Pinnacle View
Iran dan Israel yang di zaman dulu pernah bersahabat baik selama ribuan tahun, mengapa di era modern justru berseteru? Mengapa meletus Revolusi Iran tahun 1979? Apa esensi dari revolusi ini? Perlu diketahui bahwa di antara negara Islam lainnya, Iran sebenarnya pernah menjadi sekutu Israel yang langka dan hubungan keduanya relatif erat, sedangkan sejak meletus Revolusi Iran pada abad lalu yang menggulingkan Dinasti Pahlavi, Iran pun menempuh jalur yang sama sekali berbeda, perubahan semacam ini telah menunjukkan tren lain perkembangan sejarah bahwa suatu peradaban bisa mengalami kemunduran besar.
Israel-Iran Bersahabat 2.000 Tahun, Mengapa Mendendam 50 Tahun Terakhir
Li Jun, produser televisi independen menyatakan kepada “Pinnacle View”, permusuhan sesungguhnya antara Iran dan Israel baru berawal sejak 1979, karena waktu itu meletus Revolusi Iran, rezim Reza Pahlavi pada masa itu digantikan oleh Republik Islam Iran.
Setelah Ayatollah Ruhollah Khomeini berkuasa, kala itu ia merupakan pemimpin tertinggi di Iran, ia berkuasa atas agama, atas politik, dan bahkan berkuasa memberhentikan presiden. Sikap Khomeini terhadap orang Yahudi sangat keras dan ekstrem, ia menganggap keberadaan Israel di kawasan Timur Tengah adalah ibarat sebuah kanker yang tertanam di jantung Islam, maka kanker tersebut harus dimusnahkan. Pemikiran tersebut akhirnya secara perlahan telah berubah menjadi suatu kebijakan negara Iran. Setelah Iran berubah, sikap kedua negara menjadi semakin tegang, dan perlahan beralih menjadi permusuhan.
Li Jun selanjutnya mengatakan, dua negara Israel dan Iran, dari dua suku bangsa Yahudi dan Persia, sebenarnya menjalin hubungan yang bersejarah sangat erat selama dua hingga tiga ribu tahun lamanya. Awalnya bangsa Yahudi telah mendirikan negaranya di wilayah Yerusalem pada abad 11 SM, tapi tak lama kemudian negara itu terpecah belah, dan disusul bangsa Yahudi mengalami musibah pertama, yakni negaranya ditumpas oleh Kekaisaran Babilonia, Bait Suci (Kuil Pertama atau Solomon’s Temple) juga dihancurkan, Kekaisaran Babilonia menangkap semua pangeran dan bangsawan Yahudi berikut sejumlah warganya, dan bangsa Yahudi pun menjadi tawanan Babilonia.
Kemudian sekitar tahun 550-an SM, Kaisar Cyrus telah mendirikan Kerajaan Persia yang pertama, dan akhirnya mengalahkan Kekaisaran Babilonia, yang berbuntut pembebasan bangsa Yahudi, bahkan semua harta benda milik Yahudi yang disita oleh Babilonia dikembalikan kepada mereka. Wajar jika bangsa Yahudi sangat berterima kasih pada Kaisar Cyrus, kemudian Kaisar Cyrus bahkan menyetujui membantu orang Yahudi membangun kembali Bait Suci mereka. Sehingga bangsa Yahudi sangat setia kepada Kaisar Cyrus, dan di bawah kekuasaan Kerajaan Persia, banyak dari para saudagar Yahudi menjadi kaya raya, dan bertumbuh dengan pesat. Periode itu disebut sebagai masa bulan madu balas budi, dan kedua bangsa hidup berdampingan dengan sangat rukun.
Periode kedua adalah Kerajaan Persia ditumpas oleh Kerajaan Macedonia dari Yunani, kemudian wilayah Yerusalem dikuasai lagi oleh Romawi, disusul dikuasai lagi oleh Imperium Arab, periode itu disebut Periode Warga Kelas Dua. Satu titik balik disini terjadi pada tahun 651, waktu itu Arab menaklukkan Dinasti Sasania dari bangsa Persia, dan mulai mengislamkan Persia, sebelumnya Imperium Persia tidak mengenal budaya Islam, pada periode tersebut jika seseorang bukan penganut Islam maka akan dianggap sebagai warga kelas dua, dengan status sosial lebih rendah, jadi status orang Yahudi ialah warga kelas dua pada masa itu, dan kondisi ini berlangsung selama hampir seribu tahun.
Hingga tahun 1661 seorang raja dari Dinasti Safawiyah mengumumkan, menghormati kebebasan beragama bangsa Yahudi, maka orang Yahudi pun memulihkan kembali kepercayaannya, dan sejak saat itu hingga abad ke-20, bisa dikatakan bangsa Yahudi dengan bangsa Iran memiliki hubungan yang sangat baik.
