengan pengawasan yang ketat, penculikan, penahanan, penyiksaan kejam dan pembunuhan.
Mereka membanjiri koran, majalah, media online, media social, radio, dan televisi dengan informasi dan cerita yang memfitnah yang memutarbalikan fakta tentang Falun Gong. Propaganda inilah yang seringkali menjadi rujukan media intenasional dalam memberitakan tentang Falun Gong dan situasi penganiayaan, sehingga banyak orang yang teracuni kebohongan ini dan memaklumi tindakannya.
Hingga April 2023, sekitar 4.931 kasus kematian praktisi Falun Gong akibat penyiksaan telah diverifikasi sejak 1999; namun, sejumlah lembaga hak asasi menduga angka sesungguhnya jauh lebih besar. Kejahatan ini berlangsung secara sistematis dan tertutup melibatkan lembaga dan aparatur negara, bahkan dengan membungkam negara lain lewat pengaruh hubungan perdagangan serta ‘jebakan utang’ agar dunia/ masyarakat internasional diam membisu di tengah kejahatan itu. Apa yang dilakukan oleh rejim PKT terhadap praktisi Falun Gong tersebut patut disebut sebagai tindakan Genosida. (asr)