Prediksi PBB : Populasi Tiongkok Akan Tinggal 600 Juta Jiwa Pada Akhir Abad Ini

 oleh Qih Xue

Konsekuensi negatif dari kebijakan keluarga berencana yang diberlakukan Partai Komunis Tiongkok sejak era Mao Zedong adalah populasi Tiongkok akan berkurang setengahnya, menjadi 600 jiwa pada akhir abad ini. Demikian yang digambarkan oleh PBB dalam laporan “World Population Prospects 2024” terbitan 11 Juli 2024. 

Laporan terbaru “World Population Prospects 2024” yang dirilis oleh PBB memperkirakan bahwa populasi Tiongkok akan menurun dari 1,4 miliar jiwa saat ini menjadi 639 juta jiwa pada tahun 2100, yang jauh lebih serius dari angka 766,7 juta jiwa yang diperkirakan 2 tahun silam.

Selain penurunan hingga setengah dari jumlah populasi Tiongkok, tetapi juga akan terjadi kelainan struktur populasi. Dimana menurut laporan tersebut bahwa pada tahun 2050, proporsi penduduk Tiongkok berusia di atas 65 tahun akan mencapai 31%, dan pada tahun 2100 nanti, proporsi ini akan meningkat menjadi 46%, atau hampir setengah dari total populasi Tiongkok.

Hal ini disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan negara oleh PKT, dan disebabkan oleh penekanan paksa terhadap angka kelahiran. Pada tahun 1980-an, Partai Komunis Tiongkok mulai mengendalikan pertumbuhan penduduk dan melaksanakan keluarga berencana.

Menurut propaganda Partai Komunis Tiongkok, pengurangan populasi mempunyai dua manfaat. Yang pertama adalah mengurangi konsumsi sumber daya. Partai Komunis Tiongkok mengklaim bahwa pertumbuhan populasi yang berlebihan telah membawa tekanan pangan yang besar. Kedua, mengurangi jumlah penduduk bayi yang menjadi tanggungan, meningkatkan rasio penduduk bekerja terhadap penduduk tidak bekerja, dan menikmati bonus demografi.

Namun harga yang harus dibayar mahal dari pembatasan kelahiran selama beberapa dekade adalah berkurangnya angkatan kerja dan wanita usia subur pada saat ini.

Davy Jun Huang, seorang ekonom yang tinggal di Amerika Serikat mengatakan kepada NTDTV bahwa meskipun Partai Komunis Tiongkok telah memperoleh keuntungan jangka pendek dari kebijakan menurunkan tingkat kesuburan. Tetapi menyebabkan kerugian jangka panjang terhadap perekonomian dan masyarakat.

“Meskipun dalam waktu singkat, sebagian besar angkatan kerja muda dapat dibebaskan dari pekerjaan keluarga, mengasuh anak, dan dimanfaatkan untuk berproduksi, sehingga produktivitas dan efisiensi produksi seluruh masyarakat dapat meningkat dalam waktu relatif pendek. Namun dalam jangka menengah dan panjang, masalah yang muncul adalah, pertama bahwa seluruh masyarakat tidak dapat bertransformasi menjadi masyarakat konsumen. Kedua, ketika orang-orang ini menjadi tua, maka yang dihadapi adalah situasi penuaan yang parah. Ketika kaum muda harus menjadi penopang hidup bagi orang lanjut usia yang semakin banyak, struktur populasi akan memasuki kondisi ketidakharmonisan. Yang ketiga, hal ini juga akan mendistorsi struktur seluruh masyarakat juga mendistorsi struktur keluarga”, ujar Davy.

Titik balik penurunan jumlah penduduk Tiongkok muncul pada 2022. Data resmi Partai Komunis Tiongkok menunjukkan bahwa populasi Tiongkok berkurang 850.000 jiwa pada tahun 2022 dibandingkan dengan tahun 2021. Pada akhir 2023, jumlah penduduk Tiongkok kembali turun sebanyak 2,08 juta jiwa.

Para peneliti dari Universitas Victoria, Australia dan Akademi Ilmu Sosial Shanghai menganggap bahwa perkiraan PBB itu terlalu optimis. Pada akhir abad ini, populasi Tiongkok hanya akan berjumlah 525 juta jiwa, yang merupakan angka terendah dalam sejarah Tiongkok.

Davy J. Huang mengatakan bahwa betapa pun kerasnya upaya Partai Komunis Tiongkok untuk meningkatkan tingkat kesuburan penduduknya, akan sulit untuk membalikkan tren penurunan populasi yang terus berlanjut.

“Karena masyarakat yang dapat mempunyai anak sekarang adalah mereka yang termasuk dalam generasi keluarga berencana, proporsi penduduk aslinya memang relatif rendah. Memang ada yang berusaha semaksimal mungkin untuk memiliki anak, namun kontribusi mereka cukup terbatas karena proporsinya memang kecil. Jumlah penduduk pada era ini relatif sedikit, yaitu mereka yang lahir pada tahun 1990-an dan 2000-an. Jumlah mereka relatif kecil dalam struktur populasi secara keseluruhan, jadi tidak sebanyak mereka yang lahir pada tahun 1970-an dan 1980-an”, katanya.

Saat ini, kondisi sosial dan ekonomi Tiongkok sangat buruk, sehingga banyak masyarakat Tiongkok yang tidak berminat untuk memiliki anak, hal ini semakin memperburuk penurunan tingkat kelahiran.

Davy Huang mengatakan : “Karena pertumbuhan ekonomi sedang menurun saat ini, jadi tidak ada jaminan sosial yang cukup. Kedua, penuaan populasi sudah terjadi sekarang, berarti produktivitas tidak lagi tinggi, tidak lagi dapat melahirkan terlalu banyak anak. Kaum mudanya bukan dia mau punya anak, tetapi mereka tidak mampu menyediakan sumber daya untuk mendukung pertumbuhan anak, baik secara finansial maupun tempat tinggal. Itu sekarang sudah menjadi lingkaran setan.”

Penelitian dari Suning Financial Research Institute menunjukkan, bahwa anggaran untuk membesarkan anak bisa menghabiskan dana hampir RMB.500.000,-. Selain itu, untuk membiayai sewa asrama di sekolah, perkemahan musim panas, dan belajar di luar negeri itu merupakan pengeluaran yang tidak sedikit.

Oleh karena itu, beberapa anak muda berseru : “Saya tidak bersedia memiliki anak, semoga saja era pemerasan terhadap rakyat bisa berakhir sampai di generasi ini.” (sin)