Pada abad ke-20 dalam konstitusi Dinasti Pahlavi juga ditetapkan kebebasan beragama, bahkan orang Yahudi pun dapat menjadi pejabat dalam Dinasti Pahlavi. Masa ini disebut sebagai periode kooperatif saling menghormati.
Sampai tahun 1948 setelah Israel mendirikan negaranya, dunia Islam yang terutama terdiri dari negara Arab pun mulai berperang dengan Israel, termasuk Irak, Yordania, dan lain-lain, sementara Iran karena mengalami konflik antar sekte agama sebenarnya tidak memiliki hubungan yang baik dengan negara Arab, jadi Iran dan Israel pun saling menggantungkan diri satu sama lain, waktu itu hubungan keduanya tergolong baik, sebagian besar minyak bumi Israel pada masa itu diimpor dari Iran, dan Israel membantu Iran melatih pilotnya, termasuk badan intelijen Iran pun dibentuk dengan bantuan dari Israel. Sementara pada saat itu, baik Israel maupun Iran telah memastikan suatu hubungan yang sangat penting, yakni menjalin hubungan baik dengan Amerika Serikat.
Jadi sebelum Revolusi Iran 1979, Iran yang pro-Amerika, telah mulai mengarah pada modernisasi, yang menuju ke kondisi masyarakat yang lebih bebas, dan bertahan hingga saat revolusi itu terjadi, namun, sejak saat itu sejarah persahabatan kedua negara selama 2.400 tahun itu pun berakhir.
Ideologi Islam Syiah Kendalikan Iran, (Tidak Asing Bagi Tiongkok)
Komentator bernama Zheng Xuguang menyatakan, Iran menganggap dirinya adalah penerus bangsa Persia, dan dilihat dari sejarah Persia, dikarenakan Persia adalah tradisi imperium/kekaisaran, biasanya tradisi kekaisaran tidak melakukan penindasan agama, ia relatif lebih toleran terhadap agama, selama tidak menantang posisi imperiumnya maka tidak akan dianggap sebagai ancaman.
Jadi dalam sejarahnya Persia adalah kawasan yang cukup toleran terhadap Yahudi Israel. Sebenarnya hampir semua imperium adalah seperti itu, termasuk dunia Arab dulunya juga pernah seperti itu, demikian pula dengan kekaisaran Tiongkok kuno.
Namun setelah Raja Pahlavi diasingkan, rezim Revolusi Iran yang baru berkembang itu adalah suatu rezim yang sangat ideologis. Dengan kata lain, setelah PD-II, dunia bebas yang diwakili AS dan dunia totaliter komunis yang diwakili Uni Soviet, kedua kekuatan tersebut pada hakikatnya ditentang oleh Khomeini. Mereka beranggapan negara Barat sangat bobrok, sementara komunisme di Timur juga terlalu ekstrem dan bertentangan dengan tradisi, itu sebabnya mereka mendirikan negara hukum syariat islam Republik Islam Iran, jadi hal ini merupakan semacam ideologi baru, yang belum pernah ada dalam sejarah Persia.
Zheng Xuguang menyatakan, begitu pula halnya dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) yang dibentuk oleh PKT (Partai Komunis Tiongkok), rezim seperti RRT ini tidak pernah ada dalam sejarah Tiongkok, dan PKT juga selalu mengatakan menumpas imperialisme AS dan mengganyang revisionisme Uni Soviet, ideologinya memang tidak toleran. Iran mengucilkan Israel, murni karena gerakan revolusi ideologi yang baru, sama seperti idealisme paham komunis, keduanya sangat mirip, bendera merah hendak dikibarkan di seluruh dunia, begitu pula dengan Islamisme Syiah ala Iran juga harus mencakup seluruh dunia dengan perang jihad, dan harus merebut kembali Yerusalem.
Seperti pada saat PKT hendak menyebarkan ideologinya, hubungannya dengan negara tetangganya menjadi tegang, karena ideologi telah mengendalikan seluruh negara. Itu sebabnya Iran pun tidak memperoleh simpati dari pemerintahan sekuler di dunia Arab, hanya organisasi seperti Hamas dan Hezbollah yang mau mendukungnya, apakah Hamas berkeyakinan yang sama, tidak diketahui, tapi setidaknya Hamas bisa memperoleh bantuan dana dari Iran, sama seperti Uni Soviet atau RRT saat mengekspor revolusi komunismenya di Asia Tenggara, perilaku tersebut tidak berbeda jauh dengan yang dilakukan Iran sekarang.
