Beijing Dituduh Menjual Drone kepada Milisi Libya dengan Dalih Penanggulangan Pandemi

Lin Yan

Berdasarkan dokumen pengadilan, pejabat Beijing dituduh bersekongkol untuk menghindari sanksi PBB dan menggunakan bantuan COVID-19 sebagai kedok untuk menyelundupkan drone militer kepada milisi Libya. Seorang penyelidik dari Kanada menyatakan bahwa pejabat pemerintah Tiongkok diduga terlibat dalam konspirasi untuk melakukan transaksi senilai 1 miliar dolar AS, menggunakan pejabat PBB sebagai perantara untuk mengirimkan 42 drone militer buatan Tiongkok kepada milisi Libya yang dipimpin oleh Khalifa Haftar di bagian timur Libya.

Penyelidik menyebutkan, “Pemerintah Tiongkok tampaknya telah menyetujui strategi yang melibatkan perusahaan tertentu untuk membantu Libya dalam pengadaan dan pengiriman peralatan militer, guna menutupi keterlibatan langsung lembaga pemerintah.” 

Tuduhan ini muncul dalam dokumen pengadilan di Montreal, Kanada. Dua warga negara Libya yang bekerja di organisasi penerbangan sipil internasional milik PBB di Kanada dituduh bersekongkol dalam pelaksanaan rencana ini pada bulan April. Sidang awal dijadwalkan akan berlangsung sekitar Maret 2025.

Berita ini pertama kali dilaporkan oleh Defense News, yang mengungkap bahwa tuduhan tersebut merupakan bagian dari dokumen yang diajukan ke pengadilan Montreal untuk memperoleh surat perintah penggeledahan guna mengakses ponsel para tersangka. 

Kepolisian Kanada menggunakan informasi yang diperoleh dari FBI untuk menyelidiki catatan email para tersangka, dan secara kebetulan menemukan dugaan konspirasi antara tahun 2018 hingga 2021, yang melibatkan penjualan minyak Libya ke Tiongkok dan pembelian drone.

 Laporan penyelidik Kanada menyebutkan, “Rencana ini dengan sengaja menghindari sanksi PBB yang berlaku pada saat itu.” Penerima drone diduga adalah Khalifa Haftar. Sejak pemimpin diktator Libya Muammar Gaddafi tewas pada 2011, Libya telah terjebak dalam perang saudara yang berkepanjangan hingga kini. Pemerintahan yang diakui internasional adalah Pemerintahan Persatuan Nasional (GNA), namun Haftar, yang menguasai wilayah timur, tidak mengakuinya.

Pejabat Kanada menulis bahwa tujuan transaksi ini adalah “mengakhiri perang dengan cepat tanpa menarik perhatian masyarakat internasional,” dan bahkan menggunakan dalih “melawan virus COVID” untuk menyamarkan pengiriman tersebut.

Salah satu tersangka yang didakwa adalah Mahmoud Mohamed Elsuwaye Sayeh, warga Libya yang dituduh terlibat dalam transaksi drone, namun hingga kini masih buron. Tersangka lainnya, Fathi Ben Ahmed Mhaouek, diduga terlibat dalam transaksi minyak dan telah ditangkap. Mhaouek mengaku tidak bersalah.

Dokumen pengadilan juga menuduh keterlibatan seorang warga negara Amerika Serikat yang belum didakwa. Tim penyidik menemukan pesan dari Sayeh pada Mei 2020 yang dikirim kepada seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Tiongkok, “meminta” agar duta besar Tiongkok bertemu dengan Mayor Jenderal Aoun Al-Ferjani, seorang pejabat militer Libya yang dekat dengan Haftar, di Mesir. Dalam pesan ini, pengirim menjelaskan secara rinci tentang persenjataan, kemampuan serangan, dan kekuatan mematikan drone tersebut.

Para pejabat menulis bahwa penyidik tidak yakin apakah transaksi ini berhasil atau apakah negosiasi gagal. Saat ini, tidak jelas apakah transaksi antara Beijing dan Libya ini terkait dengan penyitaan drone Wing Loong buatan Tiongkok di pelabuhan Italia pada  Juli. Kargo tersebut sedang dikirim ke pelabuhan Benghazi yang dikuasai oleh Haftar. Drone tersebut diangkut menggunakan kapal kontainer dan disamarkan sebagai komponen turbin angin. (jhon)