Pesawat Tempur Siluman F-22 Tiba di Timur Tengah, Israel akan Melancarkan Serangan Preemptive?

Fokus Militer

Dalam masyarakat saat ini, peran senjata dan militer memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar membunuh. Kekuatan militer yang kuat sering digunakan sebagai alat pencegahan, menjaga perdamaian dunia, dan keamanan manusia. Meskipun perang telah menjadi lebih tersembunyi, namun tidak pernah benar-benar berhenti.

Beberapa hari telah berlalu sejak ancaman Iran dan poros perlawanan untuk melancarkan serangan balasan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel dalam beberapa hari. Namun, tampaknya aksi balasan Iran terhadap Israel masih belum terlihat. Lambatnya aksi Iran mungkin bisa dianggap sebagai tindakan yang bijaksana. Jika masih belum terlambat, Iran tampaknya harus lebih lanjut memberikan sinyal untuk menyelesaikan konflik secara diplomatik guna meredakan reaksi keras yang mungkin dilakukan oleh Israel dan Barat.

Sebuah skuadron lengkap jet tempur siluman F-22 Raptor Angkatan Udara AS sedang dikerahkan ke Timur Tengah untuk mengekang Iran. Ini adalah pengerahan krisis terbesar dari jet tempur terbaik Amerika, menunjukkan seberapa serius situasi Iran di mata Barat. Saat militer AS mengumpulkan pasukan, Iran bersumpah akan membalas atas kematian pemimpin politik Hamas, Haniyeh, yang terjadi minggu lalu di Teheran, serta serangan misil yang menewaskan seorang pejabat senior Hizbullah di Lebanon.

Seiring dengan AS yang bersiap menghadapi aksi balasan yang lebih luas dan multi-sumbu dari Iran dan porosnya, Pentagon sedang meningkatkan kehadiran militer Amerika di kawasan tersebut. Pada akhir pekan lalu, AS tidak hanya menambah satu skuadron jet tempur F-22 di wilayah tersebut, tetapi juga memerintahkan penggantian kelompok serangan kapal induk Theodore Roosevelt dengan kelompok serangan kapal induk Abraham Lincoln yang saat ini ditempatkan di wilayah tanggung jawab Komando Pusat. Selain itu, lebih banyak kapal penjelajah, kapal perusak dengan kemampuan pertahanan rudal balistik, dan sistem pertahanan rudal balistik darat juga dikerahkan ke wilayah Komando Eropa dan Komando Pusat AS.

Jika Iran mencoba kembali menggunakan ratusan rudal dan drone untuk melancarkan serangan, F-22 tidak hanya dapat memimpin pembentukan perisai pertahanan AS di kawasan tersebut, tetapi juga melancarkan serangan langsung terhadap target strategis Iran.

Pesawat F-22 adalah jet tempur tercanggih di dunia yang tidak dapat dibandingkan oleh lawan manapun. Ia biasanya terbang di ketinggian lebih dari 50.000 kaki, dapat mempertahankan kecepatan supersonik tanpa afterburner, dan radarnya yang canggih mampu mendeteksi, melacak, dan menghancurkan target tersembunyi apapun, bahkan target dengan sinyal yang paling kecil. Sementara itu, F-22 sendiri sangat sulit dilihat di radar, membuatnya tampak lebih kecil dari seekor tawon bagi sistem pertahanan udara Iran. F-22 juga dapat membawa senjata serangan udara dan darat secara bersamaan, dengan sensor jarak jauhnya yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas musuh dan menyerang target di luar jangkauan visual.

AS pernah mengerahkan F-22 ke Timur Tengah pada tahun 2014 dan 2018 untuk menjalankan misi serangan darat di Suriah dan melakukan patroli dalam perang melawan ISIS. Angkatan Udara AS hanya memiliki 183 jet F-22, dengan sekitar kurang dari 100 pesawat yang siap menjalankan misi. Pesawat-pesawat ini sebagian besar ditempatkan di Alaska dan Hawaii untuk melindungi daratan Amerika dari serangan pembom Tiongkok dan Rusia, serta mempertahankan keamanan di wilayah Pasifik. Selain itu, basis utama F-22 terletak di Pangkalan Angkatan Udara Langley di Virginia. Pada Februari tahun lalu, sebuah jet tempur Raptor menembak jatuh balon mata-mata Tiongkok yang lepas landas dari pangkalan ini.

Kemampuan F-22 yang begitu canggih memungkinkan hanya dengan beberapa pesawat saja sudah cukup untuk menyelesaikan misi di Timur Tengah. Kini, pengerahan satu skuadron lengkap F-22 hampir belum pernah terjadi sebelumnya dalam skala seperti ini. Hal ini menunjukkan sikap Amerika, bahwa Amerika harus siap memastikan bahwa setiap aksi balasan terhadap Iran dan proksi regionalnya, termasuk Houthi atau organisasi lain, harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

Pengerahan besar-besaran F-22 ini juga pasti akan mendapat perhatian dari musuh-musuh Amerika di wilayah lain, termasuk Tiongkok dan Rusia. Hal ini mengingatkan musuh utama Amerika bahwa kekuatan udara yang dikuasai Angkatan Udara AS masih dapat mendominasi situasi regional dan dapat dikerahkan dalam beberapa jam ke tempat yang dibutuhkan, termasuk ke wilayah Pasifik, bahkan dekat dengan kawasan Selat Taiwan. Menampilkan kemampuan operasional F-22 di Timur Tengah akan membantu memverifikasi kekuatan pencegahan Angkatan Udara AS dalam potensi konflik di Pasifik di masa depan.

Berbagai sikap militer yang saat ini diambil oleh Departemen Pertahanan AS juga merupakan tindakan defensif yang diambil setelah Iran mengadakan pertemuan dengan Hamas, Hizbullah, Jihad Islam, dan Houthi Yaman. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kehadiran militer guna mencegah eskalasi situasi di kawasan tersebut. Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih pada 4 Agustus mengatakan bahwa Amerika Serikat sedang mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan, siap merespons serangan yang mungkin dialami oleh Israel sambil menghindari pecahnya perang regional di Timur Tengah yang bergejolak.

Jika pengerahan besar-besaran F-22 dimaksudkan untuk mencegah aksi balasan Iran dan proksi regionalnya terhadap Israel, maka pemikiran militer Israel mungkin lebih berbahaya. Serangan oleh Iran dan proksi regionalnya terhadap Israel tampaknya sudah tidak bisa dicegah lagi. Menghadapi potensi serangan besar-besaran rudal dan drone yang bisa menyebabkan banyak korban, Israel sedang mempertimbangkan untuk melancarkan serangan preemptive terhadap Iran dan Hizbullah.

Pada 5 Agustus lalu, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengunjungi pusat komando Angkatan Udara Israel dan melakukan evaluasi situasi bersama Komandan Angkatan Udara Israel, Tomer Bar, serta pejabat tinggi lainnya. Militer Israel berpendapat bahwa karena kemungkinan eskalasi situasi di wilayah utara telah meningkat, lebih baik jika Israel mengambil inisiatif dengan melancarkan tindakan preemptive.

Seiring dengan meningkatnya persiapan Israel untuk menghadapi serangan dari Hizbullah dan Iran, para pejabat tinggi Angkatan Pertahanan Israel mengusulkan agar melakukan serangan preemptive terhadap Iran dan Hizbullah, daripada menunggu tindakan dari lawan dan kemudian meresponsnya.

Gallant mengatakan kepada para pejabat Angkatan Udara; “Karena kemampuan yang kalian tunjukkan sepanjang tahun lalu, musuh kita sedang mempertimbangkan langkah-langkah mereka dengan sangat hati-hati. Namun, kita harus siap untuk segala kemungkinan, termasuk transisi cepat ke serangan.”

Pada 4 Agustus, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan, jika Israel menemukan bukti konkret bahwa Teheran sedang bersiap untuk melancarkan serangan, Israel akan mempertimbangkan untuk melancarkan serangan preemptive. Israel berjanji akan memberikan respons yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap serangan besar, meskipun tidak memberikan rincian lebih lanjut. Ada laporan yang menyebutkan bahwa Israel akan mengambil tindakan terhadap fasilitas nuklir Iran. Berdasarkan analisis sebelumnya, masuk akal untuk mempertimbangkan target strategis Iran dalam setiap rencana potensi serangan terhadap Iran. Bahkan jika rencana untuk menyerang fasilitas nuklir Iran hanya sebatas konsep di atas kertas, hal itu sudah cukup untuk menimbulkan efek pencegahan. Namun, fakta bahwa Iran berencana melakukan serangan besar-besaran terhadap Israel dapat diartikan sebagai keinginan potensial Iran untuk menggunakan senjata serupa dengan senjata nuklir, yang akan memberi Israel alasan untuk melacak dan menghancurkan program nuklir Iran.

Pembunuhan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, di Teheran, ibu kota Iran, dianggap sebagai kegagalan besar bagi lembaga intelijen dan keamanan Iran, serta merupakan pukulan berat bagi reputasi Teheran. Iran kini harus mencari keseimbangan antara memulihkan reputasinya dan menghindari pecahnya perang skala besar.

Dalam serangan balasan pada April 20204 lalu, Israel telah menyampaikan pesan kuat kepada Teheran. Beberapa hari setelah Iran melancarkan lebih dari 300 serangan drone dan rudal ke Israel, sistem radar canggih dan mahal milik Iran di Isfahan dihancurkan, menunjukkan bahwa kemampuan pertahanan Iran sama sekali tidak mampu menandingi kekuatan militer Israel. Tindakan ini cukup untuk memberi Teheran pemahaman yang jelas tentang posisi mereka dalam menghadapi Israel. Militer Israel berpendapat bahwa bagaimana Israel merespons sepenuhnya tergantung pada bagaimana Teheran melancarkan serangan dan sifat serangan tersebut.

Iran mengklaim akan melancarkan aksi balasan dalam beberapa jam, namun hingga kini belum ada tanda-tanda konkret. Hal ini menunjukkan bahwa strategi perlawanan terpadu antara Teheran dan poros perlawanan melawan Israel telah gagal. Meskipun Iran mengeluarkan pernyataan ekstrem, namun mereka belum mencapai tujuan besar apapun.

Rencana gangguan yang dirancang oleh Iran dan sekutunya terhadap Israel sangat berbeda dengan konfrontasi langsung dengan militer Israel. Angkatan Pertahanan Israel memiliki pengalaman luas dalam berbagai perang, sementara Iran dan proksinya paling banyak hanya memiliki pengalaman dalam konflik gerilya yang tidak konvensional. Selain itu, Iran sedang menghadapi masalah ekonomi yang parah dan kesulitan diplomatik. Iran juga telah diisolasi oleh komunitas internasional akibat konflik-konflik sebelumnya, sehingga hampir tidak mungkin mendapatkan dukungan nyata yang andal, bahkan dari Rusia dan Tiongkok.

Jika perang pecah, dalam hal serangan jarak jauh yang presisi, Iran tidak sebanding dengan Israel; dalam hal kemampuan pertahanan rudal, Iran juga jauh tertinggal. Oleh karena itu, jika Iran bersatu dengan proksi regionalnya untuk berhadapan langsung dengan Israel, kemungkinan besar mereka tidak akan menemukan jalan keluar. (Jhon)