Zheng Xuguang mengatakan, saat Iran menuju modernisasi, saya merasa Dinasti Pahlavi sangat mirip dengan kejadian di Tiongkok, misalnya Republik Tiongkok mulai dari Sun Yat-Sen 1912, Yuan Shikai sampai periode Chiang Kai-Shek, sebenarnya proses westernisasi Republik Tiongkok cukup tinggi, waktu itu Shanghai adalah kota internasional yang paling makmur di Timur Jauh. Tapi akibat tersusupi suatu revolusi komunisme dari Uni Soviet, telah membawa pergi segala kemakmuran Republik Tiongkok (pada 1949).
Peradaban Mundur Modernisasi Berbalik Arah, Sejarah Iran Masa Depan PKT
Pemimpin redaksi The Epoch Times yakni Guo Jun menyatakan, selama lebih dari satu abad terakhir, banyak negara telah mengalami keberbalikan arah di jalan modernisasi, Iran bukan yang pertama, juga tidak akan menjadi negara yang terakhir. Misalnya Jerman, sejak kebangkitan ekonomi global pada abad ke-19 Jerman merupakan negara yang paling menonjol, setelah reunifikasi Jerman (di zaman Prusia), hingga tahun 1890, kemampuan manufaktur industri Jerman telah melampaui Inggris, serta banyak penemuan, banyak seniman dan ilmuwan adalah orang Jerman. Tapi pada 1933 hanya setahun setelah Hitler berkuasa, waktu seakan berjalan mundur, seluruh Jerman telah mengalami kemunduran besar dalam hal perkembangan masyarakat dan tingkat peradabannya, bisa dipandang sebagai semacam modernisasi yang telah berbalik arah.
Kondisi Iran sepertinya lebih rumit daripada Jerman, karena ada faktor agama, tapi secara esensi disebabkan oleh masalah ekonomi. Setelah Jerman kalah dalam PD-I, perekonomian Jerman pun terpuruk, di era 1930-an depresi hebat kembali melanda.
Tidak berbeda jauh dengan Iran, antara 1960-an hingga 1970-an pertumbuhan ekonomi Iran sangat pesat, tapi Iran tidak memiliki penopang sistem masyarakat modern ini, di bawah sistem monarki dan meritokrasi itu, pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat itu mengakibatkan ketidak-seimbangan. Inilah yang kita sebut terkadang kecepatan pertumbuhan terlalu pesat justru merugikan, dapat mengakibatkan perubahan besar pada masyarakat, yang menyebabkan kekacauan, dan untuk mengatasinya akan butuh waktu, dan seringkali gagal dalam menyelaraskan masyarakat tersebut.
Melihat foto-foto modernisasi Iran pada masa itu, yang terefleksi sebenarnya adalah kawasan selatan kota Teheran, yakni kawasan menengah dan orang-orang kaya, jika menengok ke penduduk miskin dalam jumlah besar di kawasan agraris utara, dan juga sangat terbelakang, mereka semua adalah warga yang tidak berpendidikan. Ketidakseimbangan sosial itu berlangsung hingga akhir era 1970-an, begitu terjadi krisis ekonomi, maka ia menjadi sangat mematikan.
Guo Jun menyatakan, sebenarnya perkembangan negara dan perkembangan individu, keduanya sangat mirip, yang paling krusial adalah pada saat susah, siapa yang bisa melalui kesusahan dengan selamat, maka dialah yang akan dapat terus berkembang.
Selama lebih dari seabad terakhir ini banyak negara yang telah bangkit kemudian jatuh lagi, masalah krusialnya adalah negara-negara itu tidak bisa melalui masa sulit. Misalnya: Kuba, Argentina, Brasilia, Mesir, bahkan Uni Soviet, dan di Asia ada Filipina, yang pernah menjadi negara makmur, semua negara itu mengalami kondisi seperti tersebut di atas.
Tentu kelompok Islam-Syiah telah memainkan peran sangat besar dalam gerakan perebutan kekuasaan, sebenarnya di akhir era 1970-an, revolusi di Iran diikuti oleh banyak sekali organisasi, ada juga sayap kiri, seperti organisasi komunis juga ikut ambil bagian, tapi pada akhirnya yang memperoleh kekuasaan adalah kelompok Islam-Syiah, karena pengaruh mereka di kalangan rakyat sangat besar.
Guo Jun mengatakan, sejarah Iran beberapa dekade terakhir ini bisa dibandingkan dengan keadaan Daratan Tiongkok saat ini, model seperti ini muncul sebagai restorasi setelah kebangkitan ekonomi, masyarakat menjadi tidak seimbang, institusi begitu kaku dan tidak memiliki mekanisme penyesuaian, hingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan besar, lalu terjadi restorasi, akibatnya adalah mayoritas hasil dari modernisasi itu akan hilang. Jika melihat Tiongkok di bawah pemerintahan PKT sekarang ini, kemungkinan besar akan menapaki jalan yang sama. (sud/whs)