Guang Yu
Bicara soal budaya kuliner, mayoritas orang Tiongkok sangat bangga akan hal ini. Ada delapan besar aliran masakan, makanan lezat yang tak terhitung menunjukkan budaya kuliner Tiongkok yang sangat kaya dan mendalam.
Acara “A Bite of China” sempat populer di seluruh negeri, dan memberikan keyakinan diri tak terhingga bagi khalayak ramai. Tak sedikit orang menggabungkannya dengan pengalaman diri di luar negeri, dan merasa tetap saja kuliner Tiongkok nomor satu di dunia, hanya masakan Tiongkok yang bisa memuaskan diri dan mengalahkan selera orang Barat.
Hari ini kita akan membahas soal kuliner Tiongkok, tetapi bukan kelezatan di restoran ternama, bukan pula jamuan kerajaan ala pesta imperial Manchu-Han, bukan pula Dimsum sedap ala keluarga Jia dalam novel klasik “Impian di Bilik Merah”, melainkan sejarah dan kondisi kuliner masyarakat luas yang meliputi kalangan rakyat jelata Tiongkok.
Kebiasaan orang Tiongkok dalam bertegur sapa adalah dengan bertanya: “Sudah makan belum?” Tradisi yang satu ini sangat jarang dijumpai di negara atau bangsa manapun di seluruh dunia. “Sudah makan belum?” (ada juga daerah yang mengatakan: “Sudah makan kenyang belum?”) Intinya bukan apa yang dimakan, melainkan sudah makan atau belum, yang diekspresikan disini adalah kekhawatiran terhadap lawan bicara akan mengalami kelaparan. Kalimat ini mirip dengan tegur sapa yang satunya yaitu “semua baik-baik saja bukan?” (menyampaikan perhatian terhadap kesehatan teman).
Bisa dilihat dalam sejarah Tiongkok yang begitu panjang banyak orang telah mengalami risiko kelaparan, bisa makan dan kenyang adalah hal yang begitu berharga. Apa yang dimakan warga biasa? Utamanya adalah nasi hambar dan teh murahan.
Masakan Sichuan dengan basis rasa pedas dan segar aromatis yang sekarang populer di seluruh dunia adalah sesuatu yang mutlak mewah di zaman dulu, karena merica dan rempah-rempah lainnya baru merakyat lama sekali setelah zaman penjelajahan (Armada Zheng He / Cheng Ho, Red.). Makanan yang aromatis dan minuman yang keras (beralkohol, red.) adalah hak istimewa yang hanya bisa dinikmati orang-orang kaya, rakyat jelata bahkan tidak mampu memperoleh pasokan garam yang cukup, kata ‘hambar’ dalam istilah ‘nasi hambar teh murahan menjelaskan hal ini dengan tepat. Bisa makan nasi saja sudah sangat bersyukur, sedangkan mengejar kenikmatan di lidah adalah perilaku boros.
Sejarah Tiongkok dipenuhi dengan bencana kelaparan, entah berupa musibah karena faktor alam atau petaka akibat ulah manusia, yang telah memicu gejolak masyarakat bahkan pergantian dinasti. Seiring dengan kemajuan teknologi dan peningkatan produktivitas pertanian, secara logika masalah pangan seharusnya akan semakin berkurang bukan? Tetapi dalam sejarah baru dan modern Tiongkok pun masih saja dipenuhi dengan bencana kelaparan.
Yang pertama akibat perang berkepanjangan yang merusak produksi pertanian, seperti pada periode Kerajaan Surgawi Taiping (1851-1864) yang menyebabkan kehidupan di wilayah selatan Tiongkok menjadi bubrah, penduduk di desa pertanian maupun desa nelayan berkurang drastis dan kelaparan mewabah dimana-mana.
Setelah Dinasti Qing runtuh (pada 1911) peperangan dan kerusuhan sering terjadi, banyak warlord (raja perang, red.) yang berperang satu sama lain, invasi Jepang yang kemudian memicu Perang Tiongkok-Jepang yang kedua, perang saudara antara Republik Tiongkok (Partai Nasionalis atau Kuomintang, red.) melawan kubu komunis (Partai Komunis Tiongkok, red.). Berbeda dengan pemahaman orang kebanyakan, kerusakan terhadap pertanian yang disebabkan oleh tentara Jepang justru jauh lebih kecil, wilayah yang diduduki oleh tentara Jepang tidak ada catatan mengenai kelaparan yang berarti. Justru kehancuran tanggul Sungai Kuning yang disebabkan oleh tentara Partai Nasionalis saat mundur mengakibatkan bencana parah di daerah-daerah penghasil pangan di wilayah utara Tiongkok.
Biasanya pengrusakan terhadap pertanian dan terjadinya kelaparan hanyalah dampak samping dari suatu peperangan, tapi ada pula yang mengendalikan produksi pertanian bahkan sengaja menciptakan kelaparan untuk dijadikan alat dan senjata demi memenangkan perang.
Reformasi Lahan Tiongkok adalah kunci bagi partai komunis untuk memperbanyak pasukannya, sementara itu para petani begitu gigih menginginkan lahan tani karena bersumber dari ketakutan akan kelaparan. PKT merebut lahan dari para tuan tanah untuk dibagikan kepada rakyat, dan berjanji akan menciptakan masa depan serba berkecukupan akan segala materi dengan memberantas kelaparan, sehingga semua petani serta kaum proletar pun ikut terjun dalam gerakan komunis tersebut.
Ternyata untuk merebut kekuasaan dan membebaskan seluruh negeri, PKT menghalalkan segala cara. Dalam perang memperebutkan Kota Changchun, untuk mengurangi kerugian di pihaknya, PKT menempuh strategi mengepung kota yang keji, tujuannya adalah menguras persediaan pangan musuh sehingga kalah dengan sendirinya. Walaupun cara semacam ini kerap dilakukan dalam perang, namun cara yang dilakukan PKT bahkan jauh lebih ekstrem, tidak hanya mengepung pasukan musuh, bahkan rakyat di dalam kota pun tidak dibiarkan hidup. Mereka tidak membiarkan rakyat biasa melarikan diri dari kota agar mempercepat habisnya persediaan pangan di dalam kota, akhirnya ratusan ribu orang di Changchun mati akibat kelarapan, dan terciptalah “pembebasan damai” terhadap Changchun dari tangan pasukan Kuomintang..…
Setelah partai komunis akhirnya merebut kekuasaan dan mendirikan negara baru (pada 1949), rakyat penuh dengan pengharapan, dan mengira akan menjalani kehidupan indah seperti yang dijanjikan dalam teori partai komunis. Para mahasiswa di Peking yang setiap hari makan nasi dan lauk yang diberikan Pemerintah Nasionalis setiap hari turun ke jalan berunjuk rasa (anti pemerintah), tetapi setelah gegap gempita menyambut masuknya pasukan komunis ke kota itu mereka kembali harus menelan makanan kasar dan hambar, “kehidupan indah” itu pun diselimuti bayangan kelam yang pekat.
Reformasi Lahan di seantero Tiongkok pun dimulai, para petani memperoleh lahan yang mereka dambakan selama ini, tetapi pungutan pajak tidak berkurang justru semakin bertambah, sayangnya hanya dinikmati beberapa tahun semua lahan itu pun diambil alih kembali oleh pemerintah, dan diubah menjadi sistem kepemilikan kolektif. Setelah sepuluh tahun diacak-acak (1949-1959, Red.), tidak ada bencana alam, situasi dalam negeri juga relatif stabil, menurut sejarah kondisi ini sangat memadai bagi Tiongkok untuk memasuki era berkecukupan sandang pangan, tapi hari-hari yang dilalui rakyat Tiongkok justru malah tidak membaik. Pertama akibat pemborosan berlebihan karena terlibat Perang Korea (1950-10953, Red.), termasuk tenaga jutaan manusia dan materi. Kemudian setelah perang berakhir, seharusnya kali ini bisa menjalani kehidupan dengan aman dan tentram? Tapi entah karena apa PKT harus menanggung hutang kakak tertuanya yakni Uni Soviet. Seharusnya sang kakak membantu adik, tetapi kakak yang satu ini sangat cerdik, dan sangat perhitungan dengan adiknya. Tak lama kemudian PKT terlibat konflik dengan Uni Soviet, bukankah dengan demikian utang akan ditagih? Rakyat belum bisa makan kenyang, partai komunis sudah mengumumkan rakyat Tiongkok bertekad kuat, dan tidak mau ketinggalan dalam hal apapun. Uni Soviet hendak melampaui AS, maka Tiongkok harus melampaui Inggris dan menyusul AS; Uni Soviet hendak makan kentang dan daging sapi panggang, maka Tiongkok harus berlari memasuki era komunisme! Untuk itu dimulailah gerakan Lompatan Jauh ke Depan!
Menempa besi dilakukan besar-besaran, produk hasil pangan dibelikan satelit, dan pembualan merajalela. Tunggu, siapa bilang membual tidak perlu membayar pajak? Satelit sudah diorbitkan, pasukan pengumpul pangan pun sudah memasuki desa! Kali ini semakin gawat, sepetak lahan yang bisa menghasilkan 10.000 kati, harus menyerahkan 1.000 kati beras, apa yang bisa diserahkan? Partai komunis selalu saja ada cara: Berlari memasuki komunisme, Komune Rakyat mengadakan dapur umum, makan tidak perlu bayar! Memang makan tidak perlu bayar, tapi harus makan di dapur umum. Di rumah tidak boleh memasak, semua hasil produksi pangan harus diserahkan ke dapur umum, yang berarti sama saja dengan meraup seluruh produksi pangan rakyat. Dapur umum yang diadakan Komune Rakyat memang seperti paham komunis, semua orang makan bersama, mau makan berapa pun boleh.
Tapi hari-hari indah itu hanya sekejap, tak lama kemudian lenyap tak berbekas, mungkin lebih tepat dikatakan sudah mati. Beberapa hari kemudian Dapur Umum tidak lagi memberikan makanan, produksi pangan yang diserahkan sudah habis dimakan, bahkan benih yang dihasilkan pun habis dimakan. Kejadian berikutnya semua orang sudah tahu, tiga tahun damai dan tentram tetapi menewaskan puluhan juta orang yang mati kelaparan, yang disebabkan oleh bencana “alam”.
Warga Tiongkok yang lahir di era 1940-50an atau lebih awal, jika ditanya kejadian apakah yang meninggalkan kesan paling mendalam, jawabannya pasti adalah bencana kelaparan. Yang paling menakutkan adalah di desa pertanian, di Provinsi Henan dan Anhui yang paling aktif berpartisipasi membeli satelit, jumlah warga yang mati kelaparan adalah yang paling banyak, di tempat yang kondisinya agak baik seperti Provinsi Jiangsu dan Jiangxi, yang mati kelaparan atau kurang gizi lantas terpapar penyakit dan mati juga cukup banyak.
Seorang petani di Provinsi Jiangsu memberitahu saya, waktu itu keluarga mereka hanya makan dua kali dalam sehari, pagi dan malam selalu memasak bubur. Beras di dalam bubur sangat sedikit, harus ditambahkan ubi rambat. Ubi rambat tidak manis, bertepung dan tidak enak, juga menyebabkan perut kembung, tapi tidak ada pilihan lain. Pagi hari yang pria diprioritaskan mengambil nasi dan makanan kering lebih dulu, karena mereka harus bekerja di lahan, sedangkan wanita dan anak-anak hanya bisa makan sup ubi rambat. Di malam hari sekeluarga hanya bisa makan bubur. Dia memiliki adik yang sangat memilih makanan, hanya mau makan daging dan tidak mau makan ubi rambat, saking laparnya tubuhnya membengkak (edema, red.), kulit perutnya menjadi transparan sehingga terlihat organ dalamnya, dan hampir saja meninggal dunia…..
Orang yang berdiam di perkotaan jauh lebih beruntung, mereka masih dapat jatah pangan, setidaknya tidak khawatir akan mati kelaparan. Tapi tidak mungkin warga biasa bisa makan sampai kenyang, kelaparan adalah hal umrah. Seorang pekerja BUMN di Provinsi Jiangxi menceritakan kepada saya, tahun-tahun itu kantin di perusahaannya tidak memiliki cukup beras, pembagian jatah makan harus dicampur dengan ubi rambat untuk mencukupi kebutuhan, dan menu setiap hari makan nasi ubi rambat. Ubi rambat pun banyak yang sudah rusak, dalam nasi itu selalu ada rasa pahit. Banyak orang yang melalui tahun-tahun itu sudah takut makan ubi rambat, dan tidak mau lagi melihat ubi rambat.
Akhirnya tiga tahun kelaparan pun berlalu, ketersediaan pangan mulai stabil, tapi hingga era 1980-90an masih jauh juga dari bisa makan kenyang. Makanan di kota harus didapat dengan kupon, terutama minyak, gula, daging dan makanan pelengkap lain sangat kekurangan, kalori makanan secara keseluruhan sangat tidak memadai, gizi sangat tidak seimbang, dan sama sekali tidak ada bumbu masakan.
Kondisi di sejumlah desa justru relatif lebih baik, karena petani bisa memelihara sedikit ayam dan bebek untuk memperbaiki gizi atau dijual di pasar gelap. Tahun-tahun serba kekurangan materi itu juga telah menciptakan tradisi dan juga kebiasan khas Tiongkok, misalnya bila bertamu di rumah orang lain dan diajak makan bersama, jika di meja ada seekor ikan dan tuan rumah belum mengambilnya, tamu tidak akan memakannya, karena ikan itu akan digunakan oleh tuan rumah dalam jamuan lainnya.
Di banyak daerah pada saat tahun baru juga ada tradisi saling meminjam sayuran, yaitu meminjam sayuran orang lain untuk dipajang di meja untuk meramaikan menu di meja sendiri, sayur yang dipinjam harus dikembalikan utuh, tidak boleh dimakan. Pada tahun-tahun itu, bagi orang-orang yang bekerja di kantin atau pabrik pengolahan daging dan sejenisnya adalah pekerjaan yang dikagumi oleh banyak orang, karena mereka bisa menjamin keluarganya bisa memakan hidangan enak yang tidak bisa dinikmati orang-orang pada umumnya. (sud/whs)
Bersambung