Reportase Suasana Sulit di Tiongkok : Rakyat Kesulitan Menutupi Biaya Hidup, Perusahaan Bertahan Lewat Dana Pinjaman

oleh Xiong Bin 

Saat ini perekonomian Tiongkok sedang berada dalam kesulitan besar. Baru-baru ini, para pemilik bisnis di berbagai tempat mengungkapkan bahwa semua lapisan masyarakat mengalami Depresi Hebat. Sejumlah besar toko fisik bangkrut, kios-kios tutup dan kawasan bisnis menjadi sepi pengunjung. Banyak orang yang terlilit hutang setiap harinya masih tetap mendapat panggilan dari bank untuk melunasi angsuran atau pinjaman. Ada juga warga sampai bertahan hidup dari mengandalkan cerukan kartu kredit, jelas kehidupan masyarakat Tiongkok saat ini memprihatinkan.

Pada akhir  April, seorang pemilik toko kaligrafi dan lukisan di Kota Baoding, Provinsi Hebei, Tiongkok bermarga Wang, kepada reporter “NTDTV” mengatakan, bahwa tokonya tutup selama epidemi. Dia menganggur di rumah dan mengandalkan cerukan kartu kredit untuk konsumsi, bertahan hidup. Banyak orang di sekelilingnya terpaksa berbuat serupa. 

“Bagaimana bagi mereka yang punya tanggungan membayar angsuran KPR atau KPM untuk mempertahankan kehidupan keluarga, apa lagi punya beberapa orang anak. Saya bahkan tidak dapat melunasi tagihan kartu kredit senilai ribuan yuan, karena tidak punya pemasukan dan juga tidak dapat beralih ke pekerjaan lain. Saya adalah seniman yang hanya bisa berkecimpung dalam bisnis kaligrafi dan lukisan, tetapi siapa yang masih peduli dengan produk seni saat ini karena semua orang tidak punya uang. Ini adalah barang yang tidak berguna. Siapa yang mau membelinya ?” ujar Mr. Wang.

Mr. Chen, pemilik pabrik kulit mengungkapkan, bahwa usahanya bangkrut, dan dirinya terlilit hutang yang cukup besar. Setiap hari ada telepon dari petugas bank yang menagih pembayaran.

“Iklim usaha sedang buruk. Bertahan hidup semakin sulit. Saya sudah lebih kurang 20 tahun berkecimpung dalam usaha perkulitan. Saya juga mempunyai hutang bank. Salah satu pelanggan saya kabur tanpa membayar tagihan saya. Jadi usaha saya kehilangan dana. Sehingga saya tidak mampu membayar kembali pinjaman bank dan kartu kredit yang saya pakai. Petugas bank mengejar saya dan menelepon saya setiap hari. Saya terpaksa menyerah, terserah mereka saja. Banyak orang yang berkondisi seperti saya, bahkan utang mereka jauh lebih besar daripada saya,” kata Mr. Chen.

Lockdown ketat epidemi selama tiga tahun yang diterapkan oleh PKT dan resesi ekonomi yang semakin parah telah menyebabkan semakin banyak orang kesulitan dalam mempertahankan hidup. Itulah sebabnya banyak warga Tiongkok melakukan bunuh diri karena tidak mampu menanggung tekanan hidup.

Contoh tipikalnya adalah Alco Electronics (Dongguan) Ltd. yang memiliki lebih dari 20.000 orang karyawan. Setelah mengalami kerugian selama 4 tahun berturut-turut, pendiri pabrik elektronik tersebut, Liang Weicheng bunuh diri dengan melompat dari gedung.

Ke Shan (nama samaran), seorang pedagang di Kota Xuzhou, Provinsi Jiangsu mengatakan, bahwa banyak bisnis bos besar gulung tikar, mereka hidup dengan mengandalkan hutang, sehingga sulit melewati hari.

“Perjuangan di tahun ini lebih sulit dibandingkan 3 tahun sebelumnya, karena situasi ekonomi yang buruk. Menyelamatkan bisnis benar-benar sulit. Saya awalnya mengoperasikan industri kerajinan tangan yang membuat selimut sutra di Kota Nanjing. Jelas usaha saya sangat bergantung kepada para pekerja. Usaha tersebut terpaksa tidak lagi diteruskan, karena persaingan terlalu ketat. Sekarang yang masih bertahan dari belasan penjual produk tersebut hanya tinggal satu atau dua teman saja,” kata Ke Shan.

Seorang wanita muda pemilik restoran di Guangdong dalam video yang diposting lewat media sosial mengatakan, bahwa dia tahu apa lagi yang harus diperbuat setelah selama 1 tahun berjuang keras dalam upayanya untuk membuka restoran dan menarik pelanggan. Lilitan hutang telah membuat dirinya stress.

“Ini adalah tempat usaha restoran yang membuat saya kehilangan 500.000 yuan dalam 3 bulan. Hari ini usaha saya tersebut saya tutup. Di samping itu, saya dengan tulus ingin menasihati para entrepreneur muda yang baru mau memasuki bidang makanan, agar lebih berhati-hati sebelum memutuskan,”katanya.

Menurut data yang dilaporkan oleh otoritas Tiongkok, pada kuartal pertama tahun ini saja ada 460.000 bisnis makanan dan minuman yang tutup, lebih dari tiga kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Saudara-saudara, saya sampaikan bahwa usaha apa saja yang saya lakukan semua menghadapi jalan buntu. Saya masuk ke bidang pendidikan, pendidikan jatuh, membuka restoran, restoran jatuh. Inilah lokasi restoran yang saya tanamkan modal sebesar 1 juta, terpaksa saya tutup setelah selama 1 tahun saya pertahankan dengan susah payah. Saya benar-benar tidak mampu bertahan lagi,” ujar pemilik restoran hot pot di Kota Chongqing.

Para pedagang di banyak tempat memberitakan kepada reporter “NTDTV”, bahwa semua lapisan masyarakat sedang mengalami resesi, hampir tidak ada toko fisik yang bisa bertahan.

Mr. Liu, seorang pengusaha di Kota Hefei, Provinsi Anhui mengatakan : “Cobalah Anda berjalan dan melihat sendiri masih ada berapa toko di jalanan atau gang yang masih beroperasi. Kebanyakan dari mereka bangkrut tak lama setelah buka”.

Wang Ling, pemilik toko di Kota Anshan, Provinsi Liaoning mengungkapkan : “Dalam situasi perekonomian yang buruk ini, toko yang sudah berdiri selama beberapa puluh tahun, bahkan yang berada di lokasi makmur pun tidak mampu bertahan, bangkrut. Apa lagi toko kecil, banyak yang tutup”.

Seorang pemilik toko bermarga Wang di Kota Kunming, Provinsi Yunnan mengatakan : “Perekonomian tidak baik, usaha apa pun sulit, banyak toko yang ditutup, bisnis tidak mudah. Dahulu usaha saya buka toko karena tidak berjalan dengan baik, saya tutup. Lalu beralih ke industri pariwisata. Meskipun sekarang pariwisata masih bisa berjalan, tetapi yang diminati peserta adalah perjalanan yang beranggaran terbatas. Pokoknya kerja apa pun tidak seenak duhulu”.

Pada akhir  April tahun ini, Mr. Wang, penjual mie di sebuah kios di Kota Chengdu, Provinsi Sichuan, juga mengungkapkan bahwa gelombang penutupan usaha terjadi di berbagai industri lokal.

“Banyak bisnis, termasuk pabrik, dan bisnis yang beraset puluhan juta pun bangkrut. Mereka semua beralih menjadi supir taksi. Karena beberapa kali naik taksi, jadi saya tahu ada seorang pria asal Hongkong yang menjadi sopir DiDi Taxi. Lalu ada juga sepasang suami-istri yang sebelumnya membuka pabrik kecil, kini mereka menjadi sopir DiDi Taxi karena pabriknya tutup, tetapi beban membayar angsuran KPR masih tetap harus dipikul. Kejadian serupa cukup banyak,” ujarnya.

Mr. Wang mengatakan bahwa banyak bos kaya yang kini bangkrut dan menjadi pengantar makanan atau menjadi sopir online DiDi Taxi.

“Suatu hari saya pergi ke suatu tempat dengan menaiki DiDi Taxi yang sopirnya adalah seorang pemuda berusia 30-an tahun. Saya lihat temperamen dan pakaiannya sangat berbeda. Kemudian, saya bertanya kepadanya. Dia kemudian mengungkapkan bahwa dirinya cukup berada saat sebelum epidemi berkecamuk. Namun kondisinya berubah setelah epidemi, dia terpaksa menjadi sopir taxi. Bos yang sudah tidak lagi memiliki uang seperti ini banyak sekali sekarang”, kata Mr. Wang.

Sebuah statistik menunjukkan bahwa tingkat penutupan toko fisik di Tiongkok telah mencapai 93%. Pada saat yang sama, banyak tempat komersial dan pusat perbelanjaan besar yang dulunya ramai dan bising kini menjadi sepi dan sunyi.

Menurut ungkapan dari seorang sumber yang memahami situasi industri di Tiongkok, bahwa penutupan toko fisik dalam jumlah besar masih terus berlangsung.

Wang Chong, pemimpin pemikiran tiga dimensi bisnis baru Tiongkok mengatakan : “Percayalah dengan apa yang saya katakan, bahwa 90% toko fisik offline di Tiongkok akan tutup pada tahun 2025. Nantinya sudah tidak lagi ada toko yang buka